-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2104-menggugat-hak-pilih-asn



 Selasa 01 September 2020, 05:00 WIB 

Menggugat Hak Pilih ASN 

Administrator | Editorial 

  HAMPIR dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala 
daerah, netralitas aparatur sipil negara (ASN) selalu menjadi soal. Padahal, 
regulasi untuk meneguhkan prinsip netralitas ASN sesungguhnya sudah banyak dan 
jelas. Bukan hanya eksplisit dalam produk hukum yang berkaitan dengan pemilu 
atau pilkada, kewajiban netral juga termaktub dalam peraturan yang secara 
khusus mengatur ASN. Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil 
Negara (ASN) pun dengan tegas menyatakan ASN harus bebas dari pengaruh dan 
intervensi semua golongan dan partai politik. Namun, dalam praktiknya tak 
pernah mudah. Prinsip netralitas ASN sangat rawan tercederai. Dalam konteks 
pilkada, ketidaknetralan itu kian terasa. Pemanfaatan birokrasi sipil dalam 
pilkada jamak dilakukan. Apalagi ketika banyak aparatur negara ikut masuk 
gelanggang kontestasi pilkada. Secara kuantitas, ASN memang patut jadi incaran. 
Kita ambil contoh data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tahun lalu, jumlah 
seluruh ASN di Indonesia mencapai 4,28 juta. Sebanyak 77,4% dari jumlah itu 
atau kurang lebih 3,31 juta merupakan ASN di instansi daerah. Belum lagi 
ditambah jumlah anggota keluarga dari ASN, juga pengaruh mereka untuk menarik 
dukungan dari calon pemilih. ASN jelas menjadi incaran sekaligus lumbung suara 
yang diperebutkan dan bermakna signifi kan bagi pemenangan pilkada. Posisi ASN 
yang strategis dalam birokrasi pun kerap dimanfaatkan, terutama oleh kepala 
daerah yang kembali maju dalam pilkada. Hal itu yang membuat gayung lebih 
sering bersambut. ASN dalam posisi sulit. Di satu sisi boleh jadi mereka ingin 
netral. Akan tetapi, mereka tak kuasa menolak petahana yang ingin ‘menggunakan’ 
birokrasi demi memenangi kontestasi. Pada sisi yang lain, ada juga ASN yang 
memang tak berniat netral. Mereka menyadari punya kekuatan suara dan pengaruh 
yang bisa ‘dijual’ sehingga rela jual diri. Alasan-alasan inilah yang pada 
akhirnya memicu banyak ASN terlibat, bahkan dijadikan mesin pemenangan oleh 
mereka yang bertarung dalam pilkada. Jelang Pilkada Serentak 2020 pun, 
ketidaknetralan ASN masih menjadi momok. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) 
belum lama ini mengungkapkan pelanggaran netralitas ASN pada penyelenggaraan 
pilkada tahun ini cukup mengkhawatirkan. Hingga 19 Agustus 2020, tercatat 490 
ASN yang dilaporkan melanggar netralitas. Itu baru yang dilaporkan, yang tidak 
terlaporkan bisa jadi lebih banyak. Angka itu juga tercatat saat proses pilkada 
belum memasuki masa kampanye, masa-masa ketika kandidat kepala daerah yang 
berasal dari birokrasi, Polri, ataupun TNI akan semakin masif menyeret-nyeret 
aparatur negara untuk berpihak. Patut diduga, pelanggaran netralitas yang 
selalu berulang dalam setiap penyelenggaraan pilkada ialah karena kurang 
tegasnya penegakan aturan. KASN pun mencatat, selama ini sanksi terhadap ASN 
pelanggar dari pejabat pembina kepegawaian (PPK), yaitu para gubernur, bupati, 
dan wali kota, harus diakui, jauh dari kata tegas. Bahkan rawan konflik 
kepentingan. Dalam perspektif itu, usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk 
sekalian saja menghapus hak pilih ASN dalam penyelenggaraan pilkada daripada 
setiap waktu pelanggaran terusmenerus dilakukan, menjadi sangat relevan. Ada 
dua alasan mengapa menjadi relevan. Pertama, demi menjaga muruah hukum yang tak 
selayaknya hanya jadi catatan di atas kertas. Hukum harus ditegakkan. Kedua, 
demi masa depan demokrasi yang sehat dan bermartabat. Pemilu dan pilkada adalah 
kendaraan demokrasi. Semestinya ia dijaga kualitasnya dengan menjunjung tinggi 
netralitas dan imparsialitas.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2104-menggugat-hak-pilih-asn






Kirim email ke