-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5169075/jangan-tanyakan-lagi-nasionalisme-urang-minang?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Jangan Tanyakan (Lagi) Nasionalisme "Urang" Minang

Dwi Munthaha - detikNews

Jumat, 11 Sep 2020 15:17 WIB
6 komentar
SHARE URL telah disalin
Puan Maharani
Puan Maharani (Foto: tangkapan layar)
Jakarta -

Pernyataan Puan Maharani saat mengumumkan pasangan calon gubernur dan wakil 
gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mulyadi-Ali Mukhni untuk Pilkada 2020 menuai 
kehebohan. Secara spontan Puan menyebutkan harapannya, "Semoga Sumatera Barat 
menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila."

Pernyataan tersebut kemudian ditimpali oleh Ketua Umum PDIP Megawati 
Soekarnoputri dengan keheranannya, mengapa masyarakat Sumbar belum menyukai 
PDIP. Minimnya dukungan bagi PDIP disebutkannya menyulitkan partai untuk 
menentukan pemimpin di Sumbar. Megawati pun meminta kader-kadernya untuk 
bekerja keras merebut hati rakyat Sumbar.

Namun, akibat dari pernyataan Puan, muncul reaksi dari banyak kalangan. Dari 
komentar yang menyayangkan, kecaman, hingga pelaporan ke polisi. PKB yang 
awalnya menjadi bagian dari partai koalisi pendukung pasangan Mulyadi-Ali 
Mukhni mencabut dukungannya. Puncaknya, Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat 
dukungan dari PDIP. Pasangan ini memutuskan hanya didukung oleh Partai Demokrat 
dan PAN.

Pernyataan Puan dianggap mengusik rasa nasionalisme masyarakat Minangkabau. 
Tentunya pernyataan itu, meski spontan, tidak muncul begitu saja. Bisa jadi ada 
kesadaran yang terbangun dari Puan karena kelompok nasionalis berkali-kali 
kalah dalam kontestasi politik di sana. Saat pilpres pada 2014, Jokowi yang 
didukung oleh koalisi yang dipimpin PDIP hanya memperoleh 22% suara. Pada 2019, 
suara itu justru melorot hingga tersisa 14,05 %.

Dukungan 12 kepala daerah serta pengalokasian dana yang besar untuk pembangunan 
infrastruktur di provinsi itu tidak berimbas pada perolehan suara Jokowi di 
pilpres terakhirnya.

Barangkali Jokowi juga heran, namun tidak diungkapkannya ke publik. Tetapi 
pertanyaan Megawati menjadi lebih penting dari sisi politik, mengingat PDIP 
merupakan the rulling party, ketimbang Jokowi yang hanya tinggal menyelesaikan 
periodenya hingga 2024. Megawati sepertinya melihat spektrum politik dalam 
perspektif yang lebih luas. Bukan hanya sebatas jumlah DPT di Sumbar yang 
relatif kecil dan tidak signifikan.

Kemenangan politik dengan dalam demokrasi liberal memang hanya ditentukan oleh 
kuantitas, abai pada kualitas. Pengabaian kualitas inilah yang berakibat 
panjang, dan situasi kebangsaan saat ini menunjukkan konsekuensi itu. 
Terbelahnya masyarakat karena politik identitas dikhawatirkan akan semakin 
menggerus nasionalisme. Sementara di sisi lain ada yang tetap mendapatkan 
keuntungan dari berbagai peristiwa politik dan sosial yang terjadi.

Diferensiasi Urang Minang

Sumbar memiliki diferensiansi kultural dan politik yang asimetris dengan 
wilayah lainnya. Secara kultur masyarakat Sumbar menganut asas matrilineal, di 
mana kaum perempuan memiliki determinasi dalam adat. Maka tidak heran jika 
beberapa tokoh perempuan Sumbar muncul di pentas sejarah nasional, seperti 
Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahma El Yunusiah, dan seterusnya.

Para pendiri bangsa juga dikenal banyak berasal dari Sumbar, sebut saja Tan 
Malaka, Hatta, Sutan Syahrir, Muh. Yamin, Agoes Salim, Natsir, dan sederet 
panjang nama lainnya.

Untuk memahami arti pentingnya Sumbar, tidak cukup hanya menyebutkan 
tokoh-tokoh politik di masa lalu, tetapi juga peristiwa-peristiwa politik yang 
terjadi. Apalagi hanya sebatas mengapresiasi identitas budaya dari satu 
serpihan kecil tanpa mendalaminya lebih jauh, misalnya kuliner Minang yang 
memang terkenal lezat. Kuliner berdekatan dengan peradaban. Semakin maju 
peradaban di satu wilayah, maka kita akan merasakan santapan kuliner lokal yang 
nikmat.

Biasanya politisi dengan mudah mengumbar simbol-simbol untuk mendekatkan emosi 
rakyat. Ketika tepat dilakukan, maka emosi positif yang didapat dan dukungan 
pun diraih, sebaliknya pun demikian.

Sumbar memiliki catatan sejarah yang panjang sebagai wilayah dengan eksistensi 
politik-ekonomi yang signifikan. pada abad ke-19, kota Padang, ibu kota Sumbar 
merupakan kota paling metropolitan di Sumatera (Rusli Amran, 1988). Jejak itu 
dapat dilihat dari bangunan-bangunan tua yang masih terawat rapi dan fungsional 
di kota Padang. Kekuasaan kolonial begitu dominan di wilayah itu setelah 
meredakan pertikaian antara kaum adat dan Islam di sana.

Islam sendiri terlebih dahulu masuk dan berakulturasi dengan tradisi lokal. Di 
Sumbar dikenal tiga kelompok tarekat, yakni Syattariah, Naqshbandiyyah, dan 
Sammaniyah. Dua tarekat pertama yang disebut berkembang luas di wilayah Sumbar, 
sedang yang terakhir di sedikit daerah. Besarnya dua organisasi tarekat itu, 
Syattariah dan Naqshbandiyyah berujung konflik pengaruh dengan dasar-dasar 
perbedaan di keduanya (Oman Fathurahman, 2008).

Namun konflik yang lebih besar lagi muncul, ketika tiga orang putera Minang 
kembali ke kampung halamannya setelah menuntut ilmu di Mekah. Ketiga orang 
tersebut adalah Haji Miskin, Haji Piyobang, dan Haji Sumanik. Mereka datang 
dengan membawa ajaran Wahabi yang berkembang di Arab. Praktik tarekat dan 
tasawuf dianggapnya sesat, bidah, begitu juga ritual-ritual adat lainnya. 
Pertikaian inilah yang kemudian mengundang intervensi Belanda hingga terjadilah 
Perang Padri.

Perang itu berakhir dengan kemenangan Belanda. Saat itulah banyak orang-orang 
Eropa yang menetap di Sumbar. Maka tidak heran jika sejak lama nama-nama orang 
yang berasal dari Minang banyak yang mirip dengan nama-nama Barat.

Pemikiran Barat pun juga mempengaruhi masyarakat di sana. Jika saat itu paham 
liberalisme sudah mulai dominan, reaksi dari paham tersebut di Eropa yakni 
komunisme juga muncul di Sumbar. Pemberontak komunis terjadi pada 1927 di 
Silungkang, Sawah Lunto. Pemberontakan komunis ini melibatkan tokoh-tokoh agama 
dan masyarakat adat di Sumbar. Kendati gagal, peristiwa politik itu 
mempengaruhi gerakan perlawanan terhadap Belanda yang mulai masif di Nusantara 
(Mestika Zed, 2004).

Dari riwayat sejarahnya, di Sumbar bersemai berbagai macam aliran politik dan 
keagamaan. Secara tradisi lokal pun hingga kini masih dipegang kerapatan adat 
dalam bentuk pemerintahan nagari yang berbeda dengan desa-desa di daerah lain 
di Indonesia. Walau sempat dihilangkan peran fungsionalnya pada masa Orde Baru, 
saat ini nagari diakui sebagai satu bentuk pemerintahan yang luasnya melebihi 
beberapa desa di daerah lain, kendati masih di bawah kecamatan.

Wilayah nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki 
batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus 
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau. 
Kewenangannya diatur melalui perda masing-masing kabupaten di Sumbar. Bakal 
calon wali nagari ditetapkan melalui persyaratan yang ketat; selain harus 
memiliki pengetahuan tentang adat, juga belum pernah melanggar adat yang 
diputuskan oleh Kerapatan Adat Nagari.

Persyaratan lainnya terkait dengan komitmen kebangsaan, kesetiaan pada 
Pancasila, dan sebagainya. Calon wali nagari juga tidak boleh partisan politik, 
dan jika berasal dari unsur birokrasi atau TNI-POLRI diharuskan mengundurkan 
diri. Selanjutnya calon-calon wali nagari tersebut dipilih melalui mekanisme 
pemilihan yang demokratis.

Dari persyaratan yang ketat dan proses yang dirancang demokratis tersebut dapat 
asumsikan bahwa nasionalisme urang Minang telah tertempa sejak dari pemilihan 
pemimpin politik lokal terendah di sana.

Pengaburan Sejarah

Kiprah masyarakat Minang dari berbagai peristiwa sejarah penting tidak serta 
merta memposisikannya Sumbar menjadi wilayah istimewa di mata pemerintah pusat. 
Berbeda dengan Yogyakarta misalnya. Catatan historis Yogyakarta yang pernah 
menjadi ibu kota negara serta dukungan Sultan terhadap kedaulatan republik 
menjadikan daerah tersebut sebagai Daerah Istimewa.

Kota Bukittinggi di Sumbar juga pernah menjadi pusat pemerintahan pada 
1948-1949. Namun berbagai peristiwa politik setelahnya menjadi catatan sejarah 
yang berakibat fatal atas jasa-jasa masyarakat di sana sebelumnya.

Bangsa kita telah disandera oleh ketidakjelasan sejarah. Ketidakjelasan ini 
mengakibatkan sulitnya objektivitas diperoleh dalam berpikir dan bersikap. 
Terlebih lagi saat kontestasi politik berlangsung, semisal dua pemilihan 
presiden terakhir (2014 dan 2019). Ketidakjelasan sejarah justru diumbar 
sebagai amunisi perang tanding narasi yang berdampak pada pembelahan 
masyarakat. Rakyat terpolarisasi dan tersegmentasi bukan karena pilihan 
objektif tapi prasangka, kebencian, dan dendam.

Pola pikir dengan dasar itu adalah penyakit kolektif yang mengendap dalam alam 
bawah sadar. Potensi perpecahan menanti ke depan, karena hal ini berbeda dengan 
sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah ideologi yang pada dasarnya tidak 
dipahami secara dalam oleh para pengikutnya. Cara pandang berdasarkan prasangka 
dan kemarahan kendati pilpres telah usai masih tetap subur di daerah-daerah 
tertentu di Indonesia.

Terutama di daerah-daerah yang di masa lalu mengalami konflik seperti halnya 
Sumatera Barat. Di daerah ini pernah terjadi beberapa peristiwa sejarah 
penting. Pada 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949, Bukittinggi pernah menyelamatkan 
eksistensi pemerintahan Republik Indonesia. Saat Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan 
Agoes Salim ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948, dibentuk Pemerintahan 
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ibu kotanya Bukittinggi.

Peristiwa bersejarah ini kurang mendapat apresiasi dari negara. Meski Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan 19 Desember melalui Keputusan 
Presiden No 28 tahun 2006 sebagai Hari Bela Negara, namun secara tegas 
peringatan tersebut tidak dinyatakan sebagai peristiwa terbentuknya PDRI.

Dugaan yang muncul, sejarah PDRI dilekatkan pula dengan peristiwa 10 tahun 
kemudian, tepatnya 15 Pebruari 1958 sebagian besar tokoh di PDRI melakukan 
otokritik terhadap pemerintah pusat dengan mendeklarasikan Pemerintah 
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Deklarasi ini dianggap sebagai gerakan 
separatisme memisahkan diri dari NKRI. Reaksi yang dilakukan adalah operasi 
militer untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia.

Akibat dari operasi militer tersebut, ribuan warga sipil tewas di Sumbar. Hal 
inilah yang membuat trauma berkepanjangan bagi masyarakat di sana.

Politik Nasional yang Mengecewakan

Dari beberapa pernyataan tokoh PRRI, gerakan yang mereka lakukan adalah bentuk 
otokritik terhadap pemerintahan pusat yang dianggap mulai menyimpang dari 
nilai-nilai dasar demokrasi. Terlepas adanya campur tangan asing, pemerintahan 
Soekarno dianggap mulai otoriter. Pembubaran parlemen hasil Pemilu 1955, 
pembubaran konstituante, dan mulai merajalela korupsi di tubuh pemerintahan 
menjadi pemicu dari gerakan separatis tersebut.

Dengan semangat revolusi, beberapa eksponen PDRI akhirnya mendeklarasikan PRRI. 
Di dalam pemerintahan tersebut terdapat juga unsur Islam dan Sosialis. Hingga 
tidak tepat menganggap PRRI adalah gerakan kedaerahan, sektoral dan sektarian 
(Audrey Kahin,2008).

Peristiwa-peristiwa besar di masa lalu, kerap juga membuat kekonyolan sejarah 
turunan secara parsial. Contoh yang bisa diperdalam lebih lanjut adalah sejarah 
kedirgantaraan di Indonesia. Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia, 
Perjuangan AURI 1945-1950 (Yayasan Obor 2008), pesawat pertama yang dimiliki 
Indonesia dibeli pada Desember 1947, Avro Ansom VH-PBY. Pesawat itu berasal 
dari sumbangan ibu-ibu dan warga masyarakat di Bukittinggi.

Namun, nahas pesawat tersebut mengalami kecelakan di Tanjung Hantu, Malaya saat 
akan kembali ke Bukittinggi dan menewaskan Pilot Iswahyudi dan navigatornya, 
Halim Perdana Kusumah. Keduanya adalah tokoh pelopor penerbangan di Indonesia. 
Sebagai gantinya pada Maret 1948, rakyat Bukittinggi mengumpulkan sumbangan 
untuk membeli pesawat dengan jenis yang sama. Pesawat pertama yang dibeli pada 
1947 diregistrasi sebagai RI 003, dan pesawat penggantinya RI 004.

RI 004 adalah pesawat Dakota versi militer sewaan milik perorangan, Bob Earl 
Freegen, veteran militer berwarga negara AS. Pesawat tersebut sudah beroperasi 
sejak 1947 dan hilang pada Oktober 1948, saat melakukan penerbangan dari 
Yogyakarta ke Bukittinggi.

Di buku yang sama, dituliskan registrasi RI 001 adalah pesawat yang dibeli oleh 
sumbangan rakyat Aceh. Sumbangan ini bermula dari pidato Presiden Sukarno pada 
16 Juni 1948 di Aceh dan berhasil menggetarkan dan menggerakkan hati rakyat 
Aceh untuk mengumpulkan sumbangan guna membeli pesawat. Sumbangan yang 
terkumpul dengan nilai nominal setara $ AS 130.000 itu hanya dilakukan selama 2 
hari.

Atas pengorbanan dan jasa rakyat Aceh tersebut, pesawat Dakota yang dibeli 
diberi registrasi RI 001 Seulawah. Pertanyaannya, mengapa penomoran tersebut 
tidak mengikuti tahun? Dari penuturan seorang veteran militer yang tinggal di 
Padang Panjang kepada saya, dia juga menyebutkan pesawat pertama yang dimiliki 
Indonesia adalah hasil sumbangan dari rakyat Bukittinggi. Dia menceritakan 
kisah adanya pesawat itu.

Presiden Soekarno berpidato di Bukittinggi dan pidatonya berhasil menggerakkan 
aksi sukarela rakyat Bukittinggi terutama kaum ibu-ibu untuk menyumbangkan 
perhiasan yang mereka milik. Dia menyakini pesawat itu bernomor register RI 001 
dan replika pesawat tersebut ada di daerah Gadut, Bukittinggi.

Saat kami bersama-sama melihat replika pesawat itu di Gadut, terlihat pancaran 
kekecewaan di mata pria lanjut usia tersebut. Di bagian ekor replika pesawat 
itu tertulis nomer register RI 003. Di bawah replika pesawat dibuat bangunan 
penyanggah yang berisi ornamen berbentuk relief-relief yang menggambarkan 
sejarah pesawat itu. Kekecewaannya bertambah, karena tidak ada relief Bung 
Karno yang berpidato, melainkan Bung Hatta.

Darurat Rekonsiliasi

"Sejarah jangan dimanipulasi," ujarnya. Di usianya yang menjelang 90 tahun itu, 
dia mengisahkan gelora masa mudanya saat menjadi bagian dari milter Indonesia. 
Sebuah kebanggaan baginya menjadi bagian dari pasukan militer pada masa PDRI.

Saat masa Pilpres 2014, salah seorang tokoh PDRI dan PRRI yang masih tersisa 
menyatakan pada saya bahwa Jokowi adalah calon presiden yang baik. Namun 
menurutnya, Jokowi adalah representasi kelompok politik yang di masa lalu 
dianggapnya punya dosa besar terhadap masyarakat Sumbar. Dia berharap 
terjadinya rekonsiliasi agar masyarakat tidak tersandera oleh beban sejarah 
masa lalu untuk menentukan masa depannya.

Indonesia butuh rekonsiliasi. Pernyataan ini menjadi penting karena trauma 
peristiwa sejarah selalu muncul dan dipergunakan secara tidak bertanggung jawab 
saat proses yang seharusnya memiliki nilai determinan bagi kepentingan rakyat 
berlangsung, semisal pilkada dan pilpres. Pemilihan pemimpin menjadi tidak 
rasional karena belenggu peristiwa-peristiwa masa lalu masih mengekang cara 
berpikir masyarakat.

Namun demikian, selimut tebal politis yang membalut kepentingan kekuasaan tidak 
layak menjadi dasar rekonsiliasi dilakukan, karena rekonsiliasi harus didasari 
oleh masa depan kemanusiaan.

Semoga tulisan ini dapat membantu menjawab pertanyaan Megawati, mengapa PDIP 
bukan partai yang menarik bagi sebagian besar masyarakat Minang.

Dwi Munthaha mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

(mmu/mmu)
pilkada sumbar 2020
minangkabau
puan maharani









Kirim email ke