-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1940-keadilan-masih-separuh-jalan Keadilan masih Separuh Jalan Penulis: Media Indonesia Pada: Kamis 27 Februari 2020, 05:05 WIB Editorial MI MAHKAMAH Agung ialah benteng terakhir para pencari keadilan. Sudah sepantasnya bekerja dengan kecakapan dan kredibilitas para hakim. Derasnya arus perkara yang masuk ke MA telah mampu diimbangi dengan kinerja yang mumpuni. Peradilan yang cepat dan sederhana telah mampu diwujudkan. Tunggakan perkara dapat ditekan, dari 2.357 kasus pada 2016 menjadi hanya tinggal 217 kasus pada 2019. Jumlah perkara yang ditangani MA pada 2019 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. MA berhasil memutus 20.058 perkara dari keseluruhan jumlah beban sebanyak 20.275 perkara. Dengan demikian, rasio produktivitas memutus perkara MA pada 2019 mencapai 98,93%. Itu sebuah lompatan besar bagi lembaga yudikatif. Lambannya proses penanganan dan masifnya tumpukan perkara selama ini kerap menjadi celah bagi para mafia peradilan untuk memanipulasi keadilan. Apresiasi pun meluncur dari Presiden Joko Widodo. Reformasi sistem peradilan di MA telah berjalan. Penerapan sistem kamar telah mempercepat proses penyelesaian perkara di MA serta ada pengaturan jangka waktu penanganan di bawah tiga bulan. Namun, nyatanya, dalam hal mutu putusan, prestasi MA tidak sementereng dalam penyelesaian perkara. Idealnya, kinerja penyelesaian yang bagus harus sejalan dengan bagusnya mutu putusan itu. Sesungguhnya dalam mutu putusan itulah terdapat keadilan dan kebenaran. Mutu putusan MA itu masih kerap dianggap melenceng dari rasa keadilan. Misalkan, putusan bebas terhadap terdakwa kasua BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung pada 2019. MA juga melepaskan tuntutan kepada mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederick ST Siahaan dalam perkara yang diduga merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Belum lagi pemangkasan putusan terhadap 12 terpidana korupsi pada tahun lalu. Setidaknya 7 terpidana telah diganjar vonis ringan pada tingkat PK dan 5 terdakwa divonis lebih rendah pada tingkat kasasi. Dengan melihat kenyataan itu, tentu publik akan rindu dengan sosok Artidjo Alkostar, momok para terpidana korupsi. Ketukan palu sidang di tangan Artidjo membuat koruptor bertekuk lutut. Hampir seluruh narapidana korupsi yang mengajukan kasasi dan PK malah dilipatgandakan hukumannya. Daftarnya panjang, dari Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Suryadharma Ali, Akil Mochtar, Luthfi Hasan Ishaaq, hingga OC Kaligis. Sosok seperti Artidjo mestinya menjadi patokan bagi para 'wakil Tuhan' yang berlevel agung di MA. Mempraktikkan penegakan hukum yang tegas dan berintegritas. Tidak ada tebang pilih, hukum yang tajam ke segala penjuru. Untuk itulah, wajar kiranya jika publik menilai reformasi peradilan masih belum tuntas, bahkan masih separuh jalan. Kinerja positif dalam kuantitas mestinya juga diikuti dengan pembenahan kualitas putusannya. Mahkamah Agung masih punya pekerjaan rumah untuk mewujudkan putusan hukum yang menjerakan bagi para pelaku kejahatan, utamanya korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Pemangkasan hukuman koruptor yang masih terjadi jelas bukanlah wujud baik sebuah kualitas putusan.