-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1762-mundurlah-sebelum-dimundurkan


Kamis 27 Februari 2020, 05:10 WIB

Mundurlah sebelum Dimundurkan

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Mundurlah sebelum Dimundurkan

MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group

PEJABAT publik ialah setiap orang yang dipilih atau diangkat atau mendapat 
tugas memangku dan menjalankan fungsi kenegaraan dan pemerintahan. Tidaklah 
mudah menjadi pejabat publik karena tutur katanya menyedot sorotan masyarakat.

Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menjadi pejabat publik, misalnya 
menjadi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Salah satu syarat 
ialah berwibawa, jujur, adil, dan memiliki integritas dan kepribadian yang 
tidak tercela. Tidak kalah pentingnya ialah sehat jiwa dan raga.

Salah satu tolok ukur jiwa yang sehat ialah lisan pejabat terukur, tidak 
mengeluarkan pernyataan yang melawan akal sehat sekalipun pernyataan tersebut 
dicabut kembali.

Pembentukan KPAI berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Pasal 74 
menyebutkan, dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan 
anak, dengan undang-undang itu dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang 
bersifat independen.

Komisioner KPAI diangkat Presiden setelah terlebih dulu mendengarkan 
pertimbangan DPR. Dengan demikian, anggota KPAI merupakan orang pilihan yang 
satu kata dengan perbuatan.

Sebagai orang pilihan, anggota KPAI mestinya tidak termasuk dalam enam ciri 
manusia Indonesia yang disebut Mochtar Lubis. Enam ciri itu ialah hipokrit 
alias munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, 
berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah.

Agar anggota KPAI, juga pejabat publik lainnya, bertanggung jawab atas 
perbuatan dan keputusannya, baik kiranya ia membaca dengan cermat Ketetapan MPR 
Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan itu belum 
dicabut, masih berlaku.

Terkait dengan etika sosial dan budaya, Tap MPR menegaskan perlunya 
menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua 
yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk 
itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus 
diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap 
lapisan masyarakat.

Malu berbuat salah termasuk di dalamnya malu asbun, asal bunyi, asal bicara 
tanpa didukung kebenaran ilmiah. Contoh aktual asbun ialah pernyataan seorang 
pejabat yang menyebutkan kehamilan bisa terjadi pada perempuan yang sedang 
berenang bersama laki-laki.

Pernyataan soal kehamilan karena berenang itu sudah dicabut. Akan tetapi, harus 
tegas dikatakan bahwa mencabut pernyataan salah tidaklah cukup. Ada etika 
pemerintahan yang dicantumkan dalam Tap MPR VI/2001.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila 
merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak 
mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Persoalannya kini, tidak ada pejabat publik yang mundur karena malu atas 
ucapannya. Karena itu, penting dibuatkan undang-undang etika penyelenggara 
negara. Dewan Perwakilan Daerah pada 2017 sudah berinisiatif menyusun RUU Etika 
Penyelenggara Negara. Usul itu sempat masuk Prolegnas 2019, tapi kini hilang 
tak berjejak.

Moralitas bangsa harus dibangun melalui keteladanan para pejabat publik. Terus 
terang, negara ini miskin keteladanan. Nama besar para pahlawan hanya dijadikan 
nama jalan, tanpa ada upaya untuk merawat nilai-nilai keteladanan mereka.

Adalah benar bahwa hampir seluruh lembaga dan profesi telah memiliki kode etik. 
Hanya saja miskin dalam tingkatan implementasinya. Satu-satunya cara ialah ada 
pemaksaan melalui undang-undang agar penyelenggara negara tunduk pada etik.

Kajian Eka Martiana Wulansari menarik untuk disimak. Krisis kepercayaan 
masyarakat terhadap penyelenggara negara harus dijawab dan diantisipasi dengan 
membuat perencanaan politik hukum negara dalam bentuk undang-undang yang 
responsif terhadap krisis kepercayaan masyarakat. Apabila krisis kepercayaan 
masyarakat tidak ditanggapi dengan baik, dapat menimbulkan delegitimasi 
terhadap penyelenggaraan negara walaupun prosesnya diklaim telah dilakukan 
secara demokratis.

Jika undang-undang terkait etik sudah ada, tidak perlu lagi kelompok masyarakat 
membuat petisi daring hanya untuk meminta Presiden memecat anggota KPAI terkait 
dengan heboh hamil di kolam renang.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61/2016 tentang KPAI, anggota KPAI bisa 
diberhentikan dengan tidak hormat karena melanggar kode etik. Diberhentikan 
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri di hadapan Dewan Etik 
KPAI, yang dibentuk KPAI.

Elok nian bila para pejabat publik dalam berbahasa, tidak hanya mengutamakan 
keindahan susunan kata, jauh lebih penting lagi ialah kesantunan isinya. Bila 
lisan jauh dari keindahan dan tak ada kesantunan isinya, mundurlah sebelum 
dimundurkan dengan tidak hormat.
 






Kirim email ke