Pada Wilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10Mei 1963 (2)
MAY 11, 2010 BY SOCIOPOLITICA “Sepanjang perjalanansejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi inimenjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengansendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apayang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalanganakar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking kedalam menu sehari-harinya”. Peristiwa telah berkembang mengagetkan. “Akan tetapi, yang lebihmengherankan lagi di luar kampus ITB telah berkumpul banyak sekali mahasiswa,pelajar dan pemuda”. Massa campuran ini kemudian bergerak ke arah Bandungbagian bawah melalui Jalan Dago (kini Jalan Ir H. Juanda), ke Jalan Braga yangmerupakan daerah pertokoan dan berbelok ke Asia Afrika. Bagian Barat jalan ini,setelah Alun-alun Bandung, penuh dengan pertokoan hingga ke Jalan Raya Barat(kini Jalan Jenderal Sudirman) dan berpotongan dengan Jalan Otto Iskandardinatayang juga adalah daerah pertokoan. Toko-toko yang diketahui milik etnis chinadirusak, lebih dari seratus mobil dibakar, dan lebih banyak lagi sepeda motor.Beberapa bagian lain kota Bandung juga terjalar kerusuhan. Bahkan, rentetanperistiwa serupa merambat ke sejumlah kota lain di Jawa Barat seperti Sumedangdan Tasikmalaya di arah Timur Bandung dan Cianjur serta Sukabumi di arah BaratBandung. Cirebon, yang terletak di pantai Utara Jawa Barat, kembali mengalamikerusuhan, padahal pada 27 Maret sebelumnya suatu kerusuhan rasial yang menimpaetnis china di sana telah pecah lebih dulu. Peristiwa di Cirebon inilah, sepanjang pengakuan beberapa mahasiswa asalCirebon, seperti Dedi Krishna dan Tari Pradeksa, yang menjadi pemacu merekauntuk dengan cepat mengambil peranan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandungitu.. Menjalar dan membesarnya peristiwa yang semula direncanakan oleh aktiviskampus yang apolitis, tak terlepas dari peran aktivis seperti Soeripto dankawan-kawan dari Gemsos, serta aktivis anti komunis dan anti Soekarno sepertiRahman Tolleng –yang sebenarnya adalah seorang pengecam sikap dan perilakurasialis sebagaimana yang terlihat kelak dalam berbagai sepak terjang politiknya. Mereka inilah yang menambahkan dimensi politik ke dalam peristiwa,sehingga membesar, meluas dan bermakna politis yang mengusik kekuasaanSoekarno. Secara politis, peristiwa ini mendapat sofistikasi sebagai gerakanpenolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan denganPKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (kini,ditulis Beijing). Kelompok inilah yang juga menyebarkan psywar tentangketerlibatan Guntur Soekarnoputera dalam peristiwa, yang isunya dengan cepatmerambat, sehingga sempat muncul semacam keraguan bertindak di kalangan aparat.Namun selang beberapa waktu kemudian, isu keterlibatan Guntur itu berputarbalik dan tiba ke telinga para penyebar awal isu tersebut dan sempat merekapercayai kebenarannya tanpa menyadari bahwa isu itu tak lain adalahpengembangan dari isu yang mereka lontarkan sebelumnya. Tetapi terlepas dariitu, tampaknya memang sejumlah perwira di Kodam Siliwangi memang sedikitmembiarkan peristiwa terjadi dan membesar. Bahkan beberapa penggerak peristiwakemudian hari mengungkapkan adanya jaminan takkan ada penangkapan yangdisampaikan oleh beberapa perwira sebelum terjadinya peristiwa. Di wilayah abu-abu Peristiwa 10 Mei 1963 ini memang ada di wilayah abu-abu. Ia adalah satuperistiwa politik dengan beberapa tujuan politik dari sebagian para pelakunya.Sekaligus ia adalah pula satu peristiwa yang bagaimana pun termasuk sebagaisuatu kerusuhan berdasar rasial, yang menunjukkan betapa pada waktu itu secaraobjektif sentimen ras memang kuat adanya di tengah masyarakat. Sebagianpelakunya, dengan terus terang mengakui bahwa sentimen ras lah yang telahmemicu keterlibatan mereka, seperti Siswono misalnya, karena sebagai anggotaGMNI yang mengidolakan tokoh Soekarno, tak mungkin ia bermaksud melakukankegiatan politik menentang Soekarno. Namun tak urung Siswono mendapat sorotanjuga dari internal organisasinya, GMNI, atas keterlibatannya dalam peristiwatersebut. Dan adapun Soekarno, memang menunjukkan kemarahannya terhadap peristiwadi Bandung ini dan menyebutnya sebagai gerakan subversif yang dilakukan olehkaum kontra revolusi. PKI menuduh eks PSI dan eks Masjumi berada di belakangperistiwa ini. Tuduhan-tuduhan serupa punberseliweran melalui beberapa organisasi mahasiswa ekstra universiter berhaluankiri, termasuk dari GMNI. Di tengah arus kecaman, muncul satu nada pembelaanatas keterlibatan sejumlah mahasiswa dalam peristiwa itu, melalui pernyataanPPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung yang ditandatanganioleh Ketua Awan Karmawan Burhan dan Sekretaris FX Djoko Sudibyo. Awan adalahtokoh mahasiswa yang juga adalah Ketua CSB (Corpus Studiosorum Bandungense),sedang Djoko Sudibjo –mahasiswa ITB asli Jawa yang sering dianggap beretnisCina karena penampilannya yang mirip– adalah dari PMKRI (Perhimpunan MahasiswaKatolik Republik Indonesia), dua organisasi rival bagi organisasi ekstrakelompok kiri yang bergabung dalam PPMI. Hanya sehari sesudahnya, munculpernyataan tandingan, juga mengatasnamakan PPMI, namun tanpa tandatangan, yangisinya mengutuk Peristiwa 10 Mei dan keterlibatan mahasiswa kontrev dalamperistiwa tersebut. Dalam tempo yang tak lama pula,menyusul tindakan pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang jugaadalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMIKonsulat Bandung. Tindakan ini dibalas olehmahasiswa Bandung dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesiaatau Mapemi. Ke dalam Mapemi bergabung PPMI Konsulat Bandung dan MMI (MajelisMahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Mahasiswa ITB, pimpinan Imaba (IkatanMahasiswa Bandung) yang juga adalah seorang perwira cadangan AD jalur Wamil(Wajib Militer) berpangkat Letnan Dua, Mangaradja Odjak Edward Siagian, dipilihsebagai Ketua Mapemi. MMI adalah sebuah wadah nasional yang menghimpuninstitusi-institusi student government intra kampus seperti dewan-dewanmahasiswa dan senat-senat mahasiswa. Sehingga, dengan penggabungan itu, Mapemimenjadi organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yangmenghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasiekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam pembentukan KAMI (Kesatuan AksiMahasiswa Indonesia) di tahun 1966. Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagisatu peristiwa bias politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpadudengan fakta kesenjangan sosial akibat kegagalan penanganan penguasa terhadapaspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus 1973. Setiap kali adaketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelolanya, hanya bertindaksebatas membendung dan meredam sindrom belaka, akan terjadi penyaluranketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mata rantai sosial yang terlemah yaitusentimen berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang beradapaling depan dalam sentimen-sentimen itu, adalah keturunan china, karena faktorhistoris sejak masa kolonial dan beberapa hal yang melekat, yakni perbedaan rasitu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang berbeda denganmayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesankeunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka punlalu berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarahIndonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadisatu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinyabelum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa ditengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi,ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnyadan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya. Terdapat masihbegitu banyaknya orang yang tak berkemampuan membiayai pendidikan anak-anakmereka. Sebagian lainnya lagi masih menghuni gubuk-gubuk liar di tanah negara,untuk menyambung hidup sementara yang lainnya lagi mencari nafkah sebagaipedagang kaki lima di lapak terlarang dan harus sewaktu-waktu ‘bertempur’melawan Pasukan Satpol PP yang akan menggusurnya. Akhir dari Peristiwa 10 Mei 1963 bagipara pencetus awalnya di kampus dan kemudian perluasannya di luar kampus adalahproses peradilan dan penjatuhan hukuman penjara. Secara khusus, Soekarnomenginstruksikan kepada Jaksa Agung, agar para mahasiswa pelaku Peristiwa 10Mei itu dituntut dengan hukuman tinggi. Dedi Krishna, tokoh PMB, yangperanannya menjadi sorotan utama dalam pers kala itu, dijatuhi hukuman penjarapaling berat, yaitu 6 tahun. Selain peranannya, salah satu sebab yang membuatDedi Krishna menjadi pusat perhatian, adalah namanya yang terasosiasikan dengannama seorang tokoh pewayangan, paman para Pandawa lima. Pada masa Soekarno,analogi dengan dunia pewayangan selalu menimbulkan minat khas di tengahmasyarakat. Selain itu, profil tubuhnya yang cukup tinggi besar, sepertinyadianggap ‘memenuhi’ syarat sebagai pemimpin gerakan massa. Terlibatnya namakampus ternama ITB, sebagai titik cetus awal peristiwa, juga menjadi faktorpenting lainnya. Di urutan ketiga denganhukuman 3 tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslimin Nasution, QoyumTjandranegara, Djoko Santoso, Tari Pradeksa, Theo Pieterz. Soeripto yangmenjadi salah satu matarantai peristiwa merambat ke luar pagar kampus, ada dilevel kedua, dengan hukuman 4 tahun penjara. Iwan Zoechra dalam pada itu,dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Rahman Tolleng, yang sudah berstatus buronansebelum peristiwa terjadi, tercium keterlibatannya namun tak tertangkap danmemperpanjang masa buronannya sampai ia kemudian muncul ke permukaan setelahPeristiwa 30 September 1965. Beberapa nama itu kelak dikenal lebih luas karenaperanannya baik dalam pergerakan 1966 maupun sesudahnya, di dalam ataupun diluar kekuasaan pemerintahan. https://socio-politica.com/2010/05/10/pada-wilayah-kesenjangan-sosial-ekonomi-peristiwa-10-mei-1963-1/