Refleksi:  Indonesia dikeluarkan dari daftar negara-negara berkembang, bukan 
berarti bahwa Indonesia telah menjadi Negara maju. Begini menurut pengamatan 
saya.

 

Sampai sekarang ini saya masih belum yakin bahwa strategi industrialisasi rezim 
neoliberal Jokowi, yang didasarkan atas pengembangan jenis-jenis investasi dan 
infrastruktur yang padat teknologi, yang tentu saja padat modal asing dan utang 
luar negeri, dapat membawa Indonesia ke arah perkembangan ekonomi adil dan 
makmur untuk seluruh rakyat Indonesia. Juga sampai sekarang ini, saya belum 
yakin bahwa akkumulasi human capital (SDM) yang bermutu, yang mendasari 
strategi industrialisasi dapat meluas secara effektif, sehingga dapat 
menimbulkan spil-overs dalam ekonomi. 

Pesimisme ini didasarkan atas kenyataan bahwa hingga kini bangsa Indonesia 
masih belum mampu untuk melakukan reformasi social yang fundamental atau 
mendasar, yang merupahan prasyarat mutlak bagi emansipasi sosial yang massif. 
Padahal kita semua tahu bahwa unit-unit ekonimi di Indonesia dikuasai oleh 
kelompok oligarki ekonomi yang melakukan kegiatan-kegiatan pencarian dan 
penumpukan rente ekonomi, yang intensitas cengkramannya cukup tinggi dalam 
realitas  sosial kita, jadi  bisa diprcaya  bahwa mereka tidak dapat dirangsang 
untuk melakukan human capital yang bermutu. Ini tidak dapat dirangsang oleh 
karena  keberhasilan unit-unit ekonomi yang dikuasai oleh kelompok oligarki 
ekonomi ini, hampir seluruhnya ditentukan oleh pemanfaatan sociaty unproducive 
human capital dengan bayaran murah, yang di ditetapkan sebagai padadigma upah 
minimum. 

Paradigma upah minimun ini akan mudah dilakukan, karena adanya dukungan kuat 
dari penguasa negara yaitu rezim Jokowi dan jajarannya, termasuk badan 
legislatif, eksekutif dan judikatis, yang semuanya sudah dipersiapkan untuk 
memanjakan investor asing melalui Undang-Undang Omnibus Law; yang berpotensi 
untuk menekan upah buruh, dan merusak  jaringan sosial di kota-kota industri, 
itu adalah merupakan awal untuk mempersiapkan pembangunan pabrik-pabrik bagi 
investor asing dengan cara menyita lahan-lahan tanah pertanian rakyat, semuanya 
itu sudah dirangkai dalam satu untaian hukum yang terkkit dalam UU Omnibus Law. 
Jadi menurut pengamatan saya, Indonesia yang Merdeka, sekarang ini dapat 
dikatakan merupakan replika dari Indonesia yang terjajah pada zaman 
kolonialisme Belanda,hanya saja pemjajahnya lain, yaitu negara-negara kapitalis 
neoliberal. Artinya Indonnesia sekarang ini telah menjadi negara jajahan model 
baru.

Jika bangsa Indonesia benar-benar ingin mau mejadi Negara maju, syaratnya 
adalah bangsa Indonesia harus berani melakukan Reformasi social yang 
fundamental atau mendasar. Sejarah dunia telah menubjukkan kepada kita, bahwa 
tidak ada Negara maju yang sekarang ada, mulai dari Amerika Utara, Eropa Barat 
dan Timur jauh yang berhasil meraih posisinya sebagai negara maju seperti 
sekarang ini, tanpa memulai  proses perombakan tatanan social-ekonomi di dalam 
negeri. Adapun tatanan sosial-ekonomi yang haarus diprombak adalah struktur 
sosial yang pincang yang merefleksikan dirinya dalam dialektik hubungan ekonomi 
yang eksploitatif, yang menghasilkan apa yang disebut ``rente ekonimi`` 
ditangan sekelomok anggota oligarki ekonomi.

 

Menurut pengamatan saya  bahwa suatu strategi industrialisasi yang 
dipropagandakan oleh rezim neoliberal Jokowi, yang didasarkan atas pengembangan 
jenis-jenis investasi dan infrastruktur yang padat teknologi, yang tentu saja 
padat modal asing dan utang luar negeri, sama sekali tidak akan dapat membawa 
Indonesia ke arah perkembangan ekonomi adil dan makmur untuk seluruh rakyat 
Indonesia,sehingga Indonesia menjadi Negra maju.

 

Roeslan.

 

 

 

Von: nasional-l...@yahoogroups.com [mailto:nasional-l...@yahoogroups.com] 
Gesendet: Dienstag, 25. Februar 2020 13:29
An: undisclosed-recipients:
Betreff: [nasional-list] IndonesiaDidapuk Jadi Negara Maju, Pengusaha: Kita Sih 
Bangga, tetapi...

 

  

 

https://money.kompas.com/read/2020/02/25/123200726/indonesia-didapuk-jadi-negara-maju-pengusaha--kita-sih-bangga-tetapi-?page=all#page2
 

 

Indonesia Didapuk Jadi Negara Maju, Pengusaha: Kita Sih Bangga, tetapi... 

Kompas.com - 25/02/2020, 12:32 WIB BAGIKAN: Komentar (2) 

Lihat Foto Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang 
Hubungan Internasional, Shinta Kamdani (KOMPAS.com/ Ambaranie Nadia) Penulis 
Rully R. Ramli | Editor Erlangga Djumena 

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri ( Kadin) 
Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menilai status Indonesia 
yang bukan lagi negara berkembang belum sejalan dengan kondisi nyata 
perekonomian nasional. 

Meski Amerika Serikat (AS) lewat Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of 
the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO) 
mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara berkembang, namun menurut dia, 
pemerintah masih perlu melakukan banyak pembenahan. 

"Kita sih bangga ya (Indonesia berstatus negara maju), bangga aja. Tapi kita 
mesti lihat riilnya apa kita benar naik kelas? Saya rasa kita masih banyak PR 
ya, kita jangan lihat statusnya tapi masih banyak substansi yang harus 
dikerjakan," tutur dia di Jakarta, Senin (24/2/2020). 

 

Baca juga: RI Dikeluarkan dari Daftar Negara Berkembang, Ini Kata Sri Mulyani 
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disebut sebagai salah satu kebijakan yang 
perlu dikebut penyelesaiannya agar Indonesia benar-benar bisa dikategorikan 
sebagai negara maju. 

"Kami mendukung supaya ini bisa membantu dari segi kepentingan, kebutuhan, 
bagaimana Indonesia saat ini over regulated. Kita perlu dengan 
perbaikan-perbaikan ini," ujarnya. 

Walaupun tidak lagi dikategorikan sebagai negara berkembang, Shinta menambah, 
Indonesia masih berpotensi mendapatkan fasilitas Generalized System of 
Preferences (GSP) dari AS. 

Baca juga: Kemendag Klaim Perubahan Status RI Menjadi Negara Maju Tak Pengaruhi 
GSP

Kebijakan USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang disebut 
hanya berlaku untuk status di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).  "Untuk naik 
kelas tidak ada pengaruh ke GSP. Itu tidak pengaruh menurut Amerika," kata dia. 
Shinta menyebutkan, saat ini pihaknya tengah menunggu keputusan keberlanjutan 
fasilitas GSP melalui hasil review eligibility. 

"Jadi kita masih menunggu hasil keputusan AS, tapi tidak ada pengaruh ke naik 
kelasnya itu. Ini supaya clear," ucap dia. 

Baca juga: RI Dicoret dari Negara Berkembang, Ini Permintaan Pemerintah ke AS 

 

Baca berikutnya Sri Mulyani: Beberapa Kantor Kemenkeu…

Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Erlangga Djumena 



Kirim email ke