Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
Melihat lebih luas peristiwa G30S 1965 dan huru-hara 1965-1966.
Menghindari sindrom miopik dan parokial.
OlehBonnie Triyana <https://historia.id/@bonnie.t>|02 Okt 2017
https://historia.id/politik/articles/kerugian-nasional-akibat-genosida-politik-1965-1966-P1B7K
header img
cameraPresiden bersama para seniman.
ADA dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah ihwal peristiwa
1965. Kelompok penafsir pertama berpendapat peristiwa penculikan dan
pembunuhan para jenderal Angkatan Darat 1 Oktober 1965 adalah puncak
kekejaman PKI dalam sejarah politik Indonesia pascakemerdekaan. Dalam
arus penafsiran itu, kekejaman tersebut melengkapi tabiat berontak sejak
1926, 1948 sampai 1965.
Buku/Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia/(1978) karya
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dan buku putih terbitan
Sekretariat Negara Republik Indonesia,/Gerakan 30 September: Latar
Belakang, Aksi dan Penumpasannya/(1994) mewakili narasi kelompok
penafsir pertama. Narasi tersebut diberlakukan secara resmi sebagai
satu-satunya kebenaran selama Soeharto berkuasa, mengesampingkan adanya
cara pandang dan fakta lain terhadap peristiwa yang sama.
close
Penafsiran lain atas peristiwa 1 Oktober 1965 baru marak sebagai wacana
publik setelah kekuasaan Soeharto berakhir. Berembusnya angin perubahan
membawa pula peluang keterbukaan bagi banyak pihak, baik para saksi
maupun penulis sejarah, untuk mengembangkan narasi lain, berbeda dari
narasi resmi Orde Baru.
poster
480p low geselecteerd als afspeelkwaliteit720p geselecteerd als
afspeelkwaliteit
*BACA JUGA:*Selain PKI, inilah versi lain pelaku peristiwa G30S 1965
<http://historia.id/modern/articles/lima-versi-pelaku-peristiwa-g30s-DWV0N>
Narasi tersebut pada umumnya tak hanya merekonstruksi peristiwa
pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965, namun juga mengungkap apa
yang terjadi setelahnya. Kisah itulah yang umumnya tak terdapat di dalam
narasi versi penafsir pertama, yang hanya membahas bagaimana jenderal
diculik dan dibunuh serta upaya PKI melakukan kudeta terhadap
pemerintahan Sukarno.
Karya John Roosa,/Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto/menyodorkan fakta dan penafsiran baru yang
memperlihatkan adanya kemungkinan lain dalam tragedi berdarah itu:
sebuah operasi militer yang gagal dan penggunaan peristiwa pembunuhan
para perwira Angkatan Darat sebagai alasan menghabisi eksistensi PKI di
atas panggung politik nasional.
Sebelum karya John Roosa terbit, beberapa kajian lain yang mengungkapkan
apa yang terjadi pascapembunuhan para jenderal pun telah beredar. Saskia
Wieringa mengungkap penghancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani),
Hermawan Sulistyo membahas pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI
di Jawa Timur, Vannessa Hearman meneliti operasi penumpasan di Blitar
dan Jess Melvin mengungkap peran militer dalam pembantaian massal PKI di
Aceh.
*BACA JUGA: */Surat dari Praha/, sebuah omansa dari masa prahara 1965
<http://historia.id/film/articles/romansa-dari-masa-prahara-DOaR7>
Bukan hanya studi akademis, seniman pun turut merekonstruksi narasi
peristiwa 1965 berdasarkan cara pandangnya sendiri. Antara lain
film/Surat dari Praha/(2016) karya Angga Dwimas Sasongko, mengisahkan
kehidupan seorang mahasiswa Indonesia di Praha yang terhalang pulang
akibat peristiwa 1965. Film itu mewakili gambaran nasib ribuan mahasiswa
yang dikirim semasa pemerintahan Sukarno untuk tugas belajar, lantas
terkatung-katung tanpa kewarganegaraan di negeri orang.
*Titik Balik?*
Setelah Soeharto jatuh, usaha pengungkapan sejarah juga berbareng dengan
upaya mendatangkan keadilan buat para penyintas. Lembaga-lembaga
advokasi, baik atas inisiatif masyarakat maupun negara (Komnas HAM),
dengan caranya masing-masing memperjuangkan hak-hak korban dan penyintas
yang selama masa Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif.
Namun upaya mengungkap sejarah dan advokasi terhadap penyintas
seringkali dituduh sebagai kerja politik mendirikan kembali PKI.
Kecurigaan tersebut muncul karena ingatan khalayak hanya mengacu pada
versi monotafsir Orde Baru tanpa membuka diri terhadap versi lain.
Bahkan akhir-akhir ini, penggunaan isu komunisme yang dilakukan dalam
rangka hajat politik Pilkada dan Pilpres, turut melanggengkan stigma
negatif komunisme.
*BACA JUGA: *Survei SMRC membuktikan mayoritas orang tidak percaya PKI
bangkit
<http://historia.id/modern/articles/survei-smrc-membuktikan-mayoritas-orang-tidak-percaya-pki-bangkit-6l7No>
Beredar luasnya isu kebangkitan jutaan anggota PKI, keberadaan kantor
PKI sampai dengan gosip kemunculan ketua PKI Baru bernama Wahyu Setiaji
membuktikan ketidakmampuan sebagian pihak dalam melihat peristiwa 1965
secara lebih luas dan menyeluruh dari sekadar kontestasi politik komunis
versus anti-komunis di masa lalu. Padahal kenyataan sejarah jauh lebih
rumit dari sekadar pemahaman yang serba hitam-putih.
Sindrom miopik dan parokial juga mewabah ke ruang-ruang diskusi
peristiwa 1965-1966. Silang pendapat terjadi pada seputar kuantitas
korban tewas serta skala penderitaan yang ditimbulkan akibat genosida
1965-1966. Sementara itu banyak pula kalangan yang mewajarkan tindakan
kekerasan kepada anggota dan simpatisan PKI sebagai balasan setimpal
atas apa yang mereka lakukan kepada para korban peristiwa G30S 1965.
Negara yang diharapkan bertanggungjawab atas kegagalan melindungi
warganya dalam peristiwa genosida 1965-1966 pun terlihat kikuk
menghadapi tuduhan telah berpihak pada PKI. Alih-alih menjadi awal
langkah mendatangkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa
1965, simposium yang diselenggarakan pemerintah pada 18-19 April 2016
lalu malah menuai reaksi keras dan kini tak jelas lagi kelanjutannya.
*Kerugian Nasional*
Dari berbagai temuan tentang peristiwa 1 Oktober 1965 dan genosida
1965-1966, ternyata skala peristiwa serta dampaknya jauh lebih besar
dari yang pernah diduga: tak hanya menghilangkan nyawa enam perwira
tinggi, satu perwira pertama, dua perwira menengah (di Yogyakarta)
Angkatan Darat dan putri kecil seorang jenderal, tapi juga menyebabkan
tewasnya ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, puluhan ribu orang
ditahan tanpa pengadilan, banyak keluarga tercerai berai kehilangan
kesempatan membesarkan anak-anak mereka secara layak dan banyak pemuda
kehilangan kesempatan memainkan peranan penting di masa depannya.
Sejarawan UGM Abdul Wahid yang kini tengah meneliti dampak peristiwa
G30S 1965 di berbagai universitas di Indonesia menemukan fakta adanya
genosida intelektual. Dari 10 kampus yang ditelitinya, diperoleh data
sekitar 299 dosen dan 3464 mahasiswa ditahan, hilang atau bahkan tewas
sehingga berhenti dari kegiatan belajar-mengajarnya. Intelektual kiri
UGM menempati urutan pertama yang paling banyak disingkirkan, meliputi
115 dosen dan 3.006 mahasiswa.
*BACA JUGA: *Pembersihan mahasiswa IPB dan UI yang dituduh terlibat
gerakan komunis
<http://historia.id/modern/articles/pembersihan-mahasiswa-ipb-dan-ui-voRbj>
Selain dosen dan mahasiswa, dalam disertasinya tentang standarisasi
pendidikan guru sekolah di Indonesia 1893-1969, sejarawan UGM Agus
Suwignyo menemukan pula fakta hilangnya guru-guru sekolah yang
berafiliasi kepada PKI. Akibatnya banyak murid sekolah kehilangan
guru-gurunya yang kritis serta memiliki kesadaran politik. Sebagian
besar mereka tergabung dalam organisasi PGRI Non Vak Central yang
dinyatakan terlarang berdasarkan keputusan No. 85/KOGAM/1966 yang
ditandatangani Soeharto pada 31 Mei 1966.
Kesempatan untuk mengabdikan ilmu pengetahuan di tanah air juga
terhambat bagi para pemuda yang sebelum 1 Oktober 1965 berangkat tugas
belajar keluar negeri. Mereka yang mendapatkan beasiswa ikatan dinas
dari Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) atau dari
jawatan kerjanya masing-masing, terpaksa mengurungkan niatnya pulang
untuk menghindari penangkapan. Banyak dari eks mahasiswa ikatan dinas
(Mahid) itu yang akhirnya bekerja di luar negeri, mengamalkan ilmu dan
keterampilannya untuk negeri orang.
Tak hanya di bidang pendidikan, genosida 1965-1966 pun berdampak negatif
bagi gerakan buruh. Sebagian besar buruh yang berafiliasi dengan PKI
dipenjara, hilang atau bahkan tewas atas tuduhan terlibat peristiwa G30S
1965. Berdasarkan keputusan No. 85/KOGAM/1966 ada 62 organisasi serikat
buruh di bawah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang
dibubarkan dan dinyatakan terlarang.
Kegiatan kesenian dan kesusastraan yang dinamis penuh kontestasi ide
sebagaimana yang pernah terjadi pada era 1960-an, harus berakhir tragis
karena sebagian besar seniman dan sastrawan kiri ditahan bahkan
terbunuh. Pertarungan ide berakhir dengan pemenjaraan. Karya-karya
sastra buah tangan sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer harus
dibaca secara sembunyi-sembunyi di bawah ancaman subversif selama
Soeharto berkuasa.
*BACA JUGA: *Alasan Jenderal Soemitro mengizinkan Pramoedya Ananta Toer
kembali menulis <http://historia.id/modern/articles/pram-dan-soemitro-DOwre>
Penumpasan kaum intelektual, pegawai, dan buruh yang berafiliasi dengan
PKI dan pemerintahan Sukarno ternyata berdampak pula pada berhentinya
beberapa proyek-proyek pemerintah. Antara lain Komando Pelaksana Proyek
Industri Penerbangan (Kopelapip), embrio industri kedirgantaraan
nasional, berhenti beroperasi karena turbulensi politik 1965. Pemimpin
Kopelapip Kurwet Kartaadiredja ditangkap dan rencana mendirikan industri
penerbangan nasional yang kuat dan mandiri di era Sukarno batal.
Proyek roket nasional, wujud nyata pengembangan ilmu pengetahuan dan
keperluan militer pun sempat terhenti akibat huru-hara politik 1965.
Sejak 1961 pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Uni Soviet
mengembangkan teknologi roket dan pada 1962 membentuk Proyek Roket
Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA), melibatkan Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) dengan ITB. Pada 14 Agustus 1964 proyek itu berhasil
mengujicoba peluncuran roket di Pameungpeuk, sekaligus menjadikan
Indonesia negara kedua di Asia-Afrika setelah Jepang yang berhasil
mengembangkan teknologi rudal.
*BACA JUGA: *Indonesia pernah menjadi negara kedua setelah Jepang yang
dapat membuat roket sendiri
<http://historia.id/sains-teknologi/articles/ketika-demam-roket-mewabah-6jo95>
Pemberangusan intelektual kiri, penangkapan massal guru, pembungkaman
gerakan buruh dan berhentinya proyek-proyek pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berdampak besar bagi nasib bangsa Indonesia
hingga dewasa ini. Dalam soal penyingkiran intelektual misalnya, menurut
Abdul Wahid Indonesia telah kehilangan satu generasi intelektual produk
periode 1950-an yang kosmopolitan dan liberal.
Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sementara aktivisme
politik mahasiswa dibatasi dengan ketat. Teori-teori kiri dalam ilmu
sosial, terutama teori Marxis ditinggalkan dan buku-buku literatur yang
membahas teori-teori kiri menghilang dari perpustakaan kampus sebagai
konsekuensi pemberlakuan TAP MPRS 25/1966.
Serupa dengan hilangnya tradisi intelektual kritis di berbagai kampus di
Indonesia, mengacu pada penelitian Agus Suwignyo, penurunan kualitas
kehidupan intelektual pun terjadi di kalangan guru sebagai akibat
standarisasi profesi guru yang apolitis semasa Orde Baru.
“Indonesia setelah kudeta 30 September harus menghadapi kehilangan
sejumlah besar intelektual dan guru sekolahnya... Beberapa dekade
selanjutnya setelah tragedi itu, tak seperti pendahulu mereka yang
menikmati sekolah di era 1960-an, orang-orang Indonesia yang terdidik
tumbuh secara apolitis dalam pengertian secara umum mereka harus
mengambil jarak untuk terlibat aktif dalam proses perubahan sosial,”
tulis Suwignyo dalam disertasinya.
Sekolah dan universitas yang seharusnya menciptakan manusia-manusia
merdeka dan kritis dalam berpikir serta turut aktif di dalam setiap
perubahan sosial kian hari kian berorientasi pada pasar. Lulusan
universitas semata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh industri. Walhasil banyak anak muda memilih jurusan yang
paling diminati pasar tenaga kerja, ketimbang mendalami ilmu pengetahuan
dengan alasan minat dan kecintaan.
*BACA JUGA: *Orang Korea ini selama 30 tahun meneliti karya-karya
Pramoedya Ananta Toer
<http://historia.id/modern/articles/koh-memulangkan-pram-PG2Mv>
Tingkat literasi masyarakat Indonesia merosot tajam. Data 2016,
Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara, setingkat lebih tinggi
dari Bostwana. Kesusastraan bukan menu utama bacaan anak sekolah.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi bacaan bagi siswa
sekolah di Malaysia, Australia, Amerika Serikat dan Belanda justru
dilarang di negeri sendiri (Yudiono KS,/Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia/: 2007). Bahkan karya-karya Hamka, sastrawan rival kaum kiri,
lebih banyak dibaca anak sekolah di Malaysia dan Singapura ketimbang di
Indonesia.
Gerakan buruh yang sebelum 30 September 1965 menjadi generator perubahan
sosial masyarakat dan mengubah relasi buruh-majikan menjadi lebih
berkeadilan, harus berubah di bawah era Soeharto. Menurut riset Razif di
kalangan buruh pelabuhan di Tanjung Priok, organisasi buruh semasa Orde
Baru dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang kepanjangan tangan
pemerintah. Daya tawar gerakan buruh tumpul di hadapan pemilik modal dan
penguasa.
*BACA JUGA: *Peristiwa Tanjung Priok: Darah umat Islam mengalir di Utara
Jakarta
<http://historia.id/modern/articles/peristiwa-tanjung-priok-darah-pun-mengalir-di-utara-jakarta-D8JmQ>
Dari berbagai gambaran itu, peristiwa 1 Oktober 1965 dan genosida
1965-1966 memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan bangsa
Indonesia secara umum, melampaui sekat-sekat kelompok politik yang
bertikai dalam periode berdarah itu. Tradisi berpikir logis rasional
sebagai syarat supremasi sains produk dari pemikiran kritis, tergantikan
oleh nilai-nilai sempit yang tak berorientasi pada kemajuan bangsa serta
berwawasan keduniawian.
Rangkaian peristiwa berdarah pada periode 1965-1966 jauh lebih layak
disebut sebagai kerugian nasional, ketimbang kerugian satu-dua kelompok.
Kerugian itu belum lagi memasuki aspek finansial yang telah dikeluarkan
oleh negara untuk membiayai berbagai proyek pendidikan dan pengembangan
teknologi sebelum 30 September 1965.
Melihat fakta-fakta yang ada, seyogianya kini tak perlu lagi mencemaskan
usaha pengungkapan sejarah periode kelam itu sebagai indikasi
kebangkitan komunisme. Karena sejatinya seluruh elemen bangsa ini, baik
yang ada di kiri maupun kanan jalan, juga mengalami kerugian besar
akibat genosida politik 1965-1966 yang telah menyebabkan jeda panjang
bagi setiap usaha untuk membawa bangsa Indonesia lebih maju dari masa
sebelumnya.