-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5172420/merumuskan-definisi-wfh-dalam-uu-tenaga-kerja?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Merumuskan Definisi WFH dalam UU Tenaga Kerja

Johan Imanuel - detikNews
Senin, 14 Sep 2020 14:19 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Woman sitting on sofa using laptop in her cozy loft apartment
Foto ilustrasi: Getty Images/Morsa Images
Jakarta -

Gubernur Anies Baswedan menetapkan (kembali) PSBB total bagi Provinsi DKI 
Jakarta mulai hari ini, Senin (14/9). Dampak dari PSBB total ini adalah 
pembatasan perkantoran untuk beroperasional dalam melangsungkan usaha di 
tempat. Hal ini juga berdampak perkantoran yang tidak termasuk diizinkan 
beroperasional selama PSBB harus kembali tutup, sementara sehingga diwajibkan 
untuk melaksanakan pekerjaan dari rumah (work from home/WFH)).

Mengingat PSBB total ini merupakan PSBB kedua, maka sudah seharusnya pemerintah 
juga memberikan definisi yang tetap bagi WFH. Karena, pembatasan WFH ini 
diterapkan berbeda-beda di masing-masing perusahaan. Menurut pengamatan saya, 
ada beberapa hal yang menjadi fokus dari WFH yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Pertama, upaya pencegahan penyebarluasan Covid-19. Kedua, menjadi alasan 
efisiensi. Ketiga, menjadi sarana untuk penundaan pembayaran kewajiban.

Upaya Pencegahan

Sebagai upaya pencegahan penyebrluasan Covid-19, WFH menjadi kebiasaan baru 
bagi perusahaan dengan meminta pekerja untuk bekerja dari rumah karena risiko 
yang mungkin timbul apabila bekerja ke kantor. Namun demikian pembatasannya 
belum seragam, karena WFH ini sering diterapkan bersamaan dengan "unpaid leave" 
ataupun merumahkan pekerja. Padahal unpaid leave atau merumahkan pekerja 
merupakan hal yang berbeda.

Unpaid leave adalah bagian dari istirahat pekerja dalam hal belum memiliki 
cuti, sedangkan merumahkan pekerja adalah bagian dari efisiensi pengusaha dalam 
hal pekerjaan yang rutin tidak dapat dilaksanakan sementara waktu. Sehingga 
pemerintah wajib merumuskan definisi WFH dalam UU Ketenagakerjaan, dengan salah 
satu unsurnya merupakan upaya pencegahan penyebarluasan pandemi atau wabah 
penyakit tanpa memperhitungkan ketentuan istirahat bagi pekerja baik yang belum 
dan/atau sudah memiliki hak cuti serta tidak termasuk upaya merumahkan pekerja.

Alasan Efisiensi

Memang dengan melaksanakan WFH otomatis beban operasional menjadi berkurang, 
seperti pengeluaran biaya listrik, biaya air, biaya kertas, dan lain-lain. 
Tetapi bagaimana jika pekerjaan tersebut ternyata harus tetap dilaksanakan 
secara offline? Seperti pelaporan ke kantor pajak, bayar pajak reklame; leges 
bukti-bukti ke kantor ini perlu dipastikan.

Pemerintah sebaiknya juga memberikan definisi WFH dengan unsur kedua, 
mempertegas dengan merumuskan bahwa WFH merupakan jenis-jenis pekerjaan yang 
rutin dilakukan di kantor, tetapi dapat dilaksanakan di rumah tanpa 
menghilangkan jenis-jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan di lapangan dengan 
kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.

Jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan secara WFH antara lain korespondensi 
via email, meeting, dan interview melalui aplikasi conference, reporting 
internal, payment, dan pekerjaan sejenisnya. Namun demikian tentunya harus 
disepakati bersama bagi biaya-biaya yang mungkin timbul dalam hal pelaksanaan 
WFH seperti kuota internet dan pemakaian listrik -- ini patut ditegaskan juga.

Penundaan Pembayaran Kewajiban

Tidak dipungkiri bahwa banyak perusahaan saat ini menjadikan alasan WFH sebagai 
penundaan pembayaran kewajiban. Hanya saja harus dibatasi bahwa penundaan 
pembayaran kewajiban menyangkut kewajiban kepada pihak eksternal (luar), bukan 
internal terkait upah pekerja. Sehingga dalam rumusan selanjutnya pemerintah 
mesti menekankan bahwa apabila dalam pelaksanaan WFH pengusaha terpaksa 
melakukan penundaan kewajiban pembayaran, maka kewajiban pembayaran atas upah, 
tunjangan hari raya, jaminan sosial tidak dapat ditunda.

Kemudian perlu dipertegas juga bahwa upah yang diterima pada saat WFH adalah 
upah sesuai upah bulanan yang telah diperjanjikan. Dan, apabila harus 
disesuaikan menurun, maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan syarat 
upah yang tadinya menurun akan disesuaikan kembali apabila keadaan sudah tidak 
pandemi.

Berdasarkan hal-hal di atas, sebaiknya pemerintah mengatur rumusan definisi WFH 
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 
Ketenagakerjaan). Hal ini untuk menghindari praktik WFH yang malah berujung 
merugikan pekerja, seperti WFH tanpa ada pekerjaan sama sekali, WFH disertai 
penundaan pembayaran upah, jaminan sosial, dan tunjangan hari raya, serta WFH 
Work yang disamakan dengan "dirumahkan".

Saat ini dalam UU Ketenagakerjaan hanya sebatas mengatur tentang keselamatan 
dan kesehatan kerja bagi pekerja (Pasal 86) yang menjadikan WFH hanya sebatas 
sebagai salah satu praktik untuk melindungi pekerja dalam hal keselamatan dan 
kesehatan kerja. Padahal dampak WFH tentunya memiliki banyak celah apabila 
tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Apabila telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebagai sumber hukum heteronom, 
maka selanjutnya WFH dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, 
atau Perjanjian Kerja Bersama sebagai sumber hukum otonom.

Johan Imanuel advokat dan praktisi hukum ketenagakerjaan

(mmu/mmu)







Kirim email ke