I couldn't agree more alias saya setuju 100% dgn anda. Panitia Hadiah Nobel 
memang harus begitu yaitu tidak boleh di politisasi, terutama dibagian STEM. 
Keputusannya tidak boleh tergantung apakah calon itu wanita atau lelaki atau 
banci, kulit nya hitam, putih, coklat dll, agamanya A atau B, C dll. Keputusan 
harus berdasarkan "meritocrazy" yaitu dari hasil teori yg terbaik. Kalau tidak 
begitu Panitia Hadiah Nobel harus dibubarkan saja sebab tidak akan memajukan 
ilmu se-maximum mungkin. Panitia Hadiah Nobel harus "buta" dan cuma 
meng-evaluasi teorinya dari sudut bidangnya (politik tidak boleh ikut campur). 

 Urusan tentang kurangnya wanita, orang hitam dll, atau tidak ada yg mendapat 
Hadiah Nobel adalah urusan negara2 yg bersangkutan. Misal, wanita di Saudi 
tidak boleh belajar atau tidak di anjurkan belajar di bidang tertentu (selain 
tidak boleh menyetir mobil), wanita harus di rumah dan di dapur di negara lain. 
Ini semua urusan negaranya masing2.
 

 Seperti disebut bung Djie, Marie Curie (wanita) mendapat Hadiah Nobel dlm ilmu 
Fisika pd tahun 1903 dan dlm ilmu Kimia pd tahun 1911 (bidang STEM) adalah 
dimana sudah dari dulu tidak ada diskriminasi dari Panitis Hadiah Nobel tetapi 
berdasarkan meritocrazy. Pertahankan sistim ini dimana politik tidak boleh ikut 
campur.
 

 BH Jo
 

 
 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :

 Menurut saya panitia Nobel lebih baik fokus pada work product tanpa harus 
melihat pembuatnya lelaki wanita LGBT ataupun dari negara mana etnis apa. Fokus 
pada merit, tidak perlu terpengaruh pada political correctness. Nobel 
perdamaian mungkin lain lagi.
 

 Sedang untuk memperbanyak wanita dalam STEM lebih tergantung pada minat/bakat 
individual, keluarga, sekolah dan perguruan tinggi, dan mungkin juga lapangan 
pekerjaan yg tersedia. 
 

 

 ---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

 Dengan perbandingan yang jomplang begitu mestinya panitia Nobel tergerak 
menjaga kredibilitasnya dengan meningkatkan peran ilmiah kaum perempuan. Ilmu 
memang tidak membedakan jenis kelamin tetapi secara alamiah kodrat perempuan 
tak bisa dilawan. Mungkin perlu ada penyesuaian standar / ekspektasi mengingat 
kondisi alamiah para ilmuwati.
 

 Membiarkan perbandingan sejomplang itu rasanya kok seperti masih di abad 
pertengahan. Samasekali tidak intelek sekalipun cuma sebagai lembaga bagi-bagi 
hadiah.
 

--- jonathangoeij@... wrote: 

 Kalau dilihat di fakultas2 STEM jumlah mahasiswa wanita memang sedikit sekali 
dibanding pria, apalagi dimasa lalu langka. Setelah lulus mereka yg jadi 
researcher makin mrotolin.
 

 --- ajegilelu@... wrote :
 

 Mungkin di bidang perdamaian paling banyak perempuan yang dapat Hadiah Nobel. 
Sedangkan di bidang sains-teknologi baru tahun 2018 lalu ada lagi perempuan 
penerima hadiah bidang fisika, alias perempuan Nobel saintis ketiga sepanjang 
100 tahun. Kenapa begitu langka perempuan Nobel di bidang sains? Seorang kawan 
dengan yakin bilang karena perempuan kurang suka matematik dan angka. Tentu 
saja saya bantah karena punya banyak fakta, terutama istri. Jago sekali dia 
menghitung angka-angka pengeluaran dan pendapatan, hahaha... 
 

 Ya, nyaris tidak ada perempuan yang kesulitan menghitung uang belanja. 
Ketelitian kaum perempuan mengurus angka-angka neraca sangat handal. Tidak 
perlu macam-macam teori ekonomi dan kadang cuma perlu ketelitian lebih ditambah 
info pasar untuk dapatkan sesuatu yang - menurutnya - lebih berharga. Dengan 
kehebatan perempuan mengurus ekonomi begini, berapa perempuan yang sudah Nobel 
beri hadiah dalam urusan ekonomi? 
 

 Secara keseluruhan, perempuan Nobel kayaknya tidak sampai 10% dari lelaki yang 
dihadiahi Nobel.
 

 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 Saya lihat dlm 10 th terakhir ini cukup banyak wanita yg jd pemenang nobel 
perdamaian.
 

 --- ajegilelu@... wrote :
 

 Oo.. jadi yang Anda kagumi dari Sri Mulyani itu cuma riwayat pekerjaannya 
(pernah menduduki ini-itu), bukan prestasi intelektualnya. 
 

 Apabolehbuat, dengan kedudukannya sebagai menteri perutangan yang cuma 
menghasilkan pertumbuhan 5% kelihatannya betul, ijazah dan gelar yang disabet 
Sri Mulyani cuma membuktikan dia pernah sekolah (sampai luarnegeri) tapi tidak 
membuktikan dia pernah berpikir. Cuma pegawai / bawahan yang baik dan penurut 
makanya terlibat skandal Century. 
 

 Masih penasaran, apa betul Hadiah Nobel itu bias gender?
 

 --- bhjo@... wrote:
 

 Saya setuju dgn bung Sunny bhw Hadiah Nobel utk bidang Ekonomi standar nya 
jauh lebih tinggi daripada seperti Hadiah Nobel utk Perdamaian seperti yg 
diberikan kpd Ramos-Horta atau Obama. Juga bukan cuma utk yg pernah atau banyak 
mengeluarkan publikasi saja atau yg punya PhD atau yg pernah menjadi Menteri 
Keuangan atau yg pernah bekerja di posisi yg tinggi di World Bank dll..
 

 Pemenang Hadiah Nobel biasanya jauh diatas pemegang PhD degree tetapi dia yg 
juga memimpin institusi dimana dia mendidik calon2 PhD student dan yg mempunyai 
menciptakan ide2/teori2 baru. Yg lebih penting dimana ciptaan teori nya akan 
mempengaruhi kenyataan/praktek (baru) diseluruh dunia.
 

 Saya respek dgn Sri Mulyani dgn riwayat pekerjaannya tetapi, saya kira, dia 
masih jauh utk dijadikan calon pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi.
 

 --- ajegilelu@... wrote :
 

 Berarti Sri Mulyani harus mengalihkan kebolehannya menulis puisi panjang 
tentang menteri pencetak utang menjadi karya tulis ilmiah bertema sama. Sayang 
kan kalau ilmunya dari universitas luarnegeri dan pengalamannya di Bank Dunia 
hanya dapat keplok dan gelar bertubi-tubi sebagai menteri keuangan terbaik. 
Dengan mengantongi Hadiah Nobel siapa tahu tambah terkenal karena menjadi 
perempuan kedua peraih Nobel di bidang ekonomi, walau tidak ada pengaruhnya 
terhadap pertumbuhan yang sudah 20 tahun mentok di 5%. 
 

 Oya, apa betul Nobel Prize bias gender?
 

 --- ilmesengero@... wrote:
 

 Hadiah Nobel diberikan bukan karena dinobatkanmenteri keuangan terbaik, tetapi 
karya ilmu pengetahuan yang biasanya dipublikasi. Kalau Hadiah nobel untuk 
perdamaian yang diberikan di Oslo, tidak perlu adanya publikaasi tentang 
perdamaian tetapi pekerjaan di lapangan.
 

 Disamping hadiah Nobel  yang diciptakan oleh Alfred Nobel, ada juga hadiah 
yang disebut alternative Noble Prize atau  Right Lifehood Award  juga diberikan 
di Stockholm.. Hadiah ini diciptakan oleh filantropist German Swedia bernama 
Jacob von Uexkull pada 1980. Dua orang yang terkait dengan masalah HAM di 
Indonesia telah menerima hadiah tsb. yaitu Carmel Budiardjo  pendiri organisasi 
Tapol di London dan Munir pembela HAM yang dirancun mati di pesawat terbang 
antara Singapura-Amsterdam.
 
 
 On Mon, Apr 8, 2019 at 10:46 AM ajeg wrote:
 

 Maksudnya, pertumbuhan yang mentok di angka rata-rata selama 20 tahun itu (5%) 
yang membuat Sri Mulyani bertubi-tubi dinobatkan jadi menteri keuangan terbaik 
versi internasional?
 

 Ya kita tunggu deh berita Sri Mulyani ditomplok rejeki Nobel.
 

 --- bhjo@... wrote:
 

 Ya, betul setahu saya, Berkeley unggul di bidang ekonomi tertentu dan 
University of Chicago unggul dalam bidang ekonomi tertentu yg lain. Entah, mana 
yg lebih banyak memproduksi Pemenang Hadiah Nobel.
 

 Tapi Sri Mulyani, kualifikasi dan pengalaman akademik nya, lebih bagus dari 
Kwik Kian Gie. Kalau Amien Rais, sih, barangkali boleh diragukan kualifikasinya 
walaupun dari University of Chicago.
 

 --- jonathangoeij@... wrote :
 

 Amien Rais juga alumni University of Chicago.
 

 Dalam hal apa Univ. Chicago lebih terkenal/baik dibanding UC Berkeley? 
 Apa perbedaan pandangan ekonomi antara Chicago dan Berkeley?
 

 --- bhjo@... wrote :
 

 Tanpa ekonom, ekonom pasti negatf. Menteri Sri Mulyani, barangkali ekonom yg 
terbaik di Indonesia belakangan ini
 

 Bukan Mafia dari Berkeley, tetapi dari University Chicago yg terkenal.
 









Kirim email ke