https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918
Selasa 16 April 2019, 16:00 WIB
Sentilan Iqbal Aji Daryono
Lingkaran Setan Politik Uang
Iqbal Aji Daryono - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
Iqbal Aji Daryono
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
3 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4512801/lingkaran-setan-politik-uang?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.63554159.1985467672.1555439918-337209302.1555439918#>
Lingkaran Setan Politik Uang Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
*Jakarta* - "Menurut hasil survei, inilah daftar harga sampai tanggal 17
April 2019: Kerbau 17 juta per ekor. Sapi 15 juta per ekor. Kambing 3
juta per ekor. Manusia 50-200 ribu per kepala."
Hehehe. Saya terkekeh membaca lelucon /copas/-an yang dikirim Pak Hardi,
tetangga saya, di grup /Whatsapp/ kampung kami. Memang konstelasi harga
manusia pada hari-hari ini persis seperti yang di-/share/ Pak Hardi tadi.
Lelucon /based on true story/ itu mengingatkan saya pada Pemilu 2009,
saat saya masih tinggal di rumah orangtua. Di kampung bapak saya itu,
para caleg sangat proaktif mendekati warga. Penyebabnya bukan cuma
potensi suara, melainkan juga karena ada beberapa tokoh masyarakat yang
punya kekuatan pengorganisasian, dan bisa diajak rembukan.
Dengan menemui tokoh-tokoh kampung yang komunikatif, transaksi bisa
langsung dijalankan. Kalau sekian ratus suara tembus di TPS kami untuk
Pak Beno dari Partai Melon, misalnya, maka Pak Beno akan segera
menuntaskan pemasangan keramik lantai gedung serbaguna. Jika dirasa
masih kurang, ada tambahan perkakas pecah-belah untuk inventaris kampung.
Dengan masuk ke kebutuhan konkret-pragmatis warga kampung seperti itu,
juga dengan adanya tokoh penggerak warga, transaksi dapat dijalankan
secara efektif. Segenap warga bisa dikerahkan untuk mencoblos Pak Beno
untuk kursi DPRD Kabupaten. Jika ada oknum warga yang menolak, para
tokoh kampung menyampaikan konsekuensinya: "Ya nggak papa nggak ikut
milih Pak Beno, Bu. Tapi besok kalau /nduwe/ /gawe/, alias punya
hajatan, jangan pinjam gedung serbaguna ya. Oh iya, jangan pinjam
perkakasnya juga."
Ancaman sanksi sosial seperti itu sangat efektif. Harap tahu, biaya
hajatan sangat tinggi. Pengadaan perkakas makan-minum untuk penunjang
penyelenggaraan hajatan sangat diperlukan oleh warga. Akses yang
terblokir atas segala fasilitas itu tentu sama artinya dengan
malapetaka. Belum lagi, tertutupnya akses atas infrastruktur biasanya
diiringi juga dengan mampatnya jalur atas tenaga bantuan cuma-cuma
operasional hajatan, yakni para pemuda karang taruna.
"Ya gimana, diajak kerja sama untuk pengadaan fasilitas aja nggak mau,
mosok mau cari enaknya saja." Begitu jalan pikiran lazim warga kampung.
Beberapa hari yang lalu, saya pun ketemu dengan seorang kawan dari desa
lain. Sebagai pemuda yang berpengaruh di wilayahnya, dia sudah dipegang
oleh seorang caleg. Sebutlah Pak Karjo dari Partai Manggis, yang maju
berebut kursi di DPRD Provinsi. Kawan saya itu mengelola 200 suara di
desanya.
Kali ini, bukan fasilitas kampung yang dijanjikan sebagaimana terjadi di
tempat orangtua saya pada Pemilu 2009. Untuk setiap suara, Pak Karjo
memberikan uang tunai 100 ribu. Bayar di depan, gitu.
Artinya, untuk mendapatkan 200 suara saja, Pak Karjo sudah mengeluarkan
uang 20 juta. Itu baru satu kampung /lho/ ya. Dan baru untuk caleg DPRD
Provinsi. Adapun pasaran harga per kepala untuk caleg DPR, kata kawan
saya itu, lebih rendah lagi. Rata-rata cuma di kisaran 30 ribu rupiah.
Maklum saja, untuk menyabet satu kursi di Senayan, harus ada ratusan
ribu suara yang dikumpulkan. Bayangkan, untuk 100.000 suara saja,
seorang caleg pusat harus keluar ongkos 3 M. Ya, tiga /em/! Itu baru
100.000 suara. Padahal, agar kursi aman di Senayan, jumlah coblosan
harus lebih besar dari itu.
***
Jelas, kita mengelus dada melihat permainan politik transaksional
merambah hingga level kampung. Bagaimana pun itu salah. Salah secara
moral publik, berdosa secara agama, keliru juga dalam konteks cita-cita
kemuliaan dalam berbangsa dan bernegara. Namun, mari kita simpan
sebentar ukuran-ukuran moralis dan normatif semacam itu, lalu coba simak
dulu situasi riilnya.
Dari kacamata para caleg, kampanye yang sesuai dengan aturan seringkali
tidak cukup sakti. Di tempat saya sendiri, pernah ada seorang tokoh
parpol yang terkenal lurus, cerdas, dan idealis, pada akhirnya
mencak-mencak karena gagal meraih kursi di Senayan. Dia dikalahkan oleh
juniornya sendiri, seorang anak kemarin sore yang bahkan turun kampanye
pun sangat jarang. Efektivitas kampanye caleg berbasis pendidikan
politik ternyata loyo menghadapi kekuatan uang.
Itu cuma satu kasus yang saya sebutkan, padahal pasti ada lebih banyak
lagi yang tidak terungkap. Pendek kata, mau sebaik apa pun kualitas
seorang caleg, ia bisa tersingkir dengan gampang dari kancah pertarungan
cuma karena hantaman "serangan fajar".
Dari sudut pandang para warga masyarakat, mereka mengalami krisis
keteladanan, krisis kepercayaan, juga krisis informasi. Mereka nyaris
tidak pernah melihat wakil mereka serius memperjuangkan nasib massa
pemilih. Yang lebih sering muncul di kabar-kabar adalah para wakil
rakyat yang berburu fasilitas, rajin jalan-jalan ke luar negeri,
kemudian di belakang hari memakai "rompi jingga" sambil tersenyum penuh
percaya diri.
Kepercayaan masyarakat kepada para wakilnya telah tergerus sejak lama.
Seiring dengan situasi itu, hanya sedikit sekali para penghuni
gedung-gedung dewan yang rutin menjalankan komunikasi optimal dengan
konstituennya, untuk melaporkan segenap perkembangan dari tugas-tugas
mereka dalam mewakili warga masyarakat. Warga pun cuma tahu yang
jelek-jelek saja.
Akibatnya, masyarakat tidak paham juga di mana relevansi seruan "salah
pilih lima menit di TPS akan membuat Anda rugi lima tahun." /Lah/,
pertanyaannya, kalau benar dalam memilih di TPS, apakah mereka
sungguh-sungguh akan merasakan kehadiran para wakil rakyat dalam segenap
perikehidupan mereka selama lima tahun ke depannya? Nyatanya kan tidak juga.
Makanya, daripada tidak dapat apa-apa sama sekali, ya mendingan dapat
sesuatu meski cuma ala kadarnya. Daripada nanti hanya memandang para
wakil mereka berfoya-foya menikmati fasilitas, ya lebih baik mereka ikut
minta cipratannya di depan saja.
Kalau boleh dibahasakan, politik uang pada akhirnya menjadi strategi
rakyat untuk menyikapi pembusukan demokrasi dan pembusukan moral para
aktor demokrasi. Selama lima tahun, rakyat tidak cukup punya kekuatan
apa-apa untuk menuntut para wakil mereka. Satu-satunya momen yang
meneguhkan daya tawar mereka hanyalah beberapa pekan menjelang hari
coblosan. Di situlah mereka menunjukkan posisi /powerful/ mereka!
***
Beginilah lingkaran setan politik uang. Untuk memutusnya, kita bisa saja
menyebut pendidikan politik untuk rakyat sebagai solusinya, di samping
penegakan hukum yang keras atas praktik suap politik uang. Rakyat harus
memilih sosok-sosok yang bersih, bebas dari permainan fulus, sehingga
jika para caleg itu terpilih mereka tidak diribetkan oleh utang modal
dan jeratan konsesi politik dari para investor. Sosok-sosok itu nantinya
tidak akan berburu pengembalian ongkos politik, dan bisa fokus
memberikan bukti-bukti pelayanan kepada konstituen.
Masalahnya, untuk menciptakan bukti-bukti itu, si caleg harus menang
dulu. Untuk menang, dia harus mendapatkan suara yang sangat banyak dulu
dan mengalahkan kompetitor mereka. Tapi, bagaimana mau mengalahkan, jika
sang rival membawa berkardus-kardus uang? Akhirnya, ya uang dilawan dulu
dengan uang. Nanti kalau sudah menang, barulah rencananya si caleg
terpilih akan menunjukkan kinerja yang hebat. Begitulah rencana yang
seharusnya.
Malangnya, seringkali rencana tinggal rencana. Dan rakyat pemilih terus
dibikin sakit hati karenanya.
*Iqbal Aji Daryono* /esais, tinggal di Bantul/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*