-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1774-daun-dolar-kratom


Kamis 12 Maret 2020, 05:10 WIB

Daun Dolar Kratom

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Daun Dolar Kratom

MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group

DESKRIPSI produk herbal bubuk daun kratom yang dijual secara online menyedot 
perhatian. Pada baris ke-6 dituliskan 'Jika ada yg bilang (kratom) membuat 
kecanduan atau sak*aw, itu bohong besar!!!'.

Bohong besar? Rilis akhir tahun pada 20 Desember 2019, Kepala Badan Narkotika 
Nasional (BNN) Heru Winarko menyebut dampak negatif yang ditimbulkan dari 
kratom ini ialah efeknya 13 kali lebih kuat daripada morfin yang bisa 
menimbulkan kecanduan/adiksi, depresi pernapasan, hingga mengakibatkan kematian.

Efek kratom 13 kali lipat daripada morfin tentu bukanlah omong kosong. Itu 
hasil penelitian ilmiah. Karena itulah BNN, menurut Heru, sejak Desember 2017 
telah merekomendasikan kratom masuk ke narkotika golongan satu.

Narkotika golongan satu adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk 
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta 
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Rekomendasi BNN itu belum diakomodasi Kemenkes selaku pemegang otoritas 
golongan narkotika. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2019 tentang 
Perubahan Golongan Narkotika tidak memasukkan kratom ke daftar narkotika 
golongan satu. Padahal Badan POM telah melarang kratom sebagai obat tradisional 
dan suplemen makanan sejak 2004.

Kratom, menurut menlhk.go.id, merupakan tanaman tropis dari famili Rubiaceae 
yang berasal dari Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan 
Filipina) dan Papua Nugini. Di Indonesia, tanaman ini banyak tumbuh di 
Kalimantan, Sumatra, sampai ke Sulawesi dan Papua di wilayah tertentu.

Daun kratom dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai obat tradisional untuk 
mengatasi diare, lelah, nyeri otot, batuk, meningkatkan daya tahan tubuh, 
menurunkan tekanan darah tinggi, menambah energi, mengatasi depresi, 
antidiabetes dan antimalaria, serta stimulan seksual.

Artikel yang dimuat di laman Kementerian LHK itu berjudul 'Mengenal Kratom, 
Hasil Hutan Bukan Kayu Potensial yang Terancam Dimusnahkan'. Disebutkan, di 
beberapa desa di Barito, sebagian besar ekonomi masyarakatnya bergantung pada 
pengusahaan daun tanaman kratom. Harga jual kratom per kilogram, untuk daun 
basah berkisar Rp1.500 sampai Rp3.500, sedangkan untuk daun kering berkisar 
Rp17.000 sampai Rp27.000.

Komoditas daun kering yang berupa remahan dikumpulkan dan dikirim ke Kalimantan 
Barat untuk kemudian diolah menjadi tepung kratom. Tepung kratom ini 
selanjutnya akan diekspor ke AS, Kanada, Arab Saudi, India, dan Eropa.

Menurut data Pekrindo (Pengusaha Kratom Indonesia), dalam kurun waktu 2015-2018 
jumlah total ekspor kratom dari Kalimantan Barat mencapai 4.800 ton melalui 
para eksportir yang berjumlah sekitar 90 orang. Berdasarkan hasil perhitungan 
ekonomi, penghasilan masyarakat petani terkait dengan pengusahaan kratom 
mencapai Rp49,2 miliar dalam kurun waktu 4 tahun.

Godaan dolar kratom jangan sampai membuat terlena sehingga lupa memasukkannya 
ke narkotika golongan satu seperti halnya ganja. Penelitian Mariana Raini 
berjudul Kratom (Mitragyna speciosa Korth): Manfaat, Efek Samping, dan 
Legalitas, patut dijadikan pertimbangan.

Penelitian yang dimuat di ejournal.litbang.depkes.go.id itu menyimpulkan kratom 
merupakan salah satu tanaman asli Indonesia dengan kandungan 
7-hidroksimitraginin yang mempunyai efek jauh lebih kuat daripada morfin. Efek 
kratom pada manusia dengan dosis rendah merupakan stimulan dan dengan dosis 
tinggi memberi efek narkotika menyerupai morfin.

Mariana Raini menyarankan agar kraton masuk golongan zat psikoaktif baru atau 
new psychoactive substances (NPS). Sudah selayaknya Indonesia melarang 
penggunaan, peredaran, termasuk penanaman kratom sebagaimana pelarangan ganja.

Terus terang, Indonesia terlambat, sangat terlambat, memasukan kratom sebagai 
barang laknat. Pemerintah Thailand melarang penggunaan kratom dan 
menggolongkannya pada kelompok yang sama dengan kokain atau heroin. Malaysia 
juga melarang kratom sejak 2004 karena dianggap sama dengan ganja dan heroin.

BNN yang dibentuk berdasarkan UU 35/2009 tentang Narkotika sejak dua tahun lalu 
sudah merekomendasikan kratom masuk narkotika golongan satu. Rekomendasi itu 
ternyata diabaikan.

Jangan lupa, berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU Narkotika, BNN merupakan lembaga 
pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung 
jawab kepada presiden. Mengabaikan rekomendasi BNN sama saja dengan mengabaikan 
presiden yang menjadi atasan mereka.







Kirim email ke