-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1972-majelis-warga



Selasa 27 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Majelis Warga 

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Majelis Warga MI/Ebet Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group. DIKTATOR 
konstitusional adalah gejala pembuatan undang-undang yang tidak melibatkan 
publik sama sekali. Begitu setidaknya definisi diktator konstitusional menurut 
pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie. Jimly yang kini juga anggota Dewan 
Perwakilan Daerah DKI Jakarta ini menyebut lima undang-undang disahkan tanpa 
melibatkan publik sama sekali. Kelimanya ialah Undang-Undang KPK, Undang-Undang 
Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Penanganan Covid-19, Undang-Undang 
Mahkamah Konstitusi, dan omnibus law Cipta Kerja. Sekretaris Jenderal 
Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mencatat sembilan pertemuan membahas 
Undang-Undang Cipta Kerja dengan mengundang serikat buruh. Itu artinya tidak 
tepat bila dikatakan publik sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan 
Undang-Undang Cipta Kerja. Lalu, keterlibatan macam apa lagi yang Jimly 
kehendaki? Semoga Jimly tidak membayangkan pelibatan publik dalam pengambilan 
keputusan itu harus secara langsung, serupa demokrasi kuno di Yunani dan 
Romawi. Dalam demokrasi langsung, rakyat berpartisipasi secara langsung dalam 
setiap pengambilan keputusan. Di masa itu negara berbentuk negara kota yang 
penduduknya sedikit dan sederhana. Demokrasi langsung tidak bisa diterapkan di 
negara-bangsa berjumlah besar dan kompleks. Kita kemudian menciptakan demokrasi 
perwakilan. Rakyat memilih wakil mereka untuk duduk di lembaga perwakilan atau 
parlemen. Rakyat mewakilkan, menitipkan, atau memercayakan keterlibatan mereka 
dalam pengambilan keputusan kepada wakil-wakil yang telah mereka pilih itu. Ini 
yang disebut demokrasi modern. Demokrasi modern ialah demokrasi perwakilan. 
Dalam konteks demokrasi modern publik kiranya telah terlibat dalam pengambilan 
keputusan meski secara tidak langsung. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, 
misalnya ketidakpercayaan DPR sungguh-sungguh membawakan aspirasi rakyat, 
publik menuntut terlibat langsung. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja buruh 
kepingin terlibat langsung. Pemerintah, seperti kata Sekjen Kemenakertrans, 
sudah melibatkan serikat pekerja membahas RUU Cipta Kerja. Masih merasa kurang 
terlibat juga, para buruh melibatkan diri dalam unjuk rasa menolak 
Undang-Undang Cipta Kerja. Bukankah unjuk rasa juga bentuk keterlibatan dalam 
memengaruhi pengambilan keputusan? Bila keterlibatan itu gagal memengaruhi 
keputusan, itu perkara lain. Konstitusi juga membuka ruang bagi publik untuk 
terlibat memengaruhi pengambilan keputusan pengesahan undang-undang melalui uji 
materi ke Mahkamah Konstitusi. Bila uji materi diterima, alhamdulillah, puji 
Tuhan. Bila uji materi ditolak, konstitusi mengharuskan semua pihak menerima 
karena keputusan MK bersifat final dan mengikat. Bila sudah dilibatkan dalam 
pengambilan keputusan melalui perwakilan di DPR, serikat pekerja, unjuk rasa, 
uji materi ke MK, tetapi merasa tidak dilibatkan, barangkali karena aspirasi 
atau keinginan tak tercapai. Kita sering kali merasa tidak dilibatkan, meski 
sesungguhnya sudah dilibatkan, karena aspirasi kita tak kesampaian. Supaya 
merasa benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan, kita barangkali 
perlu membentuk majelis warga (citizen assembly). Majelis warga mengakomodasi 
ketidakpercayaan rakyat kepada wakil mereka di parlemen. Pew Research Centre 
menemukan 64% rakyat di 34 negara tidak percaya pejabat yang mereka pilih 
peduli dengan keinginan rakyat kebanyakan. Majelis warga ialah bentuk demokrasi 
deliberatif. Majelis warga terdiri atas, katakanlah, 100 orang. Mereka dipilih 
melalui mekanisme pemilihan tertentu untuk mewakili gender, usia, dan status 
sosial ekonomi. Mereka bertemu intensif membicarakan topik-topik penting, 
misalnya reformasi ketenagakerjaan danperubahan iklim. Mereka boleh mengundang 
berbagai kalangan untuk mendapat masukan. Majelis warga kemudian menghasilkan 
rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah. Prancis menyeleksi para anggota 
Majelis Warga dengan menelepon secara acak 225 ribu warga. Mereka mewakili 
gender, usia, pendapatan, dan tempat tinggal. Usia minimal untuk dipilih 
menjadi anggota Majelis Warga 16 tahun supaya pelajar SMA bisa berpartisipasi. 
Mereka dibayar 86 euro (sekitar Rp1,4 juta) per hari. Berdasarkan survei 70% 
warga Prancis ingin terlibat dalam Majelis Warga. Tahun lalu, Presiden Prancis 
Emmanuel Macron menyelenggarakan konferensi warga tentang iklim. Konferensi 
bertugas menghasilkan rekomendasi pengurangan emisi gas paling tidak 40% pada 
2030. Majelis Warga yang beranggotakan 150 partisipan itu merekomendasi dua 
perubahan konstitusi untuk menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati 
serta hukuman buat perusak ekologi. Majelis Warga Irlandia menghasilkan dua 
referendum tentang perkawinan sesama jenis dan aborsi. Kedua topik itu membuat 
politisi terbelah di negara yang mendeskripsikan diri sebagai Katolik itu. Pada 
2015, 66% warga menyetujui perkawinan sesama jenis; pada 2018, 62% warga 
mendukung aborsi dalam 12 pekan pertama kehamilan. Selain Prancis dan Irlandia, 
Inggris, Kanada, dan Cile memiliki Majelis Warga. Indonesia boleh juga 
mencobanya supaya tidak ada tudingan lagi publik tidak dilibatkan dalam 
pengambilan keputusan, agar tidak ada lagi tuduhan pemerintah diktator 
konstitusional.  

Sumber: https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1972-majelis-warga




Kirim email ke