Seenak udelnya!

Provokator ya?

 

Kalau mau jadi provokator, urus sana negara ente!

Lepaskan orang Indian, orang item, orang latino dinegara ente!

Kasih mereka daerah supaya bisa mendirikan negara sendiri!

 

Jangan ngobok2 negara orang laen!

 

Nesare

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Thursday, September 5, 2019 10:52 AM
To: Yahoogroups <gelora45@yahoogroups.com>
Subject: Re: [GELORA45] berita ekonomi

 

  

lepaskan saja Papua setelah itu tidak pusing biaya lagi, hemat kan.

 

 

---In  <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com, < 
<mailto:djiekh@...> djiekh@...> wrote :

Ideenya Rizal Ramli memang bisa langsung kelihatan hasilnya:

Penduduk hidup lebih makmur, dan ekonomi mungkin bisa jalan (uang bisa 
berputar) ?

Tetapi butuh dana besar sekali "Penduduk Papua Barat :   915. 361 (tahun 2017).

Penduduk Papua                                                         
:3.265.202 ( 2017).

Total                                                                           
 4.2 juta

Kalau tiap orang diberi 1 juta per bulan, tiap bulan butuh 4.2 juta X 1 juta = 
4.2 trilyun.

Berarti setahun = 4.2 trilyun X 12 = 50.4 trilyun.

Khusus untuk alokasi dana otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua 
Barat, pemerintah menganggarkan Rp 8,4 triliun (Papua Rp 5,8 triliun dan Papua 
Barat Rp 2,5 triliun). 

 
<https://republika.co.id/berita/pwj7n3370/jokowi-sediakan-dana-otonomi-khusus-papua-rp-84-triliun>
 
https://republika.co.id/berita/pwj7n3370/jokowi-sediakan-dana-otonomi-khusus-papua-rp-84-triliun
  

Lalu dari anggaran2 mana untuk Papua dan Papua Barat mau dipakai menutup 
kekurangan  50.4 - 8.4 = 42 trilyun ?

Yang dikatakan RR sebesar 67 trilyun itu dana dari tahun 2001 hingga 2017 :

Sejak digelontorkan pada 2001 hingga 2017, total dana otsus untuk Papua dan 
Papua Barat sebesar Rp67 triliun.  

 <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46289211> Puluhan triliun dana 
otonomi khusus dialirkan, mengapa masih ada tuntutan 'Papua merdeka'? 

 




                


  <https://s.yimg.com/nq/storm/assets/enhancrV2/23/logos/bbc.png> 


Puluhan triliun dana otonomi khusus dialirkan, mengapa masih ada tuntuta...


Ketua Majelis Rakyat Papua menyebut puluhan triliun rupiah yang dikucurkan tiap 
tahun tak berdampak pada kesejah...

 

 

Bagaimana kalau penduduk selain dapat uang bulanan juga diajari bercocok tanam 
yang paling mudah dengan tanaman tahan penyakit misalnya singkong,

dan ternak tahan penyakit, misalnya bebek ? 

 

Pada tanggal Kam, 5 Sep 2019 pukul 13.27 'Lusi D.'  <mailto:lusi_d@...> 
lusi_d@... [GELORA45] < <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> 
gelor...@yahoogroups..com> menulis:

Berikut sekedar berita tentang perkembangan ekonomi terakhir.
Selamat membaca. Lusi.-

1.:

Rizal Ramli: Aceh Tidak Bisa Jadi Contoh yang Baik

By
Muhajir -
04/09/2019

 <http://acehtrend.com/> ACEHTREND.COM, Jakarta- Pakar Ekonomi Rizal Ramli 
mengatakan
penyelesaian persoalan Papua dan Papua Barat tidak bisa secara
simbolik. Otonomi khusus di sana tidak efektif, karena membuka peluang
korupsi.

Hal ini disampaikan oleh Rizal Ramli dalam acara Indonesa Lawyers Club
(ILC) bertema Papua: Mencari Jalan Terbaik di tvOne, Selasa (3/9/2019).

Perihal tidak efektifnya pelaksanaan otonomi khusus, Rizal Ramli
merujuk kepada Aceh, yang menurutnya tidak bisa menjadi bukti
kesuksesan pelaksanaan otonomi khusus. Di Aceh, menurut Rizal Ramli,
pelaksanaan otsus tidak sesuai harapan.

Sebagai propinsi yang mendapatkan mandat menjalankan otonomi khusus
serta mendapatkan uang yang tidak sedikit, Aceh tidak kunjung keluar
dari problem klasiknya yaitu kemiskinan. Saat ini Aceh menjadi daerah
termiskin di Sumatera. Dengan angka pengangguran tertinggi. Menurut
Rizal, dana otsus untuk Aceh dikorupsi oleh elit Aceh.

Rizal, pada kesempatan itu mengatakan, bila ingin menyelesaikan
persoalan Papua, maka Pemerintah perlu menjadikan negara bagian Alaska,
Amerika Serikat, sebagai contoh. Di sana, Pemerintah Alaska memberikan
uang tunai setiap bulan untuk warga asli. Meski kemudian warga tersebut
tetap bertahan dengan profesi sebagai nelayan, tapi mereka punya uang
untuk hidup sejahtera.

“Beri warga Papua satu juta per orang setiap bulan. Jadi kalau ada
empat orang dalam satu keluarga, beri mereka empat juta. Pemerintah
bisa meminta BRI untuk menyediakan ATM buat mereka. Transfer langsung
ke warga. Tapi berikan pada mama-mama, sebab jika diberikan pada
laki-laki, itu akan habis dibuat untuk mabuk,” ujar Rizal Ramli.

Sumber: ILC

2.:

Rizal Ramli Ungkap Salah Penanganan Aceh dan Timor Timur, Jangan Ulangi
di Papua! 

By Mahameru Alfaraby | 
September 4, 2019 

KedaiPena.Com – Tokoh Nasional Rizal Ramli kembali menegaskan tidak
boleh menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani masalah Papua.

Ia pun meminta Pemerintahan Jokowi meniru langkah pendahulunya
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menganggap Papua sebagai saudara.

“Saya ini menteri kabinet Gus Dur. Pendekatan Gus Dur beda karena Gus
Dur anggap kita semua saudara,” kata Rizal Ramli di Jakarta, ditulis
Rabu (4/9/2019).

Ia pun mengambil analogi jika dalam satu keluarha, ada seorang anak
bilang mau ke luar rumah. Maka ada tiga pilihan, yang pertama ditangani
dengan kekerasan atau dipukuli. Kedua mengusir anak tersebut. Dan yang
ketiga, adalah instropeksi diri.

“Bapak yang benar instropeksi. Mungkin saya kurang adil, kurang sayang.
Jadi kita duduk bareng, jangan main gebuk. Sama seperti Papua. Kalau
kita main gebuk sama saja membantu kampanye Papua merdeka,” tegas dia.

Rizal pun menceritakan awal mula kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia
yang dimulai dari sekelompok kecil orang. Namun menjadi besar karena
Indonesia salah urus konflik.

“Xanana (Gusmao, tokoh Fretilin Timor Leste) itu temen deket saya. Saya
sempet tanya dulu bagaimana bikin gerakan politik, lalu sayap politik.
Ternyata modalnya kurang dari 100 orang,” cerita Menko Ekuin era
Presiden Gus Dur ini.

Tapi karena aparat Indonesia main kekerasan kepada sipil, maka rakyat
Timor Timur, ketika itu, ikut gerakan politik dan bersenjata ini.

Demikian juga di Aceh. Informasi yang dihimpun Rizal dari salah satu
Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mereka merintis gerakan politik
dan sayap militer hanya dengan 60 orang.

Sama seperti cerita Timor Leste, karena aparat juga main kekerasan,
maka rakyat bergabung dan GAM makin berkuasa. Barulah setelah tsunami
pada 2004, barulah tercipta perdamaian di bumi Serambi Mekah.

“Gerakan bersenjata harus ditangani dengan sepatutnya. Tapi jangan
represif ke sipil di mana saja di Indonesia termasuk Papua. Karena
kalau kita represif bantu kampanye gerakan tersebut,” tandas Gus Romli,
sapaan Rizal di kalangan Nahdliyin.

Laporan: Muhammad Lutfi

3.:

Sri Mulyani Akui Ekonomi RI Tidak Mencapai Target, Menkeu Era Soeharto
Prediksi Lebih Buruk

By Irfan Murpratomo | 
September 4, 2019 

Fuad melanjutkan prediksi tersebut bisa lebih buruk, jika melihat dan
menghitung dampak yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan khususnya
pembakaran hutan yang saat ini marak di Indonesia.

“Itupun tanpa mengukur dan mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan
bisa mencapai dua persen dan tiga persen. Kerusakan yang saya maksud
adalah kerusakan kehutanan dan lain- lain,” tutur Fuad.

Fuad meminta pemerintah sebaiknya tidak membantah dan melakukan
pembelaan terkait prediksi tersebut. Menurut Fuad ‘nyungsep’ ekonomi
sudah terlihat jelas.

“Dari segi penerimiaan pajak termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai)itu
seret. Sehingga daya beli turun, jadi itu tidak usah dibantah lagi oleh
pemerintah,” tandas Politikus Partai Gerindra ini.

Sri Mulyani Akui Pertumbuhan Ekonomi Tidak Sesuai Target

Saat melakukan rapat paripurna di DPR beberapa waktu lalu, menteri
Keuangan Sri Mulyani menyebut perekonomian Indonesia kemungkinan hanya
tumbuh di kisaran 5,08 persen sampai akhir tahun 2019 ini.

Menurut Sri Mulyani proyeksi ini jauh lebih rendah dari outlook semula
sebesar 5,2 persen dan asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2019 yang 5,3 persen.

“Total semester II, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,11 persen, yang kalau
dibulatkan satu digit sebesar 5,1 persen atau 5,08 persen itu adalah
forecasting (sampai akhir tahun),” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menjelaskan proyeksi ini berasal dari realisasi pertumbuhan
ekonomi semester I 2019 sebesar 5,06 persen. Sementara pada semester II
2019, ekonomi akan tumbuh mencapai 5,11 persen.

“Outlook 5,2 persen masih kami taruh di sana, tapi internal kami lihat
5,08 persen,” beber Sri Mulyani.

RR Ramal Pertumbuhan Ekonomi Tidak Sesuai Target dan Nyungsep

Tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi RI di tahun 2019 ini
sedianya sudah diprediksi oleh Begawan Ekonomi Rizal Ramli.

RR begitu ia disapa memprediksi ekonomi Indonesia bakal ‘nyungsep’
tahun ini. Rizal memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 cuma
sebesar 4,5%.

“Kami ingin mengatakan bahwa tahun ini ekonomi Indonesia akan makin
nyungsep, pertumbuhan ekonominya paling hanya 4,5%,” kata pria yang
akrab disapa RR di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

RR menambahkan artinya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah
5,2% di tahun ini menurut Rizal tak akan tercapai.

“Pemerintah awal tahun mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal
5,2% tapi data terakhir 5,0%. Dugaan kami anjlok terus jadi 4,5%.
Kemudian indikator makro menunjukkan kecenderungan makin merosot,”
jelas RR.

Laporan: Muhammad Hafidh

4:

Sri Mulyani, Indonesia Krisis!

By Mahameru Alfaraby | 
September 2, 2019 

BUKAN Sri Mulyani kalau tak jago berkelit. Perempuan yang dua kali
didapuk menjadi Menteri Keuangan (era Presiden SBY dan Jokowi) ini
benar-benar ngeyel. Berkali-kali dia menyatakan ekonomi Indonesia
aman-aman saja, jauh dari terjangan krisis. Sri juga bolak-balik
mengklaim APBN dikelola dengan prudent alias hati-hati. Namun pada saat
yang sama, dia terus menumpuk utang berbunga tinggi dalam jumlah
superjumbo dengan segala konsekwensi dan risiko yang amat mengerikan.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan total utang luar negeri (ULN)
Indonesia sampai akhir triwulan II 2019 tercatat US$391,8 miliar.
Dengan kurs BI hari ini, Senin (2/9) yang Rp14.190, utang tersebut
setara dengan Rp5.556 triliun. Angka ini tumbuh 10,1% ( year on
year/yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang
sama tahun sebelumnya yang 8,1%.

Yang membuat tambah miris, utang-utang itu dibuat dengan bunga yang
dikerek tinggi-tinggi. Berikut contoh tujuh surat utang bertenor dua
tahun yang dia terbitkan. Yaitu, SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005
(8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), dan SBR003
(8,55%).

Padahal bila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006
tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019 dan April
2019, Sri yang sangat disukai kreditor asing itu menawarkan bunga/kupon
1%-1,9% lebih tinggi. Begitu juga untuk surat utang ST002-004 yang
seharusnya besar bunganya mengambang (floating). Bila mengikuti kurva
yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7%
hingga 2,23%.

Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang rating-nya
lebih rendah ketimbang Indonesia, angka kelebihan bunga itu mencapai
3%. Dengan peringkat yang lebih bagus, semestinya bunga utang yang kita
bayar lebih rendah daripada Vietnam dan Thailand.

“Karena perilakunya yang terus-menerus menyenangkan kreditor walau
menyengsarakan rakyat, Sri lebih pas disebut sebagai Menkeu Terbalik,
bukan menkeu terbaik,” ujar ekonom senior Rizal Ramli.

Rp317,7 triliun lebih mahal

RR, begitu mantan anggota tim Panel Ahli Perserikatan Bangsa Bangsa
biasa disapa, memaparkan sebagai Menkeu SBY, 2006-2010, Sri menerbitkan
bond senilai Rp454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon Rp281,8 triliun,
Variable Coupon Rp25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp25,7 triliun,
dan Fixed Coupon (non tradable) Rp121,7 triliun. Dengan yield
kemahalan, beban yang harus ditanggung rakyat akibat ulah perempuan ini
mencapai Rp199,7 triliun.

Sedangkan di era Jokowi (2016-2019), dia menerbitkan bond senilai
Rp790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp461 triliun, Zero
Coupon Rp49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp22,1 triliun, Fixed
Coupon (Islamic) Rp240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp10,7
triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp7 triliun. Yield
kemahalan ini menambah beban rakyat dari yang semestinya sebesar Rp118
triliun. Total kelebihan bayar bunga utang itu mencapai Rp317,7 triliun.

Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk
menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja
ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas
dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat
utang yang bunganya terlalu tinggi.

Data yang ada menunjukkan, hingga Juni 2019 pembayaran bunga utang
mencapai Rp127,1 triliun. Angka ini naik 13% ketimbang periode yang
sama tahun sebelumnya. Sebaliknya, subsidi untuk keperluan dasar rakyat
cuma kebagian Rp50,6 triliun atau turun 17%. Dengan angka-angka seperti
ini, Sri telah ibarat demang yang memeras rakyat demi menyenangkan
penjajah Belanda yang jadi majikan asingnya.

Sikap inlander Sri yang creditors first membuat sebagian besar anggaran
APBN tersedot untuk membayar utang. APBN 2019 mengalokasikan pembayaran
pokok utang sebesar Rp400 triliun. Ditambah dengan pembayaran bunga
yang Rp249 triliun, maka total beban utang mencapai Rp649 trilliun.
Angka ini sekitar 150% anggaran infrastruktur maupun anggaran
pendidikan yang sekitar Rp400-an triliun.

Makro-mikro merah

Sri juga sering ngeles dengan mengatakan ekonomi kita aman-aman saja.
Pada saat yang sama fakta dan data menunjukkan terjadinya
deindustrialisasi yang dampak langsungnya adalah pemutusan hubungan
kerja.

Sejumlah indikator makro dan mikro jelas-jelas menunjukkan ekonomi kita
sama sekali tidak aman-aman saja, sebagaimana yang sering diklaim Sri.
Defisit Neraca Pembayaran (Current Account Deficit/CAD) hingga triwulan
II-2019 menunjukkan angka US$8,4 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan
triwulan pertama yang US$7 miliar. Artinya, hanya dalam tempo tiga
bulan, CAD membengkak US$1,4 miliar.

Indikator merah lainnya, juga terjadi pada neraca perdagangan yang
defisit. Pada triwulan pertama 2019, defisitnya tercatat US$1,450
miliar. Pada kwartal II, defisit naik menjadi US$1,870 miliar.

Kinerja ekspor nonmigas juga melorot seiring perekonomian dunia yang
melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang turun. Ekspor
nonmigas tercatat US$37,2 miliar, turun dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar US$38,2 miliar. Defisit neraca perdagangan migas
juga meningkat menjadi US$3,2 miliar. Padahal, pada triwulan sebelumnya
defisit itu masih U$ 2,2 miliar.

Salah satu parameter sukses-tidaknya Menkeu adalah rasio pajak alias
tax ratio. Ternyata, tax ratio juga terus terjun. Pada 2010, rasio
pajak tercatat 9,82%. Sampai 2018, angkanya melorot menjadi 8,85%.
Kalau dihitung termasuk pendapatan bea cukai dan royalti Migas-tambang,
angkanya bergerak dari 14,66% pada 2011 menjadi 11,45% di 2018.

Perlambatan penerimaan perpajakan ini membuat Sri uring-uringan.
Pasalnya, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara mencapai hampir
80%. Sampai akhir Juli 2019, pajak yang masuk Rp810,7 triliun atau
45,4% dari target APBN.

Terus terjunnya penerimaan pajak inilah yang membuat Sri kalap dan
kalang-kabut. Maka, dia pun memajaki pempek palembang, pecel lele,
gado-gado, dan UMKM. Padahal, sebelumnya UMKM sudah kena pajak final
0,5% dari omset, tidak peduli usaha rakyat kecil ini menangguk laba
atau diterjang rugi.

Tetap jumawa

Kendati sudah babak-belur dihajar angka-angka rapor yang merah, toh
perempuan itu tetap saja berkoar Indonesia masih jauh dari krisis.
Tidak tanggung-tanggung, sikap jumawa ini dia sampaikan saat rapat
kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (29/8). Saat itu Sri menegaskan
kendati Indonesia harus waspada, itu tidak berarti bahwa krisis sudah
di ambang pintu.

Padahal, tiga hari sebelumnya saat menggelar konferensi pers APBN Kita,
Senin (26/8/2019), dia mengakui bahwa ekonomi dunia telah melemah dan
risikonya bakal makin meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi dalam
statement atau indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus. Pengakuan
Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini.

Menurut dia, perlambatan ekonomi dunia ditandai dengan bertaburnya data
ekonomi di berbagai negara terus membuat cemberut. Jerman, Singapura,
negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko, Brasil dalam
situasi sulit. Eropa dan China pun mengalami hal sama. Bahkan kawasan
Asia, termasuk India, yang jadi lokomotif penghela ekonomi di pasar
berkembang juga melemah.

Tapi dasar kopeg, babak-belurnya perekonomian dunia justru membuatnya
bertepuk dada. Katanya, di tengah perekonomian dunia yang lesu,
Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Kalau saja dia mau sedikit humble,
tentu pernyataan seperti itu tak bakalan keluar dari mulutnya. Terlebih
lagi dengan potensi yang ada dan menanggalkan kebijakan ekonomi non
neolib, seharusnya Indonesia bisa terbang di 6,5-7%. Setidaknya,
begitulah jualan Jokowi waktu maju di ajang Pilpres 2014.

Sebelumnya, Rizal Ramli berkali-kali memperingatkan ekonomi kita jauh
dari baik-baik saja. Berdasarkan rentetan indikator yang memburuk, dia
menyebut Indonesia tengah mengalami the creeping crisis, krisis yang
merangkak. Seabrek indikator makro dan mikro yang disorongkannya memang
dengan fasih bercerita ekonomi Indonesia terseok-seok, kalau tidak mau
disebut amburadul.

Tutupnya sejumlah gerai penyandang nama besar, adalah bukti melemahnya
kinerja sektor ritel yang diperkirakan masih akan berlanjut. Daya beli
dan consumer goods juga masih akan turun. Pukulan telak dialami sektor
properti, kecuali untuk beberapa segmen.

Indeks Nikkei menyebut sekitar seperempat perusahaan yang melantai di
BEI telah berubah jadi zombie company. Keuntungan yang mereka terima
tidak cukup untuk membayar utang. Perusahaan ini hanya bisa hidup
dengan refinancing terus menerus. Gejala gagal bayar utang alias
default juga melanda sejumlah perusahaan besar.

Seperti tidak cukup, McKinsey & Company menyebut 25% utang valas jangka
panjang swasta kita memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage
ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Artinya, perseroan menggunakan
mayoritas labanya untuk membayar utang. Jelas rawan.

Jadi, Sri, ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Data dan fakta
seperti apalagi yang bisa membuka mata-hatimu?

Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior

 



Kirim email ke