-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1740-praktik-busuk-pilkada


Senin 03 Februari 2020, 05:10 WIB

Praktik Busuk Pilkada

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Praktik Busuk Pilkada

MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group

PILKADA di 270 daerah digelar serentak pada 23 September. Perinciannya, 9 
pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota.

Ada 22 tahapan pilkada. Salah satu tahapan terpenting ialah penetapan calon 
pada 8 Juli. Sesuai dengan ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 
tentang Pilkada, mulai 8 Januari sampai akhir masa jabatan, kepala daerah 
dilarang melakukan mutasi pegawai.

Pelanggaran atas ketentuan itu berakibat pembatalan atau diskualifikasi sebagai 
calon. Bahkan, ada pula ancaman pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda 
paling banyak Rp6 juta berdasarkan Pasal 190.

Tahapan penetapan calon paling ditunggu karena saat itu baru diketahui apakah 
ada calon tunggal pada pilkada kali ini. Meski calon tunggal itu mengingkari 
makna kompetisi pilkada, keberadaannya tetap konstitusional.

Harus tegas dikatakan bahwa calon tunggal sudah menjadi realitas politik di 
Indonesia. Pertama kali muncul calon tunggal ialah di pilkada serentak 
gelombang pertama pada 2015. Ketika itu pemilih diberi opsi setuju atau tidak 
setuju terhadap calon tunggal.

Ada tiga dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada saat itu melawan kotak 
kosong. Tiga daerah dengan calon tunggal pada Pilkada 2015 ialah Kabupaten 
Blitar, Jawa Timur, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Kabupaten Timor 
Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menjadi dasar hukum 
pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua pada 2017. Pemilih diberi dua 
opsi, yaitu foto pasangan calon tunggal dan kolom kosong yang tidak bergambar. 
Pemilih memilih satu dari dua opsi tersebut dengan cara mencoblos.

Apa boleh buat, calon tunggal bertarung dengan kolom kosong agar kedaulatan 
rakyat tetap seolah-olah ada. Rakyat bisa mencoblos kolom kosong sebagai 
pilihan alternatif atas calon tunggal. Di Pilkada 2017, sembilan dari 101 
daerah melawan kolom kosong.

Dalam pilkada serentak gelombang ketiga pada 2018 terdapat 16 pasangan calon 
tunggal melawan kolom kosong. Untuk pertama kali pula, kolom kosong menang pada 
pemilihan Wali Kota Makassar.

Dari data yang dipaparkan di atas terlihat adanya peningkatan jumlah daerah 
yang menyelenggarakan pilkada dengan pasangan calon tunggal, dari angka 3 
(2015), 9 (2017), hingga 16 (2018).

Dengan demikian, Indonesia telah menggelar 28 kali pemilihan calon tunggal 
melawan kolom kosong. Apakah pada Pilkada 2020 jumlah pasangan calon tunggal 
meningkat pula?

Bawaslu telah melakukan studi calon tunggal pada Pilkada 2018 di 16 
kabupaten/kota. Hasil studi itu menarik untuk disimak.

Bawaslu menemukan tindakan borong partai politik umumnya dilakukan calon kepala 
daerah petahana. Menurut studi Bawaslu, kapasitas finansial dan pengaruh 
politik berada di balik borong partai. Relasi kuasa modal dan politik sangat 
erat di sini. Dominasi kuasa membuat seseorang memiliki akses untuk 
mendistribusikan sumber daya anggaran, sedangkan dominasi modal dapat membeli 
perolehan kursi di DPRD.

Temuan Bawaslu itu paralel dengan hasil penelitian LIPI yang dimuat di Jurnal 
Penelitian Politik, Desember 2018. Disebutkan, keberadaan calon tunggal sebagai 
akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik.

Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara 
menjegal saingan lewat borong partai. Adapun partai-partai berkepentingan untuk 
menang dan/atau mendompleng petahana karena memiliki elektabilitas yang tinggi.

Dengan demikian, kolom kosong berpotensi meningkat pada Pilkada 2020 karena 
berkorelasi dengan peluang petahana maju lagi. Dari 270 daerah yang 
melaksanakan pilkada, potensi calon petahana ada di 230 daerah.

Borong partai ialah praktik busuk pilkada. Disebut busuk karena mencegah orang 
berkualitas maju di pilkada. Pada saat bersamaan, pemborong partai itu 
memperlihatkan kualitas dirinya yang amat rendah sehingga takut berkompetisi.

Dalam kaitan itulah, Bawaslu perlu buka mata lebar-lebar memelototi praktik 
mahar. Masih ingat keluhan La Nyala Mattalitti yang dimintai dana puluhan 
miliar atau Dedi Mulyadi yang mengaku dimintai mahar Rp10 miliar? Komisi 
Pemberantasan Korupsi perlu turun tangan memberantas praktik mahar tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 



 

Kirim email ke