-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5162970/salah-fokus-rugi-pertamina?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Salah Fokus Rugi Pertamina

Fahrul Rizal - detikNews
Senin, 07 Sep 2020 15:00 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Kilang Pertamina
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -
Tahun 2008 adalah pertama kalinya Indonesia memilih keluar dari keanggotaan 
OPEC gara-gara produksi minyak dalam negeri sudah semakin menurun. Kondisi yang 
tak berimbang antara kinerja produksi dan konsumsi minyak pada akhirnya membuat 
Indonesia harus mengimpor minyak. Pertama kali terjadi pada 2004 di mana 
defisit minyak Indonesia berada pada kisaran 5 juta ton, dan terus meningkat 
pada tahun-tahun berikutnya.

Keinginan untuk kembali bergabung pada 2015 pun ternyata tak menguntungkan 
lantaran keputusan pemangkasan produksi OPEC sebesar 1,2 juta bph, serta 
kewajiban untuk mengurangi produksi migas nasional sekitar 5 persen membuat 
Indonesia kembali keluar dari organisasi ini untuk kedua kalinya.

Sayangnya, pengalaman tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh Pertamina 
untuk segera melakukan restrukturisasi.

Pertamina pada masa Indonesia sudah menjadi importir minyak diketahui pernah 
memiliki 142 anak usaha yang bergerak segala bidang. Parahnya, seperti istilah 
palu gada, banyak di antara anak usaha BUMN energi kebanggaan bangsa ini fokus 
bisnisnya malah di luar sektor energi.

Contohnya, PT Patra Jasa, anak perusahan Pertamina yang bergerak di bisnis 
perhotelan, sewa kantor, dan bisnis properti. Di antara bisnis hotel yang 
dilakoni Patra Jasa adalah The Patra Bali Resort & Villas, Patra Semarang Hotel 
and Convention, Patra Comfort Bandung Hotel, Patra Comfort Jakarta Hotel, dan 
Patra Comfort Parapat Lake Resort. Tak ketinggalan apartemen Patraland Amarta 
yang memiliki pemandangan Gunung Merapi di Yogyakarta.

Selain Patra Jasa, Pertamina juga punya anak perusahasn yang bergerak di bidang 
kesehatan, yaitu PT Pertamina Bina Medika. Kemudian PT Pertamina Dana Ventura 
yang menggarap bidang jasa keuangan. Untuk bisnis asuransi, Pertamina punya PT 
Tugu Pratama Indonesia.

Lalu sektor transportasi udara pun tak luput dari garapan Pertamina melalui 
anak perusahaannya, PT Pelita Air Service. Bahkan Pertamina juga punya 
jagoannya sendiri untuk bisnis suplai tenaga kerja, event organizer, dan jasa 
pengamanan, yaitu PT Pertamina Training & Consulting.

Kalau dihitung-hitung, sepertinya ada belasan pekerjaan di luar bisnis energi 
yang juga dilakoni oleh Pertamina. Sementara 80% pendapatan keuangan perusahaan 
sampai dengan saat ini masih bertumpu pada sektor hulu migas. Terkesan bahwa 
Pertamina masih setengah hati dalam mengurusi sektor hilir migas dan energi 
panas bumi, tapi malah mampu menggarap bisnis di luar sektor energi.

Untungnya pemerintah pada pertengahan 2020 ini melakukan restrukturisasi agar 
BUMN energi ini kembali fokus pada bisnis inti. Lima sub-holding yang baru 
terbentuk setelah restrukturisasi tersebut diharapkan dapat memperbaiki salah 
fokus arah bisnis yang dapat merugikan Pertamina.

Sub-holding pertama adalah PT Pertamina Hulu Energi (PHE), konsentrasinya pada 
sektor upstream atau hulu migas. Artinya, semua anak perusahaan lain yang 
bergerak di kegiatan usaha hulu migas akan berada dalam kendali PHE agar 
kekuatan bisnis hulu migas nasional dapat terkonsolidasi sehingga akan lebih 
terarah pengembangannya.

Dalam kegiatan usaha hilir migas, Pertamina punya tiga sub-holding. Pertama, PT 
Kilang Pertamina Internasional sebagai pelaku bisnis kilang dan petrokimia. 
Kedua, PT Pertamina Patra Niaga yang ditugaskan mengelola SPBU, memasarkan 
produk BBM dan pelumas. Ketiga, PT Pertamina International Shipping sebagai 
anak usaha di bisnis kapal tanker.

Untuk sektor pembangkit listrik dan energi baru terbarukan (EBT), PT Pertamina 
Power Indonesia ditunjuk menjadi sub-holding. Membuat PT Pertamina Geothermal 
Energi yang telah puluhan tahun berpengalaman mengoperasikan lapangan panas 
bumi di Indonesia berada di bawah kendali Pertamina Power.

Dapat diprediksi bahwa arah bisnis Pertamina lebih fokus pada hilirisasi migas. 
Alasannya tentu karena bisnis hilir, walau keuntungannya tak semenggiurkan 
bisnis hulu, secara jangka panjang lebih menentukan stabilitas ketahanan energi 
nasional. Tugas yang tak akan bisa disukseskan Pertamina jika BUMN plat merah 
ini masih rentan intervensi politik dalam negeri yang tak akan mungkin selaras 
dengan kondisi pasar bisnis energi.

Kerugian Pertamina ketika hampir semua perusahaan migas dunia rugi pada 
Semester I - 2020 seharusnya dapat disikapi sebagai sesuatu yang lumrah. Hal 
ini juga menjadi pedoman bagi para pemangku kebijakan bahwa bisnis hulu migas 
sudah tak dapat lagi dijadikan tumpuan perekonomian nasional. Keanehan baru 
terjadi apabila momentum ini ternyata tidak membuat struktur baru Pertamina di 
sektor hilir migas dan EBT menjadi semakin menggeliat.

(mmu/mmu)
pertamina
pertamina rugi







Kirim email ke