http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1432-utang
/*Utang*/
Penulis: *Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group* Pada: Rabu, 30 Jan
2019, 05:30 WIB podium <http://mediaindonesia.com/podiums>
<http://www.facebook.com/share.php?u=http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1432-utang>
<http://twitter.com/home/?status=Utang
http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1432-utang via
@mediaindonesia>
Utang
<http://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/podiums/2019/01/2a50d294b173a40240e37211a61975d9.jpg>
MAHATMA Gandhi sejak lama mengingatkan kita akan tujuh hal yang harus
diperhatikan. Salah satunya ialah perlunya berpolitik dengan prinsip.
Apalagi, politik umumnya dijalankan orang-orang yang terdidik. Kita
harus menyadari, pengetahuan itu harus dijalankan dengan karakter.
Bahkan, ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan nilai kemanusiaan.
Hari-hari ini kita justru melihat hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Di tengah upaya perebutan kekuasaan, kita
melihat yang banyak muncul justru irasionalitas. Demi menonjolkan calon
yang dijagokan, para cerdik cendekia melontarkan pemikiran yang menyesatkan.
Salah satunya ialah soal utang negara. Seakan-akan pemerintah sekarang
gemar menarik utang. Bahkan ada yang melontarkan, bunganya mencekik
leher karena sampai 11,25%. Kenyataannya, imbal hasil utang dolar AS
untuk tenor 10 tahun hanya 4,24%.
Utang yang digembar-gemborkan lebih Rp4.250 triliun itu sebenarnya
merupakan akumulasi utang negara. Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
selama empat tahun pemerintahannya hanya menambah utang sekitar Rp1.625
triliun.
Sejak Indonesia merdeka, pemerintah terpaksa menutup kebutuhan belanja
negara dengan utang karena penerimaan negara yang tidak mencukupi untuk
kebutuhan biaya rutin dan biaya pembangunan. Pada era Orde Baru dengan
istilah anggaran berimbang, utang disebut sebagai penerimaan luar negeri.
Pada masa Orde Baru, kita sebenarnya beruntung karena menerima pinjaman
dari lembaga keuangan internasional dengan bunga rendah dan masa
tenggang pembayaran cukup panjang. Hanya, karena aturan dari pemberi
donor yang terlalu ketat serta akuntabilitas yang rendah, kita kemudian
menolak pinjaman baik yang berasal dari Bank Dunia, apalagi Dana Moneter
Internasional.
Setelah era reformasi, kita ingin lebih berdaulat untuk menutup defisit
anggaran. Namun, yang namanya gengsi itu tidak ada yang gratis. Karena
kita mencari utang dari pasar, bunganya dikaitkan dengan country risk.
Rating yang dikeluarkan lembaga, seperti Standard & Poor’s atau Moody’s,
menjadi ukuran tingginya tingkat suku bunga.
Pada saat krisis keuangan global 2008, kita sempat harus membayar bunga
yang mahal sekitar 11,25%. Masalahnya rating kita saat itu belum masuk
layak investasi. Dengan perbaikan pengelolaan keuangan negara, rating
kita sekarang sudah masuk kelompok layak investasi dan otomatis bunga
yang harus dibayarkan lebih rendah.
Meskipun demikian, utang yang ditarik otomatis menjadi beban kepada
negara karena utang dari pasar tidak mengenal masa tenggang pembayaran.
Begitu surat utang negara dikeluarkan, sebulan kemudian negara sudah
harus membayarkan bunganya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan,
Nufransa Wira Sakti, menjelaskan, pengelolaan utang negara tetap
dilakukan berhati-hati. Besaran utang selalu dibicarakan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat pada saat pembahasan Undang-Undang APBN. Selama ini
utang negara terkelola dengan baik terlihat dari jumlah pembayaran utang
selama empat tahun terakhir yang mencapai Rp1.600 triliun.
Utang negara umumnya dipakai untuk membangun barang kebutuhan publik
(public goods). Tugas utama pemerintah di mana pun ialah menyediakan
barang kebutuhan publik, mulai jalan, bendungan, saluran irigasi, air
bersih, hingga listrik.
Sepanjang tersedia barang kebutuhan publik yang lebih baik dan negara
mempunyai kemampuan membayar kembali utangnya, sebenarnya tidak ada yang
salah dengan utang itu. Korea Selatan dan Tiongkok memanfaatkan utang
dari Bank Dunia, bahkan untuk membangun rel kereta, memperbaiki sistem
drainase, dan juga pendidikan. Dengan itulah kemudian mereka meraih
kemajuan.
Kalau kita bangsa yang cerdas, kita seharusnya tidak fobia terhadap
utang dari lembaga keuangan internasional. Apalagi, kita ialah negara
anggota yang setiap tahun membayar iuran sehingga berhak untuk
memanfaatkan dana yang tersedia. Bahwa ada pengalaman buruk masa Orde
Baru, kita perbaiki saja tata cara penggunaannya. Tidak perlu kita
membakar rumah untuk menangkap tikus di dalamnya.
Sungguh aneh kalau kita sekarang lebih berkutat kepada pemahaman sempit
tentang utang. Seakan berutang itu merupakan persoalan yang tabu.
Apalagi, hanya untuk kepentingan politik yang dipersepsikan bahwa
pemerintah sekarang gemar berutang, tetapi melepaskan konteks besar
utang itu sendiri.
Tepatlah kalau kita mencamkan kembali tujuh dosa sosial yang disampaikan
Gandhi. Kasihan negeri ini kalau para cerdik cendekia tidak membuat
rakyat semakin cerdas sebab ilmu dan pengetahuan itu harus dipakai untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia.