-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5155409/pendidikan-bukan-tanggung-jawab-orangtua?tag_from=wp_cb_kolom_list




Sentilan Iqbal Aji Daryono


"Pendidikan" Bukan Tanggung Jawab Orangtua


Iqbal Aji Daryono - detikNews


Selasa, 01 Sep 2020 16:26 WIB
3 komentar
SHARE URL telah disalin
Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta -

Salah satu slogan paling omong kosong yang saya dengar berkali-kali selama 
beberapa bulan terakhir ini adalah: "Mari kita kembali menyadari bahwa tanggung 
jawab dalam mendidik anak-anak ada di tangan kita, para orangtua."

Anda menyangkal kalau itu omong kosong? Oke. Kita buka dulu peta kecil 
permasalahannya.

***

Konteks ceritanya pasti sudah Anda pahami. Selama masa pandemi ini, anak-anak 
sekolah diminta bersekolah dari rumah. Dengan Google Classroom, Whatsapp, dan 
jalur-jalur daring lainnya. Nah, selama proses mendampingi anak-anak, banyak 
orangtua yang kewalahan, gagap, lalu meratap-ratap.

Kemudian datanglah para duplikat Kak Seto dan Mario Teguh. Mereka menebarkan 
nasihat bahwa sudah seharusnya para orangtua berperan sebagai guru sejati bagi 
anak-anak. Sekilas nasihat itu arif bijaksana dan seratus persen benar adanya. 
Tapi kalau kita kuliti pelan-pelan, realitasnya akan beda, sebab ada satu hal 
yang perlu kita bongkar dari kata "mendidik".

Nafsu saya untuk membongkar makna kata itu muncul gara-gara beberapa malam yang 
lalu saya terpaksa lembur. Bukan untuk bekerja atau nonton Netflix, melainkan 
untuk membantu anak saya memahami apa itu KPK dan FPB dalam pelajaran 
Matematika Kelas 5, lalu mengajarkan cara cepat menemukan KPK dan FPB untuk 
beberapa bilangan rumit.

Kepala saya langsung cenut-cenut, vertigo seketika. Dalam sejarah hidup saya, 
belum pernah saya paham apa itu KPK dan FPB. Matematika adalah monster yang 
merampas kebahagiaan masa kecil saya, juga masa kecil jutaan anak-anak lain 
dengan kecerdasan numerik kelas kambing semacam saya.

Lantas muncul berondongan pertanyaan di palung kegelisahan saya: Apakah saya 
tidak bisa mendidik anak saya? Apakah kalau saya tidak bisa mengajarkan KPK dan 
FPB, berarti saya tidak bisa mendidik anak saya? Apakah ketidakpahaman saya 
akan KPK dan FPB bermakna kegagalan saya sebagai orangtua? Bukankah kata 
orang-orang bijak di medsos itu orangtua adalah guru yang sesungguhnya, 
sehingga semestinya saya paham segala pelajaran sekolah anak saya?

Sampai di pertanyaan terakhir itu, saya jadi ragu. Orangtua adalah guru? Masa 
sih? Guru dalam porsi seberapa?

Mendidik dalam makna luas memang kewajiban orangtua. Orangtua sudah mau 
beranak-pinak, ya konsekuensi logisnya mereka harus mau menghidupi dan 
mengajari anak-anak agar mereka menjadi manusia. Pada titik itu saya sepakat.

Tapi sekali lagi, itu mendidik dalam makna luas. Dalam makna paling hakiki. 
Bagaimana mengajari anak-anak tentang baik dan buruk, mengajari anak mengatasi 
masalah hidup, mengajarkan jiwa mandiri dan bertanggung jawab, mengajarkan 
sikap welas asih, rajin-terampil-dan-gembira, hemat-cermat-dan-bersahaja, dan 
deretan nilai-nilai universal lainnya.

Adapun untuk urusan "mendidik", bagaimana bisa Anda yakin bahwa itu satu hal 
yang pada hari ini bisa begitu saja ditimpakan di ubun-ubun para orangtua?

Begini maksud saya. Sudah sejak sangat lama masyarakat kita masuk ke peradaban 
pendidikan formal bernama sekolah. Paling tidak telah hampir setengah abad 
program Wajib Belajar diterapkan bagi semua-mua anak di Indonesia. Bersama 
program itu, model sekolahnya seperti apa, model kurikulum pengajarannya 
seperti apa, model kemampuan guru-gurunya seperti apa, jam belajarnya seberapa 
lama, semua sudah distandarkan, diseragamkan, dan tentu saja "dipaksakan".

Dengan standar-standar itu, para orangtua tereksklusi dari sistem dan tradisi 
baru. Tercerabutlah kita dari tradisi mendidik anak sendiri, yang dulu pernah 
kita miliki. Hilanglah kemampuan kita untuk mendidik anak-anak kita sendiri. 
Semuanya berjalan seiring dengan arus lazim masyarakat industrial yang memaksa 
para orangtua pergi bekerja, ke pabrik-pabrik, ke perusahaan-perusahaan, ke 
kantor-kantor, dengan jam kerja tertentu, dan jam kerja itu berbarengan dengan 
waktu anak-anak bersekolah.

Selama berpuluh-puluh tahun, menyekolahkan anak ke sekolah formal bukan lagi 
sebatas pilihan. Ia adalah kewajiban, yang didukung oleh lingkungan yang 
melahirkan tekanan-tekanan.

Orang harus mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. Itulah syarat kelaziman 
kalau kita ingin terlihat waras dalam bermasyarakat. Orang yang tidak mau 
mengirim anak-anaknya ke sekolah, atau minimal ke sebuah sistem sekolah 
(homeschooling sekolah juga, kan?) bakalan tampak sebagai manusia uncivilized. 
Ia wajib disadarkan. Mulai Pak Lurah hingga Pak Babinsa akan datang 
membujuknya, agar mendaftarkan anaknya masuk ke sekolah desa.

Kita sudah tertelan dalam gelombang besar penyeragaman. Sudah sangat lama kita 
tak lagi sungguh-sungguh paham bahwa mendidik bukan cuma urusan sekolah. 
Masyarakat dan pergeseran peradaban telah mengambil alih, bahkan merampas 
pelan-pelan hak penuh orangtua untuk mendidik anak-anaknya sendiri.

Akibat penyeragaman itu, sampai-sampai kita mengidentikkan kata "pendidikan" 
dengan sekolah formal. Coba kita tes. Setiap kali kata itu muncul, apa yang 
terlintas di kepala Anda? Apakah visualisasi seorang ibu yang sedang menasihati 
anaknya? Nehi. Pasti yang nongol adalah gambaran suasana pelajaran di 
kelas-kelas, di sekolah-sekolah, di kampus-kampus universitas. Iya, kan? 
Sudahlah, jujur saja.

Tentu gambaran otomatis semacam itu wajar belaka. Sebab, memang nyaris 
satu-satunya lembaga pendidikan wajib yang kita kenal sejak kita lahir, 
satu-satunya referensi kita atas sistem dan tradisi pendidikan, ya cuma sekolah 
formal. (Memang ada lembaga pendidikan tradisional semacam pesantren, tapi toh 
pola pergeseran tanggung jawab pendidikannya sama saja.)

Ini mirip dengan dunia kesehatan. Sudah puluhan tahun kita menyerahkan hak 
pengelolaan kesehatan kepada dokter dan rumah sakit. Dalam norma dan 
kesepakatan baru di peradaban modern ini, orang yang sakit tapi tidak percaya 
dokter akan dianggap terbelakang dan tidak beradab.

Kemudian suatu hari, dokter dan rumah sakit sama sekali tidak bisa diakses. 
Seseorang sakit perut, lalu Anda menyalahkan orang itu karena dia tidak paham 
bagaimana cara mendiagnosis sakit perutnya dengan standar-standar ilmu 
kedokteran modern.

"Mari kembali kepada kesadaran bahwa kita adalah dokter bagi diri kita 
sendiri," kata Anda dengan tenang, sambil tersenyum bijak sekali.

***

Jangan salah paham, saya tidak hendak mengatakan bahwa sekolah formal itu tak 
penting. Tentu penting, dan anak saya pun saya sekolahkan. Yang bikin saya 
gatal hanyalah tudingan "tidak bisa mendidik anak", padahal dalam jangka waktu 
sangat lama aktivitas mendidik anak sudah didominasi oleh sebuah produk 
peradaban modern yang mengaburkan gambaran luas tentang pendidikan.

Di saat yang sama, kita disalahkan karena seolah lupa cara memberikan 
pendidikan kepada anak, padahal standar pendidikan yang dimaksud di situ adalah 
standar formal yang memang tidak pernah kita kuasai, dan mustahil semua 
orangtua menguasai.

"Halah, bilang aja kamu stres nggak bisa Matematika! Kebanyakan alasan aja!"

Hehehe, iya juga sih. Kok kamu tahu?

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
pendidikan
pjj
orangtua







Kirim email ke