Kalau betul apa yang diceritakan Kompas  tentang Said Didu ini, ketemulah kita 
dengan seroang pejabat yang berani, jujur dan masih memikirkan kepentingan 
negeri. Ya logislah, kalau dia jadi berhadapan dengan komprador china 
kapitalis-imperialis nomer satu. Sang komprador, disamping kaya raya,  
kekuasaannya pun sangat besar, kelihatan dari propaganda yang dia gerakkan 
untuk melicinkan proyek di Morowali , meloloskan buruh China yang keahlian dan 
ketrampilannya dianggap “begitu tinggi” sehingga tak bias tercapai oleh buruh 
Indonesia yang dianggap goblok dan dungu!!!!Namanya juga komprador china, cium 
pantat tuannya pun akan dilakukannya demi proyek-proyek yang akan terus 
menggendutkan pundi-pundinya!!! 

Sent from Mail for Windows 10

From: ChanCT sa...@netvigator.com [GELORA45]
Sent: Saturday, 16 May 2020 15:13
To: GELORA_In
Subject: [GELORA45] Lantang Kritik Rezim Jokowi hingga Dipolisikan Luhut, Ini 
Rekam JejakSaid Didu

  
Lantang Kritik Rezim Jokowi hingga Dipolisikan Luhut, 
Ini Rekam Jejak Said Didu 
Kompas.com - 16/05/2020, 07:37 WIB BAGIKAN: 
Lihat Foto Said Didu saat masih menjabat sebagai Sekretaris BUMN, 2006. 
(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) 
Penulis Muhammad Idris | Editor Muhammad Idris 
JAKARTA, KOMPAS.com - Perseteruan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu 
dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memasuki babak 
baru. Bermula dari kritiknya terhadap Luhut di sebuah kanal YouTube, Said Didu 
harus menjalani pemeriksaan di Bareskrim, Mabes Polri. 
Di sana, Said Didu diperiksa secara intensif selama hampir 12 jam. Dia mengaku 
perlu menjelaskan maksud pernyataannya yang dipermasalahkan Luhut, terkait 
komentarnya yang menilai Luhut lebih mengutamakan investasi daripada penanganan 
virus corona ( kasus Said Didu). 
Dari rekam jejaknya, Said Didu memang terkenal sangat lantang mengkritik 
beberapa kebijakan rezim Presiden Joko Widodo ( Jokowi) yang kini sudah masuk 
periode keduanya. 
Sebelum vokal mengkritik Luhut, Said Didu juga beberapa kali melontarkan kritik 
tajam ke pemerintah, salah satunya yakni kebijakan akuisisi saham PT Freeport 
Indonesia (PTFI). 
Pembelian saham PTFI oleh pemerintah lewat PT Inalum (Persero) ini dianggap 
merugikan negara. Menurut Said, BUMN malah harus membayar mahal untuk membeli 
perusahaan yang masa konsesinya hampir habis dan cadangan emas maupun 
tembaganya sudah banyak terkuras. 
Baca juga: Jubir Luhut: Infonya Ada Purnawirawan yang Namanya Dicatut Dukung 
Said Didu 
Saat itu, Inalum harus merogoh uang 3,85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 56,1 
triliun untuk mengambil alih 51 persen saham PTFI dari Freeport McMoran dan Rio 
Tinto. 
Dalam kasus Jiwasraya, Said Didu pernah menyatakan adanya indikasi tindak 
pidana korupsi dalam kasus gagal bayar polis yang terjadi di PT Asuransi 
Jiwasraya (Persero). 
"Terjadi perampokan (di Jiwasraya). Perusahaan yang sangat sehat pada 
2016-2017, lalu defisit puluhan triliun di tahun berikutnya, berarti ada 
penyedotan dana yang terjadi," kata dia. 
Said Didu juga tak melihat kemungkinan adanya masalah gagal bayar di Jiwasraya 
disebabkan oleh kesalahan dalam proses berbisnis. Said Didu bilang, kasus 
Jiwasraya merupakan perampokan uang negara. 
Baca juga: Kuasa Hukum Luhut Pertanyakan Said Didu yang Mangkir saat Dipanggil 
Bareskrim 
"Tidak mungkin kalau hanya risiko bisnis, karena ekonomi di 2018 biasa-biasa 
saja kok, tidak seperti 1998. Enggak mungkin bocor sampai puluhan triliun, 
kalau risiko bisnis enggak sebesar itu," kata dia. 
Tak berhenti sampai di situ, Said Didu juga sempat mengkritik Presiden Joko 
Widodo (Jokowi) yang punya kebiasaan meresmikan jalan tol dan menganggapnya 
sebagai pencitraan. 
Mantan PNS BPPT dan komisaris BUMN 
Karir pria asal Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ini banyak dihabiskan 
sebagai PNS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Karir 
birokratnya dirintisnya dari bawah di BPPT sejak tahun 1987 mulai dari 
peneliti, merangkak karir sebagai pejabat eselon di badan riset tersebut.   
Namanya mulai lebih sering wara-wiri menghiasi media massa nasional sejak 
ditunjuk menjadi Sekretaris Kementerian BUMN. Dia juga pernah terpilih sebagai 
anggota MPR di tahun 1997. 
Sebagai petinggi di Kementerian BUMN, Said Didu juga diplot sebagai komisaris 
di beberapa perusahaan pelat merah di antaranya Komisaris PTPN IV (Persero) dan 
PT Bukit Asam Tbk (Persero). 
Jebolan Teknik Industri Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga sempat 
menduduki kursi komisaris PT Merpati Nusantara Airlines, Komisaris PT Asuransi 
Jiwa Inhealth Indonesia, dan Dewan Pengawas Rumah Sakit RSCM Jakarta. 
Baca juga: Luhut: Soal Said Didu, Itu Urusan Anak Buah Saya 
Di awal rezim periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Said Didu ikut 
masuk dalam lingkaran pemerintahan tahun 2014-2016. Dia menjabat sebagai Staf 
Khusus Menteri ESDM saat itu, Sudirman Saaid. 
Di tahun 2018, Said Didu dicopot dari jabatannya sebagai komisaris di Bukit 
Asam dan digantikan oleh Jhoni Ginting. Pencopotannya dilakukan oleh Menteri 
BUMN Rini Soemarno dalam RUPSLB Bukit Asam. 
Kementerian BUMN saat ini beralasan, pencopotan dari kursi Komisaris Bukit Asam 
dilakukan karena Sidu Didu dianggap sudah tidak sejalan dengan pemegang saham. 
Said Didu sempat jadi sorotan saat dirinya memutuskan mundur sebagai PNS pada 
13 Mei 2019. Alasan pengajuan pensiun dari BPPT agar dirinya bisa lebih leluasa 
mengkritik kebijakan publik yang dinilainya perlu diperbaiki. 
Baca juga: Tak Ada Permintaan Maaf, Luhut Ngotot Tuntut Said Didu ke Jalur 
Hukum 
Tercatat, dirinya sudah mengabdi sebagai ASN selama 32 tahun 11 bulan. Langkah 
bersebrangan dengan rezim Jokowi juga pernah diambil Said Didu saat dirinya 
menerima tawaran dari Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai 
saksi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pilpres.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lantang Kritik Rezim 
Jokowi hingga Dipolisikan Luhut, Ini Rekam Jejak Said Didu",
 
https://money.kompas.com/read/2020/05/16/073724426/lantang-kritik-rezim-jokowi-hingga-dipolisikan-luhut-ini-rekam-jejak-said-didu?page=all#page2.
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris


Kirim email ke