-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4941387/wabah-corona-moral-panic-dan-masyarakat-risiko?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Wabah Corona, "Moral Panic", dan Masyarakat Risiko

Abdul Rahim - detikNews
Senin, 16 Mar 2020 17:39 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Moral panic dalam Masyarakat Resiko
Ilustrasi: IG @jokowi
Jakarta -

Apa yang menjadi ketakutan di masyarakat atas penyebaran suatu wabah tidak 
terlepas dari peran media yang menyajikan framing atas itu sebagai momok. Hal 
ini menunjukkan nalar kritis audiens atas sajian itu pun seolah bungkam dan 
menerima itu apa adanya atas realitas yang dinarasikan sedemikian rupa melalui 
sudut framing tersebut. Hal ini sebenarnya tidak membantu apa-apa atas 
penanganan wabah, justru semakin memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran berlebih 
dari realitas semu yang di-framing tersebut.

Pentingnya edukasi dari media atas pemberitaan penyebaran suatu penyakit 
merupakan hal yang sangat vital untuk digalakkan saat ini. Pasalnya saat ini, 
alih-alih sebagai corong untuk itu, media semakin menonjolkan sisi eksploitatif 
dalam bentuk komodifikasi atas sajian-sajian mereka tentang penyakit tersebut. 
Apa yang Stanley Cohen sebut sebagai moral panic di bukunya Folk Devils and 
Moral panic (2002), dalam pemberitaan itulah yang terjadi saat ini.

Moral panic merupakan efek dari pemberitaan yang dijejalkan secara masif atas 
hal-hal yang mengkhawatirkan dari suatu kejadian sehingga memunculkan kepanikan 
juga bagi siapa yang mengkonsumsi pemberitaan tersebut. Begitu juga dengan efek 
dari pemberitaan virus corona hari-hari ini.

Moral panic yang muncul kaitannya dengan kekhawatiran berlebih akan dampak yang 
ditimbulkan oleh penyebaran virus tersebut, lalu masyarakat merespons itu 
dengan kepanikan yang menyebabkan mereka seolah merasa perlu mengambil tindakan 
cepat untuk mengatasi itu, salah satunya dengan menyiapkan masker ataupun stok 
makanan yang mereka perkirakan akan mengalami kelangkaan.

Moral panic yang muncul dari efek pemberitaan menjadikan masyarakat kita 
semakin khawatir akan dampak yang akan terjadi alih-alih untuk semakin waspada. 
Hal ini menjadi pemicu atas ketidaksadaran masyarakat sehingga berupaya 
mempersiapkan apa-apa yang menurut mereka perlu sebelum terjadinya kemungkinan 
terburuk. Tetapi bukannya bersikap wajar, malah masyarakat kita semakin 
terprovokasi untuk menimbun kebutuhan-kebutuhan pokok tanpa berpikir akan 
dampak ketika semua melakukan hal tersebut, terutama kenaikan harga.

Masyarakat Risiko

Apapun yang muncul dari risiko yang diakibatkan oleh produk modernitas, sistem 
kapitalisme hadir melihat itu sebagai akumulasi untuk profit yang bisa diraih 
di balik risiko-risiko tersebut. Ulrich Beck (1992) dalam bukunya Risk Society: 
Towards a New Modernity menyebutkan bahwa masyarakat risiko yang muncul sebagai 
akibat dari kemajuan teknologi menjadikan kita seolah tunduk akan kultur risiko 
yang bisa diprediksi kemunculannya di masa yang akan datang.

Maka, risiko-risiko yang seolah bisa diprediksi tersebut menjadi bagian dari 
akumulasi kapital bernilai profit yang ditawarkan kepada masyarakat yang lekat 
dengan kultur risiko. Risk society yang dikonsepkan Beck merupakan upaya 
memanajemen risiko dengan menghadirkan tawaran-tawaran bernilai ekonomis untuk 
menghadapi kemungkinan-kemungkinan risiko yang akan muncul.

Sistem asuransi kesehatan, kecelakaan kerja, ataupun asuransi-asuransi lainnya 
bekerja dengan mekanisme risk society yang menyasar terutama masyarakat kelas 
menengah dengan dalih untuk menangkal risiko ke depannya. Tetapi risiko-risiko 
yang masih abstrak tersebut dicoba jadikan sebagai bagian dari penciptaan 
ketundukan masyarakat untuk mengikuti alur berpikir kapitalisme dengan 
akumulasi profit yang menjadi tujuan.

Modernitas yang menciptakan masyarakat risiko menjadikan nalar kritis 
masyarakat justru terbelenggu mengikuti apa yang disajikan kapitalisme untuk 
menangkal risiko-resiko yang dikhawatirkan. Dikontekstualisasikan dengan 
fenomena wabah corona saat ini, risk society bisa menjadikan masyarakat kita 
terselubung dalam moral panic atas penjejajalan media terkait penyebaran virus 
tersebut.

Alhasil, kepanikan itu pun semakin mengukuhkan kultur risiko dalam masyarakat 
yang di baliknya termasuk modernitas teknis yang menyelubungi kesadaran kita 
yang hanya menerima apa adanya atas sajian media. Alih-alih menyajikan hal-hal 
edukatif ataupun merahasiakan identitas korban, media justru menjadi detektif 
yang menyelidiki keberadaan korban bahkan diumbar secara detail identitasnya.

Kepanikan pun semakin menjadi di lingkungan masyarakat sekitar korban, yang 
akhirnya pun memunculkan tekanan yang berat bagi mereka dengan stigma pengidap 
penyakit. Padahal ketika semuanya dirahasiakan secara baik dan ditangani secara 
cepat pastinya tidak akan terjadi kepanikan. Kepanikan dari tetangga dengan 
stigma itu pun tidak membantu apa-apa untuk kesembuhan si korban.

Komodifikasi Risiko

Kultur masyarakat risiko yang menyelimuti kita dengan modernitas tahap lanjut, 
dalam tesisnya Beck, bahwa semua bentuk modernitas mempunyai risiko yang 
menjadi bayang-bayang atas ketundukan kita untuk mengikuti logika kapitalisme. 
Salah satunya dengan menyajikan janji untuk menangkal risiko-risiko abstrak 
yang kemungkinan bisa muncul, bisa juga tidak.

Tawaran-tawaran untuk penangkal risiko itu pun bagian dari bentuk komodifikasi 
yang bisa saja kita terima sebagai produk modernitas. Tetapi siapa yang paling 
diuntungkan atas risiko-risiko tersebut itulah yang dilihat Beck ketika 
mengkonseptualisasikan masyarakat risiko dalam tesisnya. Kultur risiko dalam 
tawaran kredit liang lahat pemakaman, asuransi kesehatan, asuransi properti dan 
lainnya merupakan bagian dari komodifikasi atas risiko-risiko yang kemungkinan 
besar pun bisa tidak terjadi.

Namun, dalam konteks masyarakat risiko yang diselimuti virus corona saat ini, 
kekhawatiran atas risiko itulah yang menjadi celah untuk munculnya 
produk-produk modernitas lainnya terutama yang berkaitan dengan hal medis. 
Tentu saja ketika medis sebagai produk modernitas lebih bernilai eksploitatif 
lagi ketika hanya boleh didefinisikan secara sistematis melalui legitimasi 
medis modern dengan klaim sebagai pemilik pengetahuan.

Pun dalam proses identifikasi, pengobatan, dan hal lainnya, medis modern seolah 
hanya satu-satunya yang dijadikan rujukan untuk penanganannya, dengan 
mengabaikan model-model pengobatan alternatif lainnya yang bisa diupayakan.

Penyakit sebagai bagian dari risiko pun merupakan sasaran untuk akumulasi 
profit dari kapitalisme dalam bentuk penyediaan medis modern ataupun 
upaya-upaya penyembuhan, juga antisipasi atas munculnya penyakit yang diklaim 
sebagai satu-satunya pilihan. Hal ini terjadi karena masyarakat kita pun sudah 
terkungkung dengan logika medis modern sebagai satu-satunya klaim kebenaran 
untuk penanganan penyakit, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan motif ekonomi 
yang dikejar melalui kultur risiko tersebut diterima secara taken for granted 
oleh masyarakat.

Nalar Kritis

Nalar kritis untuk melihat kultur risiko itu pun tidak terbentuk secara mapan 
ketika kita sudah didikte oleh sistem kapitalisme di balik itu. Kita terkadang 
menerima apa adanya dari apa yang didefinisikan medis modern, sementara siapa 
yang mencoba mengakumulasi profit di balik risiko tersebut bukan menjadi hal 
penting yang kita kritisi.

Begitu juga dengan kepanikan yang muncul dari kultur masyarakat risiko ini, 
semua hal yang semestinya berjalan seperti biasanya, bahkan sekarang kita 
selalu dibayang-bayangi ancaman atas risiko-risiko yang selalu dijejalkan atas 
konsumsi sajian media.

Apa yang disebut sebagai infodemic pun muncul menyelimuti kita dengan banjirnya 
informasi terkait risiko-risiko yang dinarasikan entah sebagai sesuatu yang 
faktual bahkan hoax sekalipun. Kekritisan kita atas informasi yang menjadi 
wabah dalam konteks infodemic itu pun tidak membantu apa-apa untuk kita lebih 
waspada dengan hal-hal edukatif yang semestinya lebih kita upayakan.

Alih-alih meningkatkan sensitivitas sosial untuk berjuang mengatasi wabah 
tersebut, malah kita lebih disibukkan untuk mencari celah-celah keuntungan di 
balik risiko-risiko atas wabah sebenarnya maupun wabah dari infodemic tersebut.

Hal yang paling penting diusahakan untuk kemaslahatan bersama itulah yang mesti 
digalakkan di balik pencegahan kultur-kultur risiko yang sedang merebak. Apa 
yang menjadikan masyarakat risiko seolah tunduk dengan rasionalitas teknis tak 
ubahnya seperti membawa kita dalam kultur ketundukan atas informasi yang 
menjadi penjejalan atas kebenaran-kebenaran tunggal yang didefinisikan oleh 
sistem kapitalisme.

Salah satunya dengan produk modernitas melalui medis modern, segala hal yang 
kaitannya dengan penyakit yang baru merebak ini pun, ketika seseorang baru 
disebut sebagai suspect, kepanikan itu pun semakin menjadi yang mengakibatkan 
kekhawatiran berlebih pada masyarakat risiko yang selalu mendambakan sesuatu 
yang ideal hanya untuk kalangan mereka meskipun motif ekonomi tidak lagi 
menjadi hal yang mereka persoalkan.

Masyarakat risiko dengan penjejalan moral panic ataupun infodemic yang 
dikonsumsi secara masif, hal ini sama sekali bukan bagian dari sikap 
antisipatif untuk penanganan yang lebih baik di negara yang tentunya juga 
dengan kultur post-truth yang sudah mengakar di kehidupan masyarakat. Artinya, 
satu hal yang juga penting untuk diupayakan bersama tentunya dengan saling 
mendukung untuk melawan wabah tersebut dengan meningkatkan solidaritas, 
alih-alih menimbun segala sesuatu yang bisa dijadikan sebagai bagian dari 
pencegahan lalu mengakumulasi itu sebagai bagian dari profit.

Jadi, bukan hanya wabah sebagai risiko yang menjadi kekhawatiran, krisis 
humanisme di balik risiko itu pun semestinya menjadi alarm nyaring untuk kita 
waspadai dan tentunya kita lawan untuk mengembalikan kesadaran masyarakat kita 
dalam upaya kebersamaan dan keadilan.

Abdul Rahim staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram

(mmu/mmu)
wabah corona
coronavirus indonesia
kepanikan massal
panic buying





Kirim email ke