https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?
tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258
Minggu 19 Mei 2019, 15:47 WIB
Kolom Yusril
"People Power" Akhirnya Akan Mencari
Legitimasi Konstitusional
Yusril Ihza Mahendra - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
Yusril Ihza Mahendra
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
21 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-konstitusional?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237976832.1036116220.1558290258-798992894.1558290258#>
People Power Akhirnya Akan Mencari Legitimasi Konstitusional Foto: Ari
Saputra
*Jakarta* - Akhir-akhir ini kosa kata "people power" banyak terdengar
dalam dalam wacana politik usai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Secara
sederhananya, istilah "people power" itu dimaksudkan sebagai penggunaan
kekuatan massa (rakyat) untuk mendesakkan perubahan politik atau
pergantian kekuasaan di suatu negara. Pada umumnya, people power itu
digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama,
dianggap diktator, sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat.
Sementara, upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan perubahan
terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan kekuatan militer maupun
kekuatan lembaga- lembaga konstitusional dan administratif yang
direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam sejarah,
terdapat beberapa kasus people power seperti terjadi di Philipina dalam
meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, dan people power dalam
mendesakkan mundurnya Presiden Soekarno (1966/1967), serta people power
dalam mendesak untuk "melengserkan" Presiden Soeharto (1998).
Akibat people power yang terjadi berminggu-minggu lamanya di Metro
Manila, Marcos pada akhirnya meninggalkan Philipina menuju Guam, sebuah
pulau kecil yang terletak tidak jauh dari Philipina tetapi menjadi
wilayah Amerika Serikat. Presiden Soekarno juga secara bertahap
dimundurkan dari kekuasaannya pasca G-30 S, setelah lebih 20 tahun
menjabat sebagai Presiden, walaupun baru efektif sebagai kepala
pemerintahan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soeharto pun
akhirnya juga "menyatakan berhenti" dari jabatannya setelah berkuasa
lebih dari 30 tahun akibat krisis moneter dan segala implikasinya yang
mulai terjadi pada akhir 1997. Baik Soekarno maupun Soeharto didesak
untuk turun dari jabatannya melalui gerakan massa yang disebut sebagai
people power itu.
Dari tiga kasus sejarah di atas, kita dapat menyaksikan keberhasilan
people power dalam menurunkan rezim. Siapa yang menjadi pemimpin people
power tidak terlalu jelas. Memang akan selalu ada tokoh yang
mengipas-ngipasi people power, namun gerakan itu umumnya terjadi secara
spontan dan massif. Berbeda dengan revolusi atau kudeta yang biasanya
dipimpin oleh seorang tokoh sentral tanpa melibatkan massa yang besar.
Setelah rezim jatuh, maka pemimpin revolusi otomatis mengambil alih
kekuasaan. Jenderal Ayyub Khan di Pakistan (1958) atau Kolonel Muammar
Ghaddafi di Libya (1969) misalnya, otomatis mengambil alih kekuasaan di
negaranya dan membentuk kekuasaan baru dengan cara-cara revolusioner.
Baru kemudian mereka mengumumkan konstitusi untuk memberi legitimasi
pada kekuasaan mereka.
Dalam satu kasus di Philipina, dan dua kasus di negara kita, gerakan
people power umumnya tidak mempunyai tokoh sentral. Setelah didesak
dengan kekuatan massa di jalan-jalan utama Manila, Marcos pergi
meninggalkan negaranya. Dalam situasi seperti itu rakyat mendesak
Congress of the Philippines untuk bersidang. Congress pada akhirnya
memberhentikan Marcos dan menunjuk Ny. Corazon Aquino, seorang ibu rumah
tangga, istri dari tokoh oposisi Philipina Ninoy Aquino, yang mati
ditembak rezim Marcos di Bandara Manila beberapa tahun sebelumnya,
sebagai pemimpin Philipina.
Pasca G-30 S akhir 1965, demo besar-besaran juga terjadi hampir merata
di kota-kota besar negara kita. Tuntutan pembubaran PKI menggema
dimana-mana. Juga tuntutan perbaikan ekonomi dan stabilitas politik yang
cukup parah di masa itu. Keadaan politik yang tidak stabil dan
kemunduran ekonomi serta kesengsaraan yang luar biasa, akhirnya mendesak
Presiden Soekarno untuk mundur. Sementara Jenderal Soeharto yang pada
waktu itu telah menjadi "pengemban Supersemar" dan secara praktis
mengendalikan keadaan dengan Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan,
oleh Sidang Istimewa MPRS akhirnya ditetapkan sebagai Pejabat Presiden,
setelah sebelumnya memberhentikan Presiden Soekarno dengan menempuh
jalan konstitusional. Presiden Soekarno diberi kesempatan dua kali untuk
menyampaikan pidato pertanggungjawaban atas tuduhan pelanggaran GBHN
yang berjudul "Nawaksara" dan ditolak MPRS. Sebagai catatan bahwa
Presiden Soekarno ketika itu sesungguhnya menjalankan kekuasaan
kepresidenan tanpa wakil, setelah sebelumnya Wakil Presiden Mohammad
Hatta telah mengundurkan diri pada tahun 1956.
Dalam kasus people power tahun 1998, Presiden Suharto juga didesak
mundur karena dianggap terlalu lama berkuasa dan melakukan KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme). Demo besar-besaran di Jakarta dan juga kerusuhan
Mei 1998, pada akhirnya memaksa Presiden Soeharto "menyatakan berhenti"
dari jabatannya dalam sebuah pidato di Istana Negara pada tanggal 22 Mei
1998. Seketika setelah menyampaikan pidato itu, Wakil Presiden BJ
Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan
Mahkamah Agung yang hadir lengkap pada waktu itu.
Dari uraian sejarah di atas, dilihat dari sudut hukum tata negara, apa
yang dilakukan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan dan Kolonel Moammar
Ghaddafi di Libya dapat dikategorikan sebagai suatu kudeta, yakni
pengambil-alihan kekuasaan secara revolusioner dengan menggunakan
cara-cara di luar konstitusi yang berlaku. Revolusi yang berhasil,
dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang sah. Jika pemimpin revolusi
berhasil mempertahankan kekuasaannya yang baru, maka kekuasaan baru itu
menjadi sah secara konstitusional, meskipun awalnya mereka mengambil
alih kekuasaan melalui cara-cara inkostitusional. Namun kasus runtuhnya
kekuasaan Marcos, Soekarno dan Soeharto yang terjadi bukan karena
revolusi, tetapi terjadi melalui people power, maka penguasa baru
sesungguhnya memerlukan legitimasi konstitusional untuk menjalankan
kekuasaan berdasarkan norma-norma konstitusi yang berlaku di sebuah
negara ketika itu. Pergantian Soekarno ke Soeharto dan pergantian
Soeharto ke BJ Habibie berjalan secara konstitusional.
Sangat sulit untuk membayangkan pada sebuah negara demokrasi, ada
penguasa yang memegang kekuasaan dan menjalankan roda pemerintahan,
sementara konstitusionalitas pemerintahannya terus-menerus
dipertanyakan. Pemerintahan yang tidak didukung oleh basis
konstitusional yang sah, tidak akan pernah mampu menciptakan
pemerintahan yang normal. Kalau itu terjadi, maka lama kelamaan penguasa
baru ini akan menjadi diktator baru yang berpotensi mendorong terjadinya
kudeta atau people power sekali lagi untuk memaksa mereka turun dari
tampuk kekuasaan.
Dalam kasus Marcos, walaupun awalnya didesak dengan people power, namun
pada akhirnya Marcos diberhentikan secara konstitusional dari jabatannya
berdasarkan Konstitusi Philipina yang berlaku ketika itu. Ny Corazon
Aquino yang ditetapkan sebagai Presiden menggantikan Marcos, juga
dilakukan secara konstitusional, sehingga tidak ada pihak yang
mempertanyakan keabsahan pemerintahannya. Sejak itu keadaan di Philipina
berangsur-angsur normal kembali.
Pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno yang sebelumnya telah
ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden Seumur Hidup, pada akhirnya juga
sulit untuk bertahan akibat desakan mundur pasca peristiwa G-3O S.
Proses pemberhentian Presiden Soekarno memerlukan waktu sedikitnya
hampir dua tahun, hingga akhirnya pada tahun 1967, MPRS mencabut TAP
tentang pengangkatan beliau sebagai "Presiden Seumur Hidup" yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Seperti telah saya katakan di
atas, Presiden Sukarno juga dimintai pertanggungjawaban oleh MPRS dan
ditolak, dan atas dasar penolakan itu beliau diberhentikan sebagai
Presiden RI. MPRS akhirnya menetapkan "pengemban" Supersemar Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Terlepas dari persoalan rekayasa
politik dari kalangan militer atas proses pemberhentikan Presiden
Soekarno dan pengangkatan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, namun
semua proses itu berjalan secara konstitusional.
Demikian pula pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ
Habibie pada tahun 1998, walaupun awalnya didesak melalui people power,
namun akhirnya proses pergantian itu mencari bentuk konstitusionalnya.
Awalnya, Presiden Soeharto dipilih kembali oleh MPR untuk kesekian
kalinya dalam Sidang Umum MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung
normal, apabila Presiden Soeharto ingin berhenti dari jabatannya, maka
proses itu harus melalui MPR. Namun karena desakan people power, Gedung
MPR/DPR di Senayan kala itu dikuasai oleh para demonstran, MPR hampir
mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR No. VII/1973
Presiden Suharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana
Negara tanggal 22 Mei 1998. Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie
mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden RI.
Beberapa waktu setelahnya, memang terdapat polemik akademik terkait
masalah konstitusionalitas, yang ketika itu saya hadapi berdua dengan
guru saya almarhum Prof. Dr. Ismail Suny. Hingga pada akhirnya,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya pada tahun 1998
menyatakan bahwa proses berhentinya Presiden Soeharto dan pergantiannya
dengan BJ Habibie adalah sah dan konstitusional. Putusan itu berkekuatan
hukum tetap atau "inkracht van gewijsde", karena gugatan para penggugat
yang menamakan dirinya "100 Pengacara Reformasi" ditolak oleh PN Jakarta
Pusat dan mereka tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Dari kasus people power terhadap Marcos, Soekarno dan Soeharto yang saya
uraikan di atas, nyatalah bahwa apa yang dinamakan people power itu
berbeda dengan revolusi. People power pada akhirnya selalu mencari
legitimasi konstitusional pergantian rezim berdasarkan aturan-aturan
konstitusi yang ketika itu berlaku di suatu negara. People power selalu
mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi.
Sedangkan revolusi sesungguhnya tidak mencari legitimasi konstitusional
berdasarkan norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi
justru mengambil alih kekuasaan dengan cara di luar konstitusi. Revolusi
yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan penguasa baru yang
legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa
dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi
pemimpin revolusioner.
*Persoalan Kita Sekarang*
Keinginan melakukan people power yang terdengar lantang pasca Pemilu
Serentak, khususnya pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) disuarakan oleh
beberapa aktivis yang ada, diantaranya sudah diproses pidana oleh polisi
sebagai tersangka rencana perbuatan makar berdasarkan KUHP dan/atau
melakukan ucapan-ucapan yang melanggar UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Faktor-faktor yang melatar-belakangi people power seperti terjadi dalam
kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto, pada hemat saya nampaknya tidak
ada. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima
tahun dalam periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional
berhak untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua.
Walaupun tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama menjalankan
pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak Presiden Jokowi
menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana
yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Soekarno dan Soeharto. Jokowi juga
belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan
Soeharto serta keluarga dan kroninya. Lantas kalau demikian, apa
urgensinya melakukan people power?
Ungkapan keinginan untuk melakukan people power sekarang ini lebih
banyak disebabkan oleh anggapan bahwa Pemilu, khususnya Pilpres,
berjalan secara curang. Kecurangan itu dianggap telah dilakukan secara
TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) yang melibatkan aparat negara
dan penyelenggara Pemilu untuk memenangkan Calon Presiden Incumbent dan
mengalahkan pasangan capres-cawapres yang lain. Dalam kenyataannya, baik
perhitungan cepat (Quick Count) maupun perhitungan nyata (Real Count)
Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk sementara ini Pasangan Joko
Widodo-Ma'ruf Amin memang unggul sekitar 10-11 persen dari pasangan
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hasil final penghitungan suara yang akan menentukan pasangan mana yang
menang, kewenangan itu secara konstitusional ada pada KPU. Tidak ada
lembaga apapun dan pihak manapun juga, termasuk pasangan calon, yang
berwenang menyatakan pasangan mana yang memenangkan Pilpres ini.
Kewenangan itu sepenuhnya ada pada KPU. Mahkamah Konstitusi pun hanya
berwenang untuk memutuskan sengketa perhitungan suara dalam Pilpres.
Setelah MK memutuskan masing-masing pasangan dapat suara berapa, maka
tindak-lanjut atas Putusan MK itu harus dituangkan dalam Keputusan KPU.
Keputusan KPU itulah yang nantinya dijadikan dasar oleh MPR untuk
menyelenggarakan Sidang untuk melantik dan mendengarkan pengucapan
sumpah jabatan Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Tanpa Keputusan KPU
tentang siapa yang memenangkan Pilpres, MPR tidak dapat mengadakan
sidang untuk melantik dan mendengar pengucapan sumpah Presiden. Tanpa
melalui semua proses ini, siapapun yang mengaku dirinya atau didaulat
oleh sejumlah orang menjadi Presiden RI, maka tindakan yang dilakukan
itu dalam perspektif hukum tata negara adalah inkonstitusional, dan
secara hukum pidana adalah kejahatan terhadap keamanan negara.
Terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, jika salah satu pasangan
calon Presiden dan para pendukungnya berpendapat telah terjadi
kecurangan, maka kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara a priori
sebagai sebuah kebenaran. Tuduhan kecurangan itu wajib dibuktikan secara
fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Pihak yang dibebani
untuk membuktikan kecurangan adalah pihak yang menanggap dan/atau
menuduh adanya kecurangan itu. Siapa yang menuduh wajib membuktikan. Itu
dalil umum dalam hukum acara. Pada akhirnya nanti, majelis hakimlah yang
berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan dan dibuktikan
itu terbukti "secara sah dan meyakinkan" atau "tidak" berdasarkan
alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku. Pengadilan
dimaksud, dalam sistem ketatanegaraan kita adalah Mahkamah Konstitusi
(MK) yang putusannya dalam sengketa Pilpres adalah bersifat final dan
mengikat (final and binding).
Jadi, tidak bisa seseorang menyatakan ada kecurangan secara sepihak
dengan menunjukkan alat-alat bukti dan saksi-saksi serta ahli secara
sepihak dan menyimpulkan bahwa kecurangan memang ada dan "terbukti".
Lantas dengan anggapan itu, seorang ahli agama diminta untuk mengutip
ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagai dasar
dalam mengajak sebagian umat Islam untuk melakukan people power.
Sementara, kecurangan yang disebutkan baru merupakan sebuah praduga atau
anggapan yang wajib dibuktikan di pengadilan. Selanjutnya, apabila ada
anggapan bahwa tidak ada gunanya membawa dugaan kecurangan itu ke MK
karena pengadilan tidak fair dan memihak kepada Pasangan Capres-Cawapres
Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, maka kewajiban semua pihak di negara ini,
bahkan dunia internasional, untuk sama-sama mengawasi MK agar tetap
obyektif, adil dan tidak memihak dalam mengadili sengketa Pilpres nanti.
Selama ini terlepas dari kekurangan yang ada, MK masih tetap dipercaya
sebagai pengadilan yang obyektif dalam mengadili perkara-perkara yang
sarat dengan muatan politik. Pihak yang menganggap curang, tentu dapat
menghadirkan para advokat handal untuk menghadirkan alat-alat bukti dan
argumen yang kokoh dalam persidangan. Sekiranya pihak yang menganggap
ada kecurangan tidak mau membawa permasalahannya ke MK, maka Keputusan
KPU tentang hasil pemungutan suara menjadi final. Namun jika tetap
dibawa ke MK, maka semua pihak harus menunggu putusan MK. MK sendiri
sudah menjadwalkan pendaftaran sengketa Pilpres pada tanggal 23-26 Mei
2019 dan Putusan akan dibacakan pada tanggal 24 Juni 2019. Setelah
dibacakan putusan tanggal 24 Juni itu, maka proses persidangan selesai
dan tidak ada upaya hukum apapun lagi yang dapat ditempuh oleh para
pihak yang berperkara.
Bagaimana dengan pihak yang apabila nantinya kalah dalam sidang MK,
namun ternyata tetap tidak dapat menerima kekalahan dan tetap
mendeklarasikan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden? ini kemudian
disusul dengan tindakan people power untuk memaksa mundur Presiden dan
Wakil Presiden yang secara konstitusional terpilih dan telah ditetapkan
oleh KPU?
Kalau ada pemimpin yang menggerakkan people power untuk memaksa Presiden
yang sah turun dari kekuasaannya, maka berdasarkan apa yang saya
kemukakan di awal tulisan ini, tindakan itu bukanlah people power
melainkan tindakan kudeta yang menggunakan cara-cara revolusioner di
luar konstitusi. Kalau ini yang terjadi, maka hanya akan ada dua
kemungkinan: kudeta revolusioner berhasil atau gagal. Jika berhasil,
dalam arti mampu mempertahankan kekuasaannya karena didukung rakyat,
maka kekuasaan yang baru akan sah. Kalau gagal, maka pemimpin kudeta
revolusioner dan tokoh-tokohnya akan ditangkap dan diadili sebagai
pelaku pengkhianatan terhadap negara. Jadi mereka menghadapi pilihan ini.
Sebagai orang yang cukup lama mendalami ilmu politik dan hukum tata
negara, serta sedikit-banyaknya terlibat dalam menangani proses
peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wapres BJ Habibie, saya
mengajak semua pihak agar tetap menghormati proses konstitusional dalam
menyikapi keputusan akhir KPU tentang pemenang Pilpres nanti. People
power tidak mungkin bisa digunakan karena landasan sosiologisnya tidak
cukup kuat. Lagi pula, jangan dilupakan bahwa people power pada akhirnya
akan mencari legitimasi konstitusional seperti dalam kasus Marcos,
Soekarno dan Soeharto.
Legitimasi kontitusional apa yang mungkin akan didapatkan oleh mereka
yang kalah dalam Pilpres tetapi tidak mau menerima kekalahan meskipun
dengan alasan dicurangi? Saya belum menemukan jawabannya. Sebab,
pemenang Pilpres hanya akan legitimate secara konstitusional jika ada
Surat Keputusan KPU dan dia dilantik serta mengucapkan sumpah jabatan di
hadapan Sidang MPR. Setelah dilantik, Presiden wajib membentuk dan
mengumumkan susunan anggota Kabinet. Dengan mekanisme yang dilalui itu,
dia baru sah secara konstitusional untuk menjalankan kekuasaan sebagai
seorang Presiden. Legitimasi konstitusional seperti itu takkan
didapatkan oleh pihak yang kalah dalam Pilpres yang mendeklarasikan diri
sebagai Presiden secara sepihak.
Menolak Presiden yang terpilih dan dilantik secara konstitusional
berpotensi membawa negara ini ke tepi jurang kekacauan tak berujung.
Amandemen UUD 45 tidak memberikan kerangka atau membuka jalan keluar
jika terjadi krisis konstitusional terkait dengan kedudukan Presiden.
Dalam kasus Presiden Soekarno yang tidak punya Wakil, MPRS ketika itu
dapat bersidang membuat ketetapan-ketetapan dalam rangka menutupi
kelemahan UUD 1945. Presiden Soekarno diberhentikan melalui proses
konstitusional. Jika keadaan normal maka Wakil Presiden akan
menggantikannya menjadi Presiden. Dalam ketiadaan Wakil Presiden, maka
MPRS mengangkat pengemban Supersemar Jenderal Suharto menjadi Pejabat
Presiden. Namun saat ini, UUD 45 hasil amandemen tidak memungkinkan hal
itu terjadi. Kedudukan Ketetapan MPR menjadi tidak jelas meski disebut
sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 11
Tahun 2012. MPR juga tidak berwenang menunjuk Pejabat Presiden. MPR
bukan lagi lembaga negara tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat
seperti disebut dalam UUD 45 sebelum amandemen.
Jadi, jika sekiranya Presiden pemenang hasil Pilpres ditolak untuk
dilantik menjadi Presiden oleh MPR tanggal 20 Oktober nanti, atau gagal
dilantik karena ada people power akibat MPR tidak dapat bersidang, maka
siapa yang akan menjalankan kekuasaan sebagai Presiden? Terhitung sejak
tanggal 20 Oktober nanti, masa jabatan Presiden Joko Widodo sudah habis.
Tanpa dilantik sekali lagi dan mengucapkan sumpah sebagai Presiden pada
periode kedua, tindakan Joko Widodo sebagai Presiden semuanya tidak sah.
Persis seperti kasus Hendarman Supandji yang menjalankan jabatan sebagai
Jaksa Agung periode kedua tanpa Keppres dan tanpa dilantik. Hendarman
akhirnya dinyatakan tidak sah sebagai Jaksa Agung oleh Mahkamah Konstitusi.
Sementara Presiden yang kalah Pilpres tetapi mendeklarasikan sebagai
Presiden, sebagaimana telah saya uraikan, tentu tidak mempunyai
legitimasi konstitusional apapun untuk memerintah. Satu-satunya jalan
adalah kalau dia memaksakan diri menjadi Presiden dengan cara kudeta
merebut kekuasaan. Selanjutnya, dia memerintah sebagai diktator dengan
dukungan militer yang tentunya akan menggunakan "emergency law". Keadaan
seperti ini, tentu tidak akan membawa kebaikan dan kemaslahatan apapun
bagi bangsa dan negara ini.
Demikian tulisan saya. Kiranya dapat menjadi bahan renungan kita bersama.***
Jakarta, 16 Mei 2019/11 Ramadhan 1441
/*) Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara/
*(tor/tor)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*