Kapan puasanya dari gaduh............? Atau mau berpuas-puas melakukan gaduh....... ?
Pada tanggal Min, 19 Mei 2019 pukul 21.01 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> menulis: > > > > > https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh > Minggu 19 Mei 2019, 12:08 WIB > Jeda Tak Putus Dirundung Gaduh > Mumu Aloha - detikNews > <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> > Mumu Aloha > <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> > Share *0* > <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> Tweet > <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> Share > *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> 15 > komentar > <https://news.detik.com/kolom/d-4555565/tak-putus-dirundung-gaduh#> > [image: Tak Putus Dirundung Gaduh] Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi > Wahyono/detikcom) > *Jakarta* - Kabar terakhir, Kubu 02 mengajak pendukungnya untuk mogok > bayar pajak. Kita tahu, itu terjadi setelah serentetan aksi yang susul > menyusul tak putus-putus sejak beberapa jam setelah pencoblosan. Dari sujud > syukur dan deklarasi kemenangan hingga ajakan *people power* yang > kemudian diperhalus namanya menjadi "gerakan kedaulatan rakyat", yang > diluncurkan dalam sebuah acara --lagi-lagi-- deklarasi di sebuah tempat > yang diberi nama sesuai gerakannya, Posko Kedaulatan Rakyat, di Menteng, > Jakarta, Jumat kemarin. > > Itu belum termasuk soal surat wasiat yang dibuat oleh Prabowo. *Lho*, > menyikapi hasil pemilu kok pakai bikin-bikin surat wasiat segala? Tapi, > aduh, rasanya kita sudah kehabisan energi untuk terus mengikuti secara > detail beritanya satu demi satu. Setiap hari selalu ada perkembangan baru.. > Dari tuduhan kecurangan yang terus-menerus didengungkan sampai klaim angka > kemenangan yang terus berubah. Sungguh, kita dibuat penasaran, akan ke > mana, bagaimana, dan seperti apa *ending* dari semua rentetan drama > "copras-capres" ini. > > Ada yang meramalkan, atau barangkali lebih tepatnya mengkhawatirkan, bahwa > pada 22 Mei nanti, setelah KPU mengumumkan secara resmi hasil pemilu, > situasi yang tegang, gaduh, dan panas selama ini akan memuncak, dan menjadi > kekacauan. Aduh, kita berdoa semoga hal itu tidak terjadi. Tapi, Kedubes > Amerika Serikat di Jakarta sudah memberikan *warning* untuk kemungkinan > buruk yang akan terjadi sekitar tanggal itu. > > Berbagai ramalan, kekhawatiran, maupun kewaspadaan itu memang wajar > muncul, mengingat sejak awal kata "*people power*" (yang kemudian diralat > itu), juga kata "revolusi", terus-menerus diserukan. Amien Rais sendiri, > sebagai tokoh yang sejak semula, jauh sebelum hari pencoblosan, melontarkan > "ancaman" --"*Kalau sampai terjadi kecurangan (pemilu) yang terstruktur, > sistematis, dan masif.*..."-- itu, dalam deklarasi Gerakan Kedaulatan > Rakyat, Jumat kemarin kembali menegaskan bahwa "permainan belum selesai". > > Selain karena adanya kecurangan dalam pemilu yang selalu dituduhkan itu, > Gerakan Kedaulatan Rakyat juga dimaksudkan sebagai pesan kepada petahana > yang menurut Pak Amien tokoh kita tercinta itu "*sudah empat tahun > ternyata nggak bisa apa-apa, bahkan....menyengsarakan rakyat*." Dan, jika > Pak Amien yang bicara, maka siapa yang berani meragukannya? Sekali beliau > melontarkan "ancaman" *people powe*r, mau namanya diganti apapun, kita > mesti bersiap-siap. > > Siapa yang bisa melupakan sejarah, bahwa Pak Amien adalah salah satu orang > terdepan dan terkuat di balik jatuhnya Soeharto pada Mei 1998? Pak Amien > pulalah yang telah berhasil melengserkan Presiden Gus Dur, dan menggantinya > dengan Ibu Megawati. Kini, beliau berada di belakangan Prabowo, sebagai > --katakanlah-- "penasihat utama" Kubu 02, yang apapun pernyataannya, sepak > terjangnya, manuver politiknya, bahkan celetukan-celetukannya, juga desah > napasnya, tidak mungkin dianggap angin lalu begitu saja. > > Banyak di antara kita yang berharap bahwa datangnya bulan puasa akan > meredakan berbagai ketegangan tersebut. Namun, bagi Pak Amien justru > sebaliknya. Tokoh kita tercinta, yang pernah kita puja-puja dan tinggikan > sebagai Bapak Reformasi itu, dengan semangat dan kegagahan yang masih sama > seperti saat melawan Soeharto berpuluh tahun yang lalu, menegaskan bahwa > *Syahrul > Ramadha*n justru "kita jadikan *syahrul jihad*, *syahrul* perjuangan." > > Inti dari semua itu, Pak Amien menyatakan dan mengajak segenap pendukung > Kubu 02 untuk "kita bela sampai titik darah penghabisan." Itu baru Pak > Amien. Kita belum mendengar pernyataan tokoh-tokoh lain di kubu yang sama.. > Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya, Titiek Soeharto, yang juga anggota > Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi misalnya, tak kalah heroik > menyerukan tekad bahwa pihaknya "akan berjuang di jalanan". Artinya, tidak > perlu membawa tuduhan soal kecurangan pemilu yang menjadi pangkal seluruh > gerakan mereka tersebut ke Mahkamah Konstitusi. > > Pokoknya, pemilu curang, titik. Siapa yang curang? Petahana. Dan, itu > harus dilawan. Dengan? *People power*. Eh, bukan. Gerakan Kedaulatan > Rakyat. Aksi tersebut rencananya akan digulirkan mulai 20 Mei besok, hingga > KPU mengumumkan hasil pemilu. Tujuannya? Meminta KPU mendiskualifikasi > capres petahana. > > Tak jauh beda dengan Pak Amien, Titiek Soeharto tentu saja juga bukan > tokoh sembarangan, yang boleh dianggap enteng pernyataannya. Bahkan, > mungkin kita perlu menggarisbawahinya lebih tebal. Jika kata "berjuang" > atau "perjuangan" diucapkan oleh Pak Amien Rais, maka itu sudah biasa, > bukan barang baru, ataupun mengejutkan. Tapi, ini Titiek Soeharto! Kita tak > bisa tidak menjadi terharu dibuatnya. Saya sampai berkali-kali mengulang > membaca berita itu, takut salah baca --maklum, dalam kondisi puasa, perut > lapar, orang bisa saja berhalusinasi. > > Tapi, seperti ditulis oleh wartawan dalam kutipan langsung di berita > tersebut, Titiek Soeharto benar-benar telah mengucapkan kata itu. Berjuang. > Saya mengulanginya lagi dan lagi, seperti membaca doa, seperti merapal > mantra keramat yang suci dan sakral. Berjuang. Berjuang. Berjuang. Jika > seorang Titiek Soeharto saja sampai melontarkan kesiapannya untuk > "berjuang" --apalagi ditambah "di jalanan"-- maka situasi memang > benar-benar sudah sangat gawat. > > Begitulah, tuduhan kecurangan pemilu terus dan terus didengungkan, seperti > nyanyian sehari-hari yang kemudian dengan mudah dihafal liriknya oleh > publik. Sesuatu yang terus diulang-ulang, ada atau tidak, menjadi tak > penting lagi, karena akhirnya menjelma menjadi "kebenaran" yang hakiki dan > diyakini. Sejumlah orang sampai berdemo di depan Kantor Bawaslu, memprotes > "kecurangan pemilu". Salah satu pendemo bahkan menyerukan akan "memenggal" > Presiden Jokowi. Videonya menyebar. Orang-orang berdebat. Lagi, dan lagi. > Tiada hari tanpa kegaduhan. Kita tak bisa menghindari. Tak ada tempat untuk > berlari dan sembunyi. > > Kita duduk-duduk bersantai minum kopi dengan teman, obrolan kita tak akan > jauh dari perkembangan politik pasca-pemilu. Di Grup WA alumni hingga > keluarga, orang-orang juga rajin membagikan berita-berita perkembangan > situasi politik terkini, berikut komentar dan analisis mereka. Politik > --utamanya urusan seputar Pemilu 2019 ini-- telah menjadi makanan > sehari-hari, kita peduli atau tidak. Para pendukung fanatik akan selalu > memastikan energinya tersedia untuk segala debat di media sosial. > > Saya sering heran dan penasaran, siapa sebenarnya mereka? Bagaimana > kehidupan sehari-harinya? Apakah dalam kehidupan "nyata" di antara tetangga > kanan-kiri, di tengah pergaulan pertemanan di tempat kerja, mereka juga > terus saja berdebat, membela pasangan capres yang didukungnya, sambil > menyakini dan meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa benar telah > terjadi kecurangan dalam pemilu kemarin --kecurangan yang menurut para > junjungan mereka "sistematis, terstruktur, masif, dan brutal? > > Ketika saya iseng melempar pertanyaan itu di Twitter, seorang teman me- > *reply* dan membantu saya membayangkan apa yang terjadi di luar sana. > Teman saya itu mengatakan bahwa orang-orang yang ribut terus urusan > "copras-capres" itu: *sehari-hari merengut. tetangga saya dua orang fans > garis keras salah satu angka, dua-duanya roboh karena serangan jantung. ini > kisah nyata.* > > Sebagai rakyat, tugas kita mestinya sudah "selesai" setelah memberikan hak > suara kita pada hari pencoblosan. Setelah itu, kita kembali ke kehidupan > masing-masing. Kalau memang benar ada dan telah terjadi kecurangan, maka > biarlah itu kita serahkan saja pada Pak Amien Rais, Ibu Titiek Soeharto dan > tokoh-tokoh yang sejak awal menyatakan diri siap untuk berjuang melawannya. > Kita tak perlu ikut tegang, panas, ngotot, ngegas, sampai harus membenci > dan memusuhi --apalagi ingin "memenggal"-- orang-orang yang berbeda pilihan > politik dengan kita. > > Tak perlu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk tahu dan > paham, bahwa politik sejatinya tak lebih dari urusan bagi-bagi kekuasaan. > Nanti, setelah hasil pemilu diumumkan oleh KPU, setelah segala kegaduhan > yang seolah tak berujung ini, seperti yang sudah-sudah, koalisi baru > partai-partai akan terbentuk, peta politik akan memperjelas dirinya: siapa > merapat ke mana, dan mendapatkan apa, sambil tertawa-tawa. Sedangkan kita, > akan tetap begini-begini saja. Dalam lirik retoris nan satir puisi Wiji > Thukul: ....*gelas dan sendokku/ apakah bertambah/ setelah pemilu bubar?* > > Jadi, masih mau terus ikut gaduh? Sayangi jantungmu! > > *Mumu Aloha* *wartawan, penulis, editor* > > > *(mmu/mmu)* > > > > > > >