https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan
Selasa 16 April 2019, 12:20 WIB
Kolom
Masalah Laten Jelang Pencoblosan
Wim Tohari Daniealdi - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
Wim Tohari Daniealdi
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4512446/masalah-laten-jelang-pencoblosan#>
Masalah Laten Jelang Pencoblosan Polres Jakarta Selatan apel pengaman
pemilu (Foto: Lamhot Aritonang)
*Jakarta* - Masa kampanye sudah selesai. Semua strategi tampaknya sudah
tandas digunakan oleh masing-masing pihak. Dan sekarang, jelang
pencoblosan 17 April besok, kekhawatiran pun menyeruak. Karena terdapat
sejumlah situasi krusial yang bersifat laten dan berbahaya yang perlu
mendapat perhatian semua pihak. Karena bukan tidak mungkin situasi
tersebut bisa mencuat pada detik-detik terakhir ini.
Pertama, fragmentasi dua kelompok pendukung capres yang kian mengeras.
Lebih bahayanya, keduanya kini mengusung klaim nasionalis dan religius.
Pada hari-hari terakhir kampanye kita saksikan masing-masing pihak
memamerkan dukungan dari sejumlah tokoh agama dan ulama terkemuka Tanah
Air.
Kita memahami bahwa di level elite, masing-masing pihak sangat memaklumi
perbedaan politik para alim ulama tersebut. Terlebih para ulama itu
sendiri, mereka pastilah melihat perbedaan ini sebagai rahmat. Tapi apa
yang berkembang kemudian di akar rumput agaknya tidak linier. Klaim
religius justru mengemuka di kedua belah pihak. Dukungan dari para alim
ulama ini dijadikan alasan untuk mengglorifikasi nilai-nilai agama dalam
pilpres kali ini. Dan ini jelas berbahaya.
Sebab secara genealogis klaim ini memiliki daya pikat yang luar biasa.
Seseorang, ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut
keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan
tanpa batas, hidup atau mati.
Karena itu wajar bila muncul asumsi bahwa kedua kubu sengaja memainkan
isu sensitif ini. Tujuannya tidak lain untuk mengikat kesetiaan massa
sebanyak mungkin. Bila memang demikian, kita tentu berharap kedua kubu
memiliki rencana mitigasi untuk menetralisir situasi yang berkembang
sekarang. Jangan sampai militansi pendukung kedua kubu justru meningkat
ke titik ekstrem, hingga menganggap pesta demokrasi ini layaknya sebuah
perang.
Kedua, proyeksi kemenangan yang /over confidence/. Menjelang waktu
pemilihan ini, kita menyaksikan bahwa kedua kandidat capres demikian
percaya diri pada kemenangan masing-masing. Terlebih pada masa kampanye
terbuka kemarin, di mana lautan manusia terlihat di hampir setiap rapat
umum para capres dan cawpres. Ditambah lagi, adanya data yang dianggap
valid masuk kepada kedua kandidat. Biasanya dalam bentuk hasil laporan
survei dengan hitungan statistik tertentu.
Tapi jangan lupa, bahkan dalam dunia survei politik, kita mengenal ada
istilah "Bradley Effect". Di mana hasil survey (terlebih yang bersifat
internal) bisa sangat menyesatkan bila dijadikan sebagai acuan dalam
memastikan kemenangan dalam pemilu.
Ini sudah dibuktikan oleh Tom Bradley sendiri, seorang berkulit hitam
dan mantan Wali Kota Los Angles yang mencalonkan diri sebagai gubernur
wilayah California. Menurut survei, dia mendapatkan kemenangan yang luar
biasa. Tapi ketika pemilihan, ternyata dia kalah telak. Ini disebabkan
masyarakat (responden) cenderung menyembunyikan preferensi politiknya
karena khawatir dengan kritik dan stereotip atas pilihannya. Sehingga
mereka lebih memilih jawaban yang baik menurut publik, bukan apa yang
secara politik mereka harapkan.
Dalam kasus pilpres kali, bukan tidak mungkin "Bradley Effect" bisa
terjadi. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, kecenderungan para
kandidat menarik loyalitasnya ke titik ekstrem telah membuat semua warga
negara tidak bisa berdiri di tengah. Semua di-/framing/ masuk peta
konflik kedua kubu. Tidak hanya partai politik, tapi juga
lembaga-lembaga independen seperti KPU dan Bawaslu dianggap memihak dan
tidak netral dalam pemilu kali ini.
Dengan gugus kecurigaan semacam ini, akan sulit bagi siapapun mencari
perhitungan pasti akan preferensi politik masyarakat. Oleh sebab itu,
jangan sampai proyeksi kemenangan yang /over confidence/ ini menjadi
klaim kemenangan. Karena ini akan sangat berbahaya.
Ketiga, dan ini yang paling krusial dari semuanya,. yaitu isu adanya
kecurangan pemilu. Perlu digarisbawahi di sini bahwa dalam kompetisi
apapun, terlebih pemilu seperti ini, isu kecurangan bisa dikatakan lebih
berbahaya daripada isu SARA. Karena isu ini bisa bermuara pada
delegitimasi hasil pemilu, dan pada ujungnya bisa berdampak pada
jatuhnya supremasi hukum dan negara.
Dari tiga masalah krusial di atas, satu dan dua bisa dianggap sebagai
variabel fundamental terjadinya konflik. Karena kedua isu ini menutup
kemungkinan berlangsungnya pertukaran nilai (e/xchange of value/) yang
bersifat konstruktif antarkelompok masyarakat (Johan Galtung, 2009).
Akibatnya, masing-masing pihak akan saling curiga, dan berlari titik
ekstrem. Inilah situasi laten yang kita hadapi sekarang.
Adapun yang ketiga adalah variable katalis (pemicu) yang paling efektif
untuk mengangkat bahaya laten tersebut ke permukaan. Bentuknya nanti
bisa gerakan massa, kerusuhan, bahkan delegitimasi terhadap hasil pemilu.
Khusus untuk isu kecurangan ini, para penyelenggara pemilu dan pihak
berwenang lainnya tidak boleh lengah sedikit pun. Karena isu ini umumnya
/hoax/ yang sudah memiliki narasi cukup panjang. Semua pihak dan aparat
berwenang harus bersikap responsif terhadap setiap isu kecurangan yang
muncul, sekecil apapun, di daerah mana pun. Bila ditemukan, proses
verifikasi terhadap isu ini harus berlangsung transparan, dan
eksekusinya pun harus presisi serta memenuhi asas keadilan bagi semua
pihak. Intinya, jangan berikan ruang sedikit pun bagi lahirnya
kecurigaan di tengah pesta demokrasi ini.
Kita semua berharap, semua yang terbaik terjadi dalam pemilu kali ini.
Apapun hasilnya nanti, problem utama kita adalah membersihkan sampah
konflik yang sudah berserak di tengah masyarakat. Karena kita tak ingin
demokrasi yang kita banggakan bersama harus mati di altar provokasi.
*Wim Tohari* *Daniealdi* /staf pengajar di FISIP Universitas Pasundan,
Bandung/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*