-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>




https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1956-politik-mikrofon-tanpa-substansi



 Kamis 08 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Politik Mikrofon tanpa Substansi 

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial

   Politik Mikrofon tanpa Substansi MI/Ebet Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi 
Media Group. RAPAT Paripurna DPR yang menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan 
menjadi undang-undang lebih banyak buihnya. Aksesori politik yang 
dibumbu-bumbui drama mikrofon malah menutupi substansi. Substansi rapat 
paripurna yang digelar Senin (5/10) ialah dengan diundangkannya Cipta Kerja, 
terpenuhi sudah salah satu janji pelantikan Presiden Joko Widodo. Sebagai janji 
pelantikan tentu saja sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Ketika dilantik pada 
20 Oktober 2019, Jokowi mengatakan, “Segala bentuk kendala regulasi harus kita 
sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak 
DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan 
Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.” Menurut Jokowi, setiap UU tersebut menjadi 
omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan 
UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi 
sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung 
direvisi. Elok nian bila saat mengesahkan RUU Cipta Kerja, DPR bertanya kepada 
Presiden Jokowi kapan RUU Pemberdayaan UMKM diajukan ke DPR. Dengan demikian, 
dalam setiap kesempatan, DPR memastikan Presiden memenuhi janji pelantikannya. 
Pengesahan RUU Cipta Kerja yang dibahas selama enam bulan itu sebuah 
keniscayaan sebab pemerintahan Presiden Joko Widodo didukung 77,18% kekuatan di 
parlemen. Pada titik ini bolehlah mengacungkan jempol karena tidak satu pun 
partai pendukung pemerintah yang membelot di Senayan. Semua satu suara. 
Kebiasaan bersatu di kabinet tapi oposisi di parlemen tidak tampak kali ini. 
Karena itu, patut diapresiasi Presiden yang mampu menyelaraskan derap langkah 
partai pendukungnya. Sangatlah disayangkan, parlemen yang dikuasai pendukung 
Jokowi itu tidak mampu menyajikan substansi RUU Cipta Kerja ke ruang publik. 
Malah ruang publik dikuasai informasi menyesatkan sehingga memicu demonstrasi 
di mana-mana. Ruang rapat paripurna dewan sebagai panggung politik malah 
dimanfaatkan secara efektif oleh oposisi. Fraksi oposisi yang melakukan 
walk-out dipersepsikan publik sebagai minoritas yang tertindas karena membela 
pekerja. Kehadiran oposisi yang cerdas memang dibutuhkan untuk mengimbangi 
pemerintahan yang sangat kuat saat ini. Secara teoretis, oposisi yang cerdas 
dibutuhkan sebagai pengontrol agar pemerintah tidak terjerumus menjadi 
diktator. Ia diperlukan sebagai penyeimbang supaya pemerintah tak gemar 
mengumbar janji, apalagi menyimpang. Oposisi bisa berperan sebagai advocatus 
diaboli atau iblis yang menyelamatkan dengan gangguan terus-menerus. Sayangnya, 
gangguan itu ditanggapi dengan lelucon mikrofon, bukan perdebatan substansi RUU 
Cipta Kerja. Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Ia 
sempat beradu pendapat dengan anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman 
yang merasa tidak diberi hak berbicara. Perdebatan antara dua kawan lama itu, 
keduanya pernah sama-sama menjadi pemimpin Komisi III DPR, berujung walk-out 
Partai Demokrat. Tegas dikatakan bahwa walk-out adalah sikap politik. Akan 
tetapi, walk-out yang terjadi itu hanya masalah sepele karena menyangkut 
diizinkan atau tidaknya interupsi sebelum pemerintah memberi keterangan. 
Perhatian publik malah tertuju kepada Ketua DPR Puan Maharani yang duduk 
mendampingi Azis. Aksi Puan yang diduga mematikan mikrofon saat politikus 
Partai Demokrat, Irwan atau Irwan Fecho, sedang interupsi tertangkap kamera 
salah satu stasiun televisi dan menjadi viral. Banyak orang yang tidak percaya 
bahwa Puan melakukan tindakan yang dulu ia protes keras. Puan pernah melakukan 
protes keras dengan melakukan walk-out dari Rapat Paripurna DPR karena mikrofon 
dimatikan. Ketika itu, 2 Oktober 2014, DPR menggelar rapat dengan agenda 
pemilihan pimpinan DPR. Pada saat itu DPR dikuasai koalisi pendukung Prabowo. 
Sepanjang rapat berlangsung, mikrofon selalu mati pada saat pendukung Jokowi 
menginterupsi. Selaku Ketua Fraksi PDIP, Puan protes keras. “Misalnya saja, 
semua mic kami di ruang paripurna tak bisa nyala. Saya tak tahu apa masalahnya. 
Apa ada intervensi?” ujarnya. Puan tentu saja sudah merasakan sakit hati akibat 
politisasi mikrofon. Sekjen DPR Indra Iskandar pun buru-buru meluruskan insiden 
mikrofon mati. Kata dia, pimpinan sidang hanya menjalankan tugas untuk menjaga 
ketertiban peserta rapat saat menyampaikan pendapat. Politisasi mikrofon 
memperlihatkan kualitas demokrasi yang masih rendah. Eloknya, di panggung 
politik, anggota DPR lantang bicara adu argumentasi dan rakyat menjadi wasitnya.

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1956-politik-mikrofon-tanpa-substansi






Kirim email ke