Demokrasi: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!

Syailendra September 28, 2020

https://britabrita.com/demokrasi-dari-cukong-oleh-cukong-untuk-cukong/


Oleh Hersubeno Arief

KREDO demokrasi : Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya
perlu segera di revisi.

Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan
realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh Cukong,
Untuk Cukong!

Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik
rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia.

Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH
Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92 persen calon kepala
daerah dibiayai cukong.

Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi
kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan korupsi uang.

“Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang
bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan
hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu
tumpang-tindih,” kata Mahfud. Dari sisi UU, pemberian lisensi itu
legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang
kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah.

Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari
yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif
membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa
kampanye ketika Pilkada sebelumnya.

Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka
pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih.
Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh
berbeda.

Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah
dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal.

Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian
dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di
tempat-tempat keramat!

Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta
imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan.
Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka
mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis.

Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak
potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level
korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya.

Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat.

Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan
iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar
aparat negara, sampai money politics.

Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka
menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat!

Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk
mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial.

Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati
kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut
memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong
anggaran negara.

Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah?

Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25
miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah
penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar.

“Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen
Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar
(03/12/2019).

(Pilpres jauh lebih besar)

Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai
triliunan, berapa besar dana untuk capres?

Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun
yang bisa membiayai dirinya sendiri.

Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan,
setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat
konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya.

Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara
(TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya
saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp
405 miliar.

Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan
masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics,
dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding
pilkada.

Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan tim sukses
ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi semua
itu hanya boong-boongan. Lihat Juga  Jika DPRD Sumsel Tak Juga Ketok
Palu RAPBD 2020, Gubernur Cari Jalur Lain

Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat keamanan dll,
pasti tidak pernah dilaporkan.

Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK!!!

Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan jumlah
penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar.

Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari Cawapres
Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari
angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan
Rp71,4 miliar atau 34 persen dari total keseluruhan.

Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019 melaporkan
penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar.

Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha, sumbangan dari
parpol Dll. Tidak disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf.

Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih besar.
Puluhan triliun.

Disitulah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium dari
kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian
mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara.

Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak hanya di
kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif.

Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui. Dengan
bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka
bisa menguasai parlemen dan pemerintahan.

Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD, berapa persen
kandidat capres yang dibiayai cukong?

Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif, dengan asumsi hanya
ada dua pasang capres seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50
persen!

Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor politik ada
adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.”

Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah membagi
telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang
berbeda-beda. Tinggal baku atur.

Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa.

Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG!

MERDEKAAAAA!! end
  • [GELORA45] Demokrasi Cukong 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]
    • [GELORA45] Demokrasi Cu... 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45]

Kirim email ke