-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/read/detail/341440-jerat-ketidakadilan-gender




Rabu 02 September 2020, 03:05 WIB 

Jerat Ketidakadilan Gender 

Imas Aan Ubudiah Ketua Bidang Kajian dan Litbang DPP KPPI | Opini 

  Jerat Ketidakadilan Gender Dok. Pribadi PERJUANGAN perempuan dalam politik 
sudah menjadi sejarah panjang. Partisipasi politik perempuan terwujud pada 
1955, saat perempuan menggunakan hak mereka untuk memilih dan dipilih. Sudahkah 
kini perempuan Indonesia bebas dari jerat ketidakadilan gender? Instrumen hukum 
Paling tidak, ada tiga instrumen hukum yang melegitimasi partisipasi politik 
perempuan. Pertama, Pasal 6 UU No 39 Ta hun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang 
menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan 
legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang legislatif dan yudikatif harus 
menjadikan keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. 
Kedua, ratifikasi Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan (Convention on the 
Political Rights of Women) serta ratifi kasi Konvensi tentang Penghapusan 
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Conven tion on the Elimination 
of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No 7 Tahun 1984. 
Ketiga, Perpres No 59 Tahun 2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 
(selanjutnya disingkat TPB) atau la zim dikenal dengan Suistainable Development 
Goals (SDGs). Ini merupakan dokumen rencana yang memuat kebijakan strategis 
tahapan-tahapan da lam pencapaian SDGs dari 2017 hingga 2030. Dalam lampiran 
Perpres SDGs dicantumkan tujuan global nomor V tentang menca pai kesetaraan 
gender dan memberdayakan kaum perempuan dengan sasaran antara lain mengakhiri 
segala bentuk diskriminasi terhadap pe rempuan serta menjamin par tisipasi 
penuh, efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua 
tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyara kat 
dengan sasaran nasional RPJMN, yaitu meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR 
RI. Kendati demikian, pelibatan perempuan secara penuh di panggung politik 
masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Pemilu 2019, keterwakilan perempuan 
di DPR RI masih 20,5% dari total 575 kursi. Angka tersebut masih jauh di bawah 
kuota perempuan di par lemen, yakni 30% sebagai angka critical mass. Budaya dan 
stereotip Ada banyak faktor yang melatarinya. Pertama, kuatnya budaya patriarki 
yang melekat pada alam bawah sadar masyarakat kita. Konstruksi patriarki ini 
menganggap laki-laki sebagai subjek penuh kehidupan dan perempuan sebagai 
objek, mengakibatkan laki-laki semakin superior dan perempuan semakin inferior. 
Patriarkisme ini terkonstruksi ke dalam semua aspek kehidupan, dari aspek 
sosial, budaya, agama, ekonomi, pendidikan, hingga politik. Arena politik 
cenderung sangat mas kulin dan identik dengan kekuasaan dan kendali laki-laki. 
Kalaupun ada perempuan, sering kali tersubordinasi. Keberadaan dan perannya 
dinilai lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Kedua, adanya 
stereotip yang menganggap perempuan tidak layak tampil di ruang publik. 
Tepatnya, menganggap sumur, dapur, dan kasur (persoalan reproduksi sosial) 
sebagai ‘kodrat’ perempuan. Padahal, kodrat merupakan sesuatu yang bersifat 
given, tidak dapat berubah dan diubah, tidak bisa dipertukarkan, mutlak ciptaan 
Tuhan. Sementara itu, wilayah politik bukan kodrat, melainkan konstruksi sosial 
yang bisa berubah dan dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, 
perempuan mengalami double burden (beban gan da). Aktif di politik memerlu kan 
pengorbanan waktu yang tidak sedikit karena berkait an dengan perjuangan dan 
pelayanan hajat hidup orang banyak. Melayani masyarakat, mencari nafkah, serta 
mengerjakan pekerjaan domestik sekaligus. Persoalannya, tidak sedikit para 
suami yang masih menyerahkan seluruh tugas reproduksi sosial (manajemen rumah 
tangga dan mengurus anak) kepada perempuan, bukan berbagi tugas dan bekerja 
sama. Perempuan yang memiliki finansial cukup sekalipun tetap dituntut untuk 
mengurus reproduksi sosial. Akibatnya, perempuan sering kali terhambat untuk 
maju ke parlemen karena tersandera oleh urusan domestik. Keempat, proses 
seleksi kandidat dalam partai politik yang bias laki-laki. Biasanya di lakukan 
pimpinan partai atau sekelompok kecil pejabat, yang mayoritas laki-laki. 
Perempuan tidak lebih banyak memperoleh dukungan dari partai-partai politik 
yang struktur kepemimpinannya didominasi laki-laki. Tentu itu disebabkan 
rendahnya kesadaran terkait dengan cara pandang kesetaraan dan keadilan gender 
di dalam partai. Jika harus memilih salah satu antara laki-laki dan perempuan 
dengan standar kualitas yang sama, sering kali yang dipilih laki-laki. 
Perempuan akan diakui jika kemampuannya melebihi laki-laki. Kelima, rendahnya 
kesadaran perempuan memilih sesama perempuan. Ini terjadi karena krisis 
kepercayaan terhadap kandidat perempuan yang dianggap kurang memiliki 
kapabilitas jika dibandingkan dengan laki-laki. Namun, bisa juga karena tidak 
memiliki kesadaran tentang pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen. 
Keterwakilan perempuan di parlemen sangatlah penting, tidak bisa digantikan la 
ki-laki. Lima pengalaman biologis (haid, hamil, melahirkan, menyusui, nifas) 
dan lima pengalaman sosiologis (stereotip negatif, kekerasan, beban ganda, 
marginalisasi, subordinasi) yang dialami perempuan tidak dialami laki-laki. 
Bagaimana bisa laki-laki membuat regulasi yang responsif gender tanpa mengalami 
10 hal itu? Pengalaman biologis dan sosiologis ini harus dijadikan pertimbangan 
dalam membuat poin demi poin kebijakan sehingga bisa memihak pada kebutuhan 
perempuan. Jika tidak, ketidakadilan gender akan terus langgeng. Padahal, 
sistem negara telah memberikan akses, partisipasi, pengambilan keputusan, dan 
manfaat yang adil dan se tara antara laki-laki dan perempuan. Mengingkarinya 
berarti melawan regulasi nega - ra. Pelibatan perempuan dalam panggung politik 
tidak se matamata soal kuantitas ha rus 30%, tetapi soal keadilan dan martabat 
kemanusiaan. Kehadiran perempuan yang representatif di parlemen ialah bentuk 
penghargaan kemanusiaan dan keadilan gender.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/341440-jerat-ketidakadilan-gender






Kirim email ke