Pakar sarankan Pasal 217-220 RKUHP dihapus
Sabtu, 21 September 2019 14:15 WIB
Pakar sarankan Pasal 217-220 RKUHP dihapus
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Mensesneg Pratikno (kanan)
menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat
(20/9/2019). Presiden meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda
pengesahan RKUHP dan mengkaji ulang sejumlah 14 pasal dalam RKUHP yang
rencananya akan disahkan pada 24 September 2019. ANTARA FOTO/Puspa
Perwitasari/aa.
Itu dalam rangka merespon aspirasi masyarakat karena pasal-pasal
tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan
bertentangan dengan putusan MK
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Jakarta,
Suparji Ahmad menyarankan agar Pasal 217-220 dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihapuskan, dalam rangka merespon
aspirasi masyarakat.
Pasal 217-220 RKUHP mengatur hukuman terhadap setiap orang yang
menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
"Itu dalam rangka merespon aspirasi masyarakat karena pasal-pasal
tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan
bertentangan dengan putusan MK," kata Suparji dalam diskusi di Jakarta,
Sabtu.
Dia mengatakan banyak pihak menilai pasal penyerangan harkat dan
martabat Presiden/Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi,
memasung kebebasan pers, dan dikhawatirkan mudah mempidanakan orang.
Pasal-pasal itu menurut dia dikhawatirkan mempidanakan orang, padahal
Presiden adalah pejabat publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat
wajar kalau dikritik.
"Itu salah satu nuansa yang muncul dalam berbagai diskusi, apalagi kalau
sekarang ditunda pengesahannya maka pasal-pasal itu dihapuskan saja,"
ujarnya.
Namun, dia menilai sebenarnya pasal 217-220 RKUHP itu tidak akan
mengekang kebebasan pers karena Presiden/Wakil Presiden tidak bisa
semena-mena melaporkan media massa kalau unsur-unsurnya tidak terpenuhi.
Dia mencontohkan kalau pers mengkritik kebijakan, menjelaskan suatu
persoalan maka Presiden/Wapres tidak bisa menilainya sebagai penghinaan
atau penyerangan harkat dan martabat sehingga pers tidak bisa dipidanakan.
"Logikanya sederhana, karena presiden simbol negara sehingga tidak boleh
dihina dan diserang. Menghina tiap orang tidak boleh apalagi
presiden/wapres, sehingga perlu dilindungi," tuturnya.
Dia menilai atas berbagai pertimbangan, pasal-pasal itu diperlukan
asalkan pelaksanannya bisa proporsional dan penanganannya profesional
dan dilakukan berdasarkan delik aduan.
Pasal 217 RKUHP menyebutkan bahwa Setiap Orang yang menyerang diri
Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana
yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan
atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 218 ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan
atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219 menyebutkan Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan,
atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum,
memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau
menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau
Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori IV.
Dan Pasal 220 ayat (1)Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2)
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com