https://www.alinea.id/kolom/logika-politik-55-45-b1Xj59lT8


*Logika politik 55:45*

*Dedi Kurnia Syah P* <https://www.alinea.id/me/dedi-kurnia-syah-p>Jumat, 26
Jul 2019 15:36 WIB



Setelah panggung sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah
Konstitusi (MK) usai, kini keriuhan komunikasi politik bergeser ke arena
baru, panggung rekonsiliasi. Di mana mengemuka tawaran politis kubu Prabowo
Subianto, melalui Amien Rais terkait pembagian kekuasaan sebesar 45 persen
untuk kubu Prabowo, dan 55 persen milik pemenang Pemilu.

Logika semacam ini, dekat dengan adaptasi pemikiran John Locke (1632)
tentang *distribution of power*, di mana pemerintahan eksekutif dan
legislatif, dikuasai oleh kelompok yang sama, elite politik. Tentu, jika
tawaran itu terjadi maka kita akan menemui kader Parpol di Senayan, lalu
menemui mereka kembali di kementerian-kementerian.

Kondisi demikian, membuat Parpol menguasai dua lembaga yang seharusnya
terpisah, pemerintah menjalankan pemerintahan sekaligus negara. Sementara
parlemen melakukan fungsi pengawasan, penentuan anggaran, dan
perundang-undangan. Menjadi bias ketika pengawas dan yang di awasi,
merupakan kelompok yang sama. Memang, secara politis cukup rasional jika
Amien Rais hidup di era John Locke, bukan hari ini.

Sementara saat ini, dengan kondisi Indonesia yang penuh liku dan dinamika,
seharusnya konsisten dengan mengadaptasi pemikiran Montesquieu (1748),
tentang pemerintahan terpisah atau *separation of power*. Di mana
pemerintahan harus dipisahkan dengan legislatif, tentu pemisahan ini
berikut orang-orang yang menduduki jabatan tersebut.

*Tawaran Sulit*

Bagi Presiden, sulit memenuhi permintaan Amien Rais, mengingat kekuatan
oposisi di parlemen tidak dominan. Meskipun, presiden terpilih memerlukan
dukungan oposisi untuk menguatkan legitimasi kemenangannya secara sosial,
dan itu sudah di dapat sejak pertemuannya dengan Prabowo di Moda Raya
Terpadu (MRT), Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019).

Jika kemudian permintaan transaksional ini dipenuhi oleh Jokowi, kegaduhan
merebak di koalisi pemenang. Jokowi dihadapkan pada kenyataan koalisinya
tidak cukup kuat jika harus ada kegaduhan. Kondisi ini memunculkan
kebimbangan Jokowi, antara melunakkan oposisi sebelum pemerintahan
terbentuk, atau konsisten menempatkan mereka tetap oposisi.

Jalan terakhir, jika harus ada rekonsiliasi politik, besar kemungkinan
Jokowi akan menempatkan Gerindra berada di luar arena pemerintahan. Hal ini
lebih mungkin mengingat koalisi petahana tidak akan mudah berbagi porsi
kekuasaan dengan oposisi di kabinet.

Artinya, mimpi Amien Rais dengan rumusan 55:45 tidak akan mendapat dukungan
mitra koalisi pemenang.

Lalu, luar arena itu di mana? Ia bisa saja mengulang sejarah pemerintahan
lima tahun lalu, di mana kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak digenggam oleh pemenang, melainkan dipimpin oleh Partai Amanat
Nasional (PAN). Pilihan ini pun membawa resiko yang tidak kecil, karena
mitra koalisi pemerintah pun mengincar posisi yang sama, paling tidak akan
berhadapan dengan PDIP, Golkar atau PKB.

Mengutip Susan Dwyer dalam Jurnalnya yang berjudul Reconsiliation for
Realist (2006), mengemukakan bahwa rekonsiliasi politik diperlukan jika ada
dampak terhambatnya pembangunan negara dari aktifitas politik, ia
mencontohkan terjadinya kudeta, maka untuk meredam langkah kehancuran,
rekonsiliasi harus mengemuka. Dan rekonsiliasi harus memenuhi unsur *win-win
solution*.

Sementara membaca kondisi yang sekarang ramai dibincang, kondisi itu tidak
terjadi. Dengan demikian, rekonsiliasi politik seharusnya tidak diperlukan,
dan apa yang disebut Amien Rais dengan rekonsiliasi sebenarnya hanyalah
transaksi kekuasaan. Jika itu yang ia maksud, maka secara tidak langsung
Amien Rais menghianati dirinya sendiri, di mana selama ini konsisten dengan
keyakinan sebagai oposisi pemerintah.

Paling tidak, memahami kondisi saat ini, ada dua hal yang harus
dipertimbangkan jika ingin rekonsiliasi politik itu tercapai dengan
khidmat. *Pertama*, penguatan moral politik. Hal ini dimaksudkan kedua
pihak harus tunduk pada moral politik yang menjadi tujuan rekonsiliasi.
Moral politik ini tujuannya karena untuk kepentingan bangsa yang lebih
besar.

Dan kesadaran moral politik ini, mengemuka jika memang terjadi perpecahan
luar biasa di publik. Sementara saat ini, rasanya juga tidak ada perpecahan
itu. Kecuali hanya iklim wacana yang menguat, sementara praktik dalam
kehidupan sehari-hari, warga negara Indonesia masih dalam batas-batas yang
normal. Tidak ada konflik yang memerlukan tindakan rekonsiliatif.

*Kedua*, hadirnya kesetaraan, kepentingan kedua kubu harus sama-sama
menemui titik kesepakatan.

Ketika pembagian kekuasaan itu dilakukan, tidak ada kelompok yang merasa
terganggu, keduanya harus mencapai titik temu *win-win solution*. Hal ini
sulit tercapai, mengingat dalam politik kita hingga hari ini, *the winner
takes all*.

Dari asumsi di atas, dapat dipahami jika Amien Rais tidak sedang berupaya
membangun rekonsiliasi, tetapi berupaya memanipulasi transaksi kekuasaan
dengan mengatasnamakan rekonsiliasi.

Penting bagi presiden terpilih untuk tidak mengindahkan permintaan ini,
demikian halnya bagi Prabowo. Karena pembagian kekuasaan dengan menihilkan
oposisi, memiliki resiko bagi keduanya.

Bagi Prabowo, berpotensi kehilangan kepercayaan publik jika ikut serta
dalam struktur pemerintah, terlebih sejauh ini dukungan publik jauh lebih
besar agar Prabowo konsisten sebagai oposisi.

Dengan pertimbangan waktu mendatang, di mana Gerindra akan menghadapi
banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada), loyalitas publik menjadi hal
penting untuk dijaga.

Sementara bagi Jokowi, merestui permintaan Amien Rais sama saja membuka
celah untuk kegaduhan di mitra koalisinya, dan hal paling tidak diinginkan
jika kemudian terjadi perpecahan. Meskipun, selama ini Jokowi dianggap
selalu berhasil meyakinkan mitra maupun lawan. Tetapi politik,
keberuntungan tidak selalu data.

Kirim email ke