Rerpesifitas Aparat di Aksi Menolak Omnibus Law di Ternate
By Ajun Thanjer  Senin, 23 Maret 2020  Add Comment
|  |
| Rudi, salah satu peserta aksi yang kena represif aparat kepolisian di tangga 
naik kantor DPRD Ternate sewaktu akan diamankan (sumber: MARAK) |

lpmkultura.com – Setidaknya, empat orang mahasiswa yang ditangkap paksa dan 
ditahan oleh Polres Ternate, Senin (23/3/2020) telah dilepaskan sore tadi 
sekitar pukul 17.00 WIT. Keempatnya ditahan saat akan bersama hampir ratusan 
mahasiswa yang terhimpun dalam Mahasiswa Ternate Bergerak (MARAK) menggelar 
aksi di kantor DPRD Kota Ternate untuk menolak adanya RUU Omnibus Law dan 
mendesak pemerintah untuk menangani secara serius penyeraban virus Corona 
(Covid-19). Informasi yang terhimpun, keempatnya adalah Rudhy, Chay, dan Risdat 
(ketiganya anggota Pembebasan) dan Andrean (Anggota PMII).

Awalnya, puluhan mahasiswa berkumpul di tugu Makugawene, Kelurahan Kalamata, 
Ternate Selatan, menunggu kawan-kawannya yang lain dari arah Ternate Utara 
menuju ke DPRD untuk melakukan aksi bersama. Namun belum lama kemudian, polisi 
dengan pelaratan lengkap mengumumkan agar mahasiswa membubarkan diri. Hingga 
sekitar pukul 12.35 WIT, polisi langsung merengsek masuk di kerumunan massa 
yang duduk tepat di pelataran jalan di tugu tersebut dan melakukan tidakan 
represif terhadap mahasiswa. Mahasiswa langsung dikejar-kejar dan dihujani 
dengan water cannon hingga massa berhamburan mengamankan diri.
“Kami baru berkumpul, menunggu kawan-kawan yang lain. Tiba-tiba sudah ada 
imbauan dari Polres agar kami bubar. Disitu, saya langsung di tangkap, dan 
diseret lalu di pukul,” aku Rudi, salah satu peserta aksi yang kena represif 
aparat dan ditangkap. Wajahnya memar, hampir sebagian tubuhnya luka-luka, 
dibagian pelipis matanya bengkek keluar darah. Dia dipukul oleh polisi dan 
intel berpakaian preman


|  |
| Detik-detik massa mahasiswa dibubarkan aparat kepolisian (Foto/Darman) |

Selain Rudi, ketiga kawannya yang ikut diseret oleh Polres dan katanya 
diamankan ke lingkungan kantor DPRD yang berjarak hampir 100 meter dari tugu 
Makugawene itu juga mengalami hal serupa. Badan-badan mereka penuh memar. 
Menurut pengakuan salah satunya, Dhat, mereka bertiga awalnya lari mengamankan 
diri di sebuah gudang berdekatan dengan tugu Makugawene, namun polisi berhasil 
melihat mereka. Ketiganya mengaku dikeroyok oleh polisi di dalam gudang 
tersebut hingga salah seorang diantara mereka hidungnya keluar darah dan 
bengkak.
Menurut keterangan Kordinator MARAK, Aslan Syarifudin, padahal rencana aksi itu 
aksi damai walau tak mengantongi ijin aksi. Dia bilang surat sudah dimasukkan, 
namun polisi beralasan belum bisa karena antisipasi penyebaran dan penularan 
virus corona. “Kalau polisi mau mengambil tindakan persuatif, tapi ini tidak, 
baru saja aba-aba, langsung bubarkan massa aksi dan tangkap.”
“Kami juga takut virus corona, pengen sehat, tapi ancaman Omnibus Law inilah 
yang membuat kami harus bergerak!.”
Aslan bilang, kawan-kawannya yang longmars dari arah utara sudah sampai di 
Kelurahan Jati, namun tak bisa lagi melanjutkan perjalanan ke kantor DPRD 
karena sudah mendapat kabar bahwa rencana aksi menolak Omnibus Law, sebuah 
regulasi yang menyederhanakan, memangkas, dan menghapus sejumlah aturan itu 
telah dibubarkan paksa aparat.
Kordinator aksi, Adi Gipantara juga mengatakan, bahwa aksi tersebut belum 
dilaksanakan, poster dan spanduk belum dibentangkan, mereka masih duduk-duduk 
menunggu kawan-kawannya dan melakukan breafing terkait imbaun polisi soal tidak 
bisa aksi dan massa harus membubarkan diri.
“Semua perlengkapan aksi pun belum di buka, tapi masih merapikan massa aksi 
untuk membicarakan hasil imbauan kepolisian. Dalam perjalannya, baru merapikan 
kawan-kawan untuk breafing, membicarakan imbauan polisi itu, Ada kawan yang 
surat diseret, ditangkap, lalu dihujani water cannon, akhirnya bubar,” ujarnya 
kepada lpmkultura.com, pasca aksi tadi.
Adi bilang, bila tadi kawan-kawannya belum dibebaskan dari Polres, mereka akan 
menggeruduk Polres “Kami sangat mengecam tindakan represif tersebut dan akan 
membuat pernyataan sikap kecaman,” tambahnya.
Tindakan aparat tersebut, bagi Adi cukup memperburuk situasi demokrasi 
Indonesia. Represifitas itu menjadi catatan, bagaimana demokrasi kian hari 
terancam. “Kita akan tetap menolak Omnibus Law, dan perampasan ruang hidup 
lainnya.”.

Kirim email ke