Artikel: Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah

yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut

sebagai kelompok oligarki!

 

Nesare: cukong itu cina kan? Kalo cukong cina yg begitu powerful, kenapa cukong 
ini tdk angkat presiden cina? Kalo kapitalis yg disorot kan kapitalis bisa 
siapa saja? Melayu, arab, cina dll kan bisa jadi kapitalis? Kalo yg kaya itu 
aduh pejabat korup lebih banyak yg kaya dan lbh kaya drpd cukong. Dinasti izal 
bakri, yusuf kala, anak2 sumitro dll itu bukti nyatanya.

 

Artikel: Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn. Dilihat dari latar 
belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan Islam. Hanya Gelora tampaknya 
mencoba bergeser ke tengah. Islam-Nasionalis.

 

Nesare: koq kalo suka sama masyumi, neko2/nawar2 suka islam nasionalis? Kalo 
mau islam saja, ya dipatok donk islamnya, jgn mau sama islam nasionalis 
sedangkan anti sama islam nusantara.

Partai gelora koq diujuk2/dinaik2in? Sudah gak suka sama PKS ya? Ya ngomong yg 
jelas begitu kalo mau dukung fahri hamza dan anis matta. Jgn sungkan2lah pake’  
alasan macem2 dari cukong politik, kapitalis, oligarki, islam nasionalis dll. 

Emangnya PAN itu bukan islam nasionalis? Emangnya PKS itu apa? Skrg mau partai 
gelora yg sami mawon gak berkutiknya?

 

Artikel tendensius begini koq kalo mau dianggap hebat, ya ketahui dulu latar 
belakangnya.

 

Nesare

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Monday, May 25, 2020 4:43 AM
To: nasional-l...@yahoogroups.com; GELORA45@yahoogroups.com; Chalik Hamid 
chalik.ha...@yahoo.co.id [nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>
Subject: [GELORA45] siapa Hersubeno?

 

  


Untuk mengenal siapa Hersubeno, seorang wartawan yang dapat giliran
dipanggil Bareskrim gara-gara mewawancarai Said Didu, orang yang
dimasalahkan oleh si Luhut Panjaitan, saya unduh salah satu artikelnya.
Salam. Lusi.-

Ramai-Ramai Membunuh Politisi

Kamis, 21 Mei 2020 12:03

Buta yang terburuk adalah buta politik — Berthold Brecht (1898 – 1956)—

BUKAMATA - Andai saja saat ini dilakukan survei opini publik: Profesi
apa yang paling dibenci di Indonesia?

Bisa diduga politisi akan menempati salah satu yang teratas. Khususnya
mereka yang kini duduk di kursi DPR.

Silakan melongok ke berbagai media sosial. Bermacam-macam tagar muncul.
Mulai dari #DPRbunuhdiri, #DPRbudakistana, sampai #Killthepolitician
meramaikan dunia maya.

Keriuhan di dunia maya itu menggambarkan frustrasi publik. Kemarahan di
tengah tekanan pandemi dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Mereka
perlu katarsis. Pelampiasan.

Marah, frustrasi terhadap para politisi di tengah pandemi, bukan hanya
monopoli rakyat di Indonesia. Di AS kebencian terhadap Presiden Trump
dan para pendukungnya kian memuncak. Acakadutnya penanganan bencana
Corona oleh pemerintah menjadikan Trump, bulan-bulanan kemarahan publik.

Di Indonesia frustrasi dan kemarahan publik, selain karena kebijakan
pemerintah yang tak jelas, buang badan. Juga didorong sikap DPR.

Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, DPR
hanya membebek. Menyetujui, mendukung apapun yang dilakukan pemerintah.

Padahal kebijakan itu dinilai merugikan masyarakat. Mengamputasi dan
mengebiri fungsi DPR.

DPR juga dicurigai bermain mata, berselingkuh dengan kepentingan para
taipan, korporasi besar yang berpesta pora, memanfaatkan bencana.

Mereka bergerak cepat. Diam-diam mengesahkan berbagai perundangan. RUU
yang sebelumnya jelas-jelas ditolak publik.

Mumpung publik lengah. Mumpung civil society sibuk dengan berbagai
persoalan lain. Mumpung mahasiswa tidak bergerak. Mumpung media fokus
ke bencana dan direpotkan oleh problem kehidupan sehari-hari.

Semuanya dikebut. Ketok palu. Langsung diundangkan. Tak peduli tata
tertib DPR dilanggar. UU itu bertentangan dengan konstitusi.
Bertentangan dengan nalar publik!

Yang penting order dari para bohir. Para cukong politik sudah
dilaksanakan. Invoice, tagihan bisa dicairkan.

Mari kita inventarisir berbagai perundang-undangan yang disahkan DPR di
tengah bencana.

Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengesahan Perppu No 1 Tahun
2020 tentang Covid. Dari 9 fraksi, hanya PKS yang menentang. Disahkan
secara aklamasi.

Keberatan publik sudah banyak dibahas. UU ini dinilai lebih
mementingkan menyelamatkan kepentingan korporasi dibanding kepentingan
rakyat.

UU Minerba disahkan. Hanya Demokrat yang tidak setuju. Posisi Demokrat
bergantian dengan PKS yang ikut menyetujui.

Padahal UU ini dinilai akan menyengsarakan rakyat di sekitar
penambangan dan merusak lingkungan. Lagi-lagi UU ini juga hanya
menguntungkan korporasi, pengusaha besar.

Jika dirunut ke belakang, sangat banyak UU yang disahkan DPR,
bertentangan dengan nalar publik. Salah satunya adalah revisi UU KPK
yang dianggap menguntungkan dan berpihak kepada koruptor.

Dikendalikan para cukong

Tudingan bahwa partai politik (Parpol) sudah dikendalikan oleh para
cukong, ini bukan asal ngomong. Bukan sekadar sikap curiga dan paranoid.

Politisi Golkar yang kini menjadi Ketua MPR Bambang Soesatyo pernah
menyampaikan bocoran. Untuk menguasai sebuah Parpol, biayanya sangat
murah. Cukup dengan modal Rp1 triliun, posisi ketua umum bisa direbut.

Setelah itu cukong politik tinggal order kepada sang Ketum. Mengamankan
kebijakannya di DPR. Jika ada anggota dewan yang mbalelo, tinggal
recall. Ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah
yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut
sebagai kelompok oligarki!

Mereka adalah sekelompok kecil elite yang mengendalikan kekuasaan,
politik, dan ekonomi.

Kamus Merriam-Webster mendifinisikan oligarki sebagai “kelompok kecil
orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi
ataupun kepentingan diri mereka sendiri”.

Di medsos saat ini sedang viral pernyataan pengamat politik senior
Fachri Aly.

Dia menyatakan, politik Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha.
Disebutnya para kapitalis.

Kekuatan modal, kata Fachri Aly, saat ini jauh membayang-bayangi dalam
sistem demokrasi. Jauh lebih berbahaya dibandingkan pada masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, penguasa yang menciptakan kapitalis. Dan penguasa
bisa mengontrol pengusaha. Sebaliknya pengusaha juga hormat kepada
pengaturan penguasa.

Di masa Soeharto pengusaha tunduk pada penguasa. “Tapi begitu kekuasaan
Soeharto rontok, maka para kapitalis itu lah yang menguasai negara,”
tegas Fachri.

Pernyataan Fachri ini disampaikan dalam sebuah seminar tahun 2015.
Namun nampaknya kembali diviralkan karena sangat tepat menggambarkan
situasi saat ini.

Berharap pada partai dan politisi baru

Dengan situasi semacam itu apakah kita harus mengikuti anjuran netizen
membunuh para politisi? #Killthepolitician?

Membubarkan Parpol karena mereka sudah terbeli dan menjadi alat
kepentingan para taipan? Tak ada yang bisa dipercaya?

Kembali meminjam pernyataan Berthold Brecht yang dikutip diatas. “Buta
paling buruk, adalah buta politik!”

Lengkapnya penyair dan dramawan Jerman itu mengatakan:

Buta paling buruk, adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak
berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak
tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya
sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."

Dalam negara demokratis, untuk menyampaikan aspirasi tersebut, maka
saluran legalnya adalah parpol. Melalui Parpol kita boleh merebut
kekuasaan secara legal dan konstitusional. Menentukan harga, dan
menentukan siapa yang berkuasa.

Jika semua orang baik menolak berpolitik karena dianggap kotor, maka
parpol akan hanya diisi orang-orang jahat. Para politisi yang
menggadaikan jabatannya menjadi hamba pengusaha.

Dengan semangat semacam itu, kita perlu sambut hadirnya parpol baru.

SK dari Kemenkumham Partai Gelora yang didirikan duet Anis Matta-Fahri
baru saja terbit. Mereka menjadi salah parpol baru pertama yang resmi
berbadan hukum. Tinggal mengikuti verifikasi dari KPU.

Pendiri PAN Amien Rais juga akan segera mendirikan Parpol baru.
Diperkirakan bakal terjadi bedol desa dari PAN.

Sebelumnya juga sudah ada wacana menghidupkan kembali Partai Masyumi.
Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn.

Dilihat dari latar belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan
Islam. Hanya Gelora tampaknya mencoba bergeser ke tengah.
Islam-Nasionalis.

Eksperimen politik Gelora ini cukup menarik. Mereka mencoba memadukan
dan mengakhiri ketegangan politik Islam dan Nasionalis. Polarisasi
semacam itu selalu mewarnai perjalanan politik bangsa sejak Indonesia
berdiri. Banyak membuang energi bangsa.

Partai sempalan PAN, bila dibaca dari statemen Amien Rais tampaknya
akan bergerak lebih ke kanan. Lebih Islami. Menjadikan Al Quran sebagai
acuan moralnya.

Sementara Masyumi Reborn dari namanya punya niat membangkitkan kembali
partai Islam yang sempat berjaya di masa lalu.

Mudah-mudahan parpol baru ini bisa menjadi parpol alternatif bagi
publik yang kecewa dan dikecewakan parpol yang ada saat ini.

Bagaimana bila mereka juga ternyata mengecewakan?

Silakan saja bila ingin kembali gemakan tagar #Killthepolitician.

Bersikaplah santai, sambil mengingat kembali ucapan negarawan asal
Inggris Winston Churcill. “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh
sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.”

Nahhhhhhhh. end
Editor : Aswad Syam



  • [GELORA45] siapa Hersubeno? 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45]
    • RE: [GELORA45] siapa Hersubeno? 'nesare' nesa...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke