https://news.detik.com/kolom/d-4711587/melawan-upaya-pelemahan-demokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.184463205.2122106084.1568829334-1365016614.1568829334
Rabu 18 September 2019, 16:29 WIB
Mimbar Mahasiswa
Melawan Upaya Pelemahan Demokrasi
Toba Sastrawan Manik - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/tobamanik14>
Toba Sastrawan Manik
<https://connect.detik.com/dashboard/public/tobamanik14>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4711587/melawan-upaya-pelemahan-demokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.184463205.2122106084.1568829334-1365016614.1568829334#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4711587/melawan-upaya-pelemahan-demokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.184463205.2122106084.1568829334-1365016614.1568829334#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4711587/melawan-upaya-pelemahan-demokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.184463205.2122106084.1568829334-1365016614.1568829334#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4711587/melawan-upaya-pelemahan-demokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.184463205.2122106084.1568829334-1365016614.1568829334#>
Melawan Upaya Pelemahan Demokrasi Foto: Deny Prastyo Utomo
*Jakarta* -
Perdebatan yang mengemuka karena amandemen UUD 1945 tentang pengembalian
posisi MPR dan revisi UU KPK secara kilat nan instan oleh DPR
menggambarkan satu garis lurus yang menggambarkan apa sesungguhnya motif
terselubung di balik aksi lembaga legislatif tersebut. Baik amandemen
UUD maupun revisi UU KPK mengarah pada pelemahan demokrasi Indonesia.
Keduanya bisa ditangkap sebagai upaya politisi untuk mengamankan zona
nyaman politik mereka. Dengan mengamandemen UUD khususnya tentang peran,
fungsi, dan kedudukan MPR, jika berhasil maka akan mengembalikan
demokrasi kita kepada sistem tidak langsung. Presiden akan kembali
dipilih MPR yang notabene merupakan representasi parpol sekalipun ada
DPD tergabung di dalamnya. Hal ini akan memberikan zona nyaman kepada
partai-partai besar yang selama ini hanya terbagi dalam dua faksi yang
cukup ketat.
Nostalgia terhadap peran dan fungsi MPR juga bisa dimaknai adanya
kesadaran elite-elite partai politik khususnya partai besar semakin
sulit untuk menanamkan patronnya dan melanjutkan trah pengaruhnya
seiring dengan munculnya elite-elite pilihan publik sendiri. Tampaknya,
partai politik berkaca dari Jokowi yang berhasil memutus kesempatan
elite politik. Indikasi lainnya ialah pemilihan Maruf Amin sebagai wakil
presiden Jokowi oleh banyak kalangan adalah upaya parpol mengamankan
Pemilu 2014. Hal ini mengafirmasikan bahwa parpol tidak sepenuhnya
terbuka dengan orang-orang di luar mereka.
Seiring dengan media sosial yang masif, publik khususnya kalangan
milenial memiliki opininya sendiri. Jika format demokrasi tidak
memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada partai politik, maka partai
akan semakin dinamis dan sulit dikendalikan oleh petinggi partai.
Khususnya saat ini sudah mulai muncul tokoh-tokoh daerah yang mencuri
panggung politik secara nasional. Sekali lagi, hal ini menyulitkan kader
internal untuk berkembang.
Afirmasinya adalah ada upaya untuk mengembalikan demokrasi ke dalam
sistem di mana partai memiliki determinasi yang kuat. Salah satunya cara
adalah mengembalikan MPR di mana selama ini fungsi dan kedudukan tidak
begitu dominan.
Gagal lewat amandemen, salah satu alternatif lainnya adalah melemahkan
KPK. Harus diingat bahwa DPR merupakan lembaga cukup korup selama ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat kompetisi baik secara dana maupun
suara sangat tinggi. Jika KPK masih berdiri dengan kekuasaan dan
kekuatan seperti saat ini maka kenyamanan para politisi akan sangat terusik.
Di tengah kompetisi yang tinggi baik secara internal maupun eksternal
ditambah dengan posisi KPK akan semakin menambah beban para politisi.
Melemahkan KPK setidaknya akan memberi zona nyaman untuk politisi dalam
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan politik. Keleluasaan
politik akan sedikit terbuka lebar.
*Pelemahan Demokrasi
*
Selain kesamaan di atas, penempatan KPK di bawah lembaga eksekutif dalam
revisi UU KPK menimbulkan pertanyaan. Kenapa harus eksekutif? Kebetulan,
hal ini setidaknya senada dengan pendapat Milan W. Svolik (2019) dalam
artikelnya yang berjudul /Polarization vs Democracy/. Menurut Svolik
bahwa kemunduran demokrasi dilakukan oleh petahana-petahana politik.
Tujuannya tentu untuk konservatisme politik atau dengan kata lain zona
nyaman politik.
Kemunduran demokrasi sejak perang dingin terbagi dalam dua bentuk, yakni
yang dilakukan oleh eksekutif dan lewat militer. Hal ini dilakukan oleh
petahana yang mendapat perolehan besar ketika pemilu. Pengambilalihan
oleh eksekutif ini menurut Svolik dilakukan dengan mengendalikan cabang
pemerintahan lain, biasanya legislatif. Keterlibatan yang terakhir ini
biasanya penting dalam melakukan jenis perubahan konstitusional yang
memfasilitasi subversi demokrasi: penghapusan batas masa jabatan,
penaklukan politik peradilan, dan perluasan otoritas eksekutif
(kadang-kadang oleh pergeseran konstitusi dari parlemen menuju sistem
presidensial).
Hal ini membuka paradigma baru bahwa tantangan kita bukan semata pada
korupsi. Lebih dari itu, demokrasi sedang mendapatkan upaya-upaya
pelemahan secara terselubung maupun terang-terangan. Dalam keadaan ini,
dibutuhkan warga negara yang kritis dan membela prinsip-prinsip demokrasi.
Mengembalikan fungsi MPR atau melemahkan KPK adalah upaya yang sangat
mungkin dan berpotensial untuk melemahkan demokrasi. Jika lewat MPR
dengan mengubah format demokrasi menjadi tidak langsung, dengan
melemahkan KPK bisa melemahkan pengawasan dan kontrol terhadap
lembaga-lembaga politik. Penempatan di bawah eksekutif menjadi poin
penting dan tanda tanya tersendiri. Saatnya mengawal demokrasi dan
mengawal pemberantasan korupsi.
*Toba Sastrawan Manik* /mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan PPs UNY/
*(mmu/mmu)
*
**