ISMAIL GIU
Halo Ma'e, tulisan anda yang terinspirasi oleh pemikiran Edward Said,
sangat memukau bagi seorang yang "hanya S1" Sekiranya untuk selanjutnya
anda tetap taat azas dalam alur pemikiran begini, dengan kata lain tidak
akan terkooptasi oleh kenikmatan hidup a la kapitalisme, maka siap2lah
untuk ditolak tulisan anda oleh koran2 bermata ijo duitan, bahkan di
Gorontalomu yang tercinta itu.
Dimata saya sungguh luar biasa tulisan anda, buat seorang bocah S1 hi hi
hi, jauh melampaui pemikiran banyak intelektual berklasifikasi S3. Tanya
kenapa?
Banyak tulisan2, bahkan oleh penyandang gelar "pakar" sekelas di LIPI
dan staf pengajar di universitas2, tidak tefokus pada apa yang hendak
dikatakan..hanya huhelilinga2 pake kata2 asing yang serrem2, barangkali
supaya tekesan sukar dan ilmiah.
Saya jadi teringat akan salah satu asisten pada professor tua saya, yang
kalau kita pergi berasistensi kepadanya memulai bicara dengan kata2 :
nak, merancang itu sukkarr sekali, tidak gampang nak..dan ini
diulang-ulanginya sampai selesai sesi . Barangkali karena dia "cuma"
insinyur praktek, maka makin lucu/comical terasa suasana yang
dipersukar itu.
Semua itu terpulang pada attitude/sikap seorang 'manusia sarjana', suatu
istilah yang mula2 diucapkan oleh bapak bangsa Soekarno ketika
berpidato pada peresmian pergantian nama Fakultas Teknik Universitas
Indonesia menjadi Institut Teknologi Bandung.
Gelar itu bukan untuk mencapai status tetapi suatu legitimasi yang
dipinjamkan kepada seorang individu untuk membuktikan kemampuannya.
Dapatkah ia mengutarakan pikirannya, lisan maupun tulisan, dengan jelas
dan baik dengan menggunakan bahasa yang benar sehingga khalayak dapat
menangkapnya dengan mudah ?
Menurut pendapat saya, te Ma'e sudah membuktikan kejelasan pikirannya
diberbagai tulisannya di milis ini
Oke bung , sekali lagi selamat dengan "penampakan" anda dibalantika
tulis-menulis. Saya menunggu tulisan2 anda yang berikut.
Wass.OH
-----Original Message-----
From: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Ismail Giu
Sent: Saturday, August 25, 2007 6:08 PM
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [gorontalomaju2020] Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
Ketika kaum intelektual dibungkam oleh penguasa
Oleh : Giu
"Tunduk pada penindasan,
adalah penghianatan terbesar kaum intelektual"
(Edward W. Said).
Secara tidak kita sadari, kolonialisasi pendidikan saat ini sedang
menggoroki bangsa, kelompok maupun individu dari masyarakat kita.
Masyarakat yang bergantung dari bangsa, kelompok dan individu lain. Ilmu
pengetahuan dalam konteks ini, dilihat sebagai seperangkat keyakinan dan
nilai-nilai tertentu yang digunakan untuk memberi legitimasi-legitimasi
tertentu, terutama berkaitan dengan munculnya konsep "kekuasaan" yang
tidak bisa dihidari dari ilmu pengetahuan. Edward W. Said, adalah salah
seorang yang seringkali mengungkapkan praktik-praktik tersembunyi dari
"imprealisme" yang menggunakan cara kerja pengetahuan sebagai sarana
"kolonialisasi" pikiran dan ide-ide bangsa terjajah.
Secara umum kita bisa mengkategoriasi "modus operandi" pengaruh penguasa
terhadap ilmu pengetahuan ke dalam dua cara, hal ini sekaligus memiliki
korelasi yang erat dengan kebebasan akademik, pertama secara melembaga,
yakni tidak adanya kebebesan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri
oleh kekuasaan luar; kedua secara perseorangan, yakni menyangkut
kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar, dan
melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan
kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri
(Achmad Icksan dalam Mahfud 1997 : 72)
Dalam konteks kelembagaan, perguruan tinggi merupakan contoh bagaimana
ilmu pengetahuan telah dirasuki hegemoni penguasa, baik kekuasaan
politik mapun kekuasaan ekenomi. Sejarah perguruan tinggi nasional kita,
sejak era Orde Baru-dan bahkan hingga kini-tidak terlepas dari kondisi
bertautnya relasi pendidikan dengan relasi kekuasaan. perguruan tinggi
disulap menjadi sebuah sarana untuk mencari, merebut atau mempertahankan
kekuasaan. Tidak hanya itu, berbekal fatwa sistematis dan ilmiah dari
para intelektual, berbagai kebijakan penguasa (baca : pemerintah)-meski
sulit diterima oleh masyarakat pada tataran aplikasi-dibenarkan oleh
mereka yang memiliki gelar akademis, baik Master ataupun Doktor.
Pengetahuan sebagai buah dari pohon bernama perguruan tinggi, tidak lagi
berada dalam mainstrem yang alamiah dan dinamis. Pohon pengetahuan
ditanam, diberi bibit serta dipaksa berbuah lebat untuk melayani
monyet-monyet bunting. Obyektivitas yang merupakan nilai dasar dari
sebuah sistem pendidikan tinggi, kini diambil alih oleh nilai-nilai
subyektivitas sebagai manifestasi keberpihakan pada sistem kekuasaan.
Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Transpolitika menegaskannya sebagai
berikut: "Pendidikan tinggi merupakan sebuah wacana, yang di dalamnya
sikap ilmiah, obyektivitas, sikap kritis, kebebasan berpikir, dan
pikiran bebas menjadi pondasi bagi perkembangannya. Akan tetapi ketika
pendidikan tinggi menjadi sebuah alat kekuasaan, ia menjadi wacana
penciptaan secara sistematis kepatuhan total terhadap kekuasaan itu
sendiri. Pendidikan tinggi menjadi sebuah alat kontrol yang sistematis
terhadap pikiran dan jiwa (mind). Pikiran setiap orang -ketimbang
dibiarkan berkembang secara bebas, produktif, dan dinamis-justru
dipenjara di dalam sebuah perangkap pikiran, yang membatasi ruang
geraknya, yang menghambat kebebasannya, yang mematikan daya
kreatifitasnya."
Di massa Orde Baru, hegemoni kekuasaan yang merasuk ke perguruan tinggi
berwujud kedalam kurikupelatihan P4, prajabatan, litsus, atau dalam
istilah lain seperti wawasan nusantara, Widya Mwat Yasa, pedoman
penghayatan dll, yang dengan kesemuanya itu telah membentuk sikap
kepatuhan, loyalitas, pembelaan buta, dan ketakutan. Selain itu, para
cendekiawan kampus diawasi dalam sebuah mekanisme dan ruang dari sebuah
relasi kekuasaan. Merasa diawasi inilah yang membuat cendekiawan kampus
harus bergerilya untuk bisa melaksanakan misinya sebagai agen perubahan.
Di Era Reformasi kekinian, wacana pembangunan yang berbasis pada
mekanisme pasar yang semakin menjadi tren. Kebutuhan akan hidup yang
begitu besar mendorong arus komersialiasi pendidikan tak terbendung
lagi. Jika ingin mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, bersiaplah
dengan segepok rupiah, puluhan bahkan ratusan juta.
Bangku akademik tak ubahnya seperti pasar. Semua "penjual universitas"
mengelar dagangannya. Di satu sisi universitas "kualitas dua" sibuk
mengobral jualan, di sisi yang lain, universitas kelas wahid asik pasang
tarif. Di sini hukum ekonomi berlaku. Semakin banyak permintaan dan
persedian terbatas, harga akan semakin mahal. Akibatnya pendidikan
menjadi pincang. Universitas dan fakultas kelas "atas", didominiasi oleh
orang berkatong tebal, atau setidaknya berotak encer. Hak-hak orang
miskin untuk mengecam pendidikan yang sama, terabaikan atau setidaknya
berada di level dua.
Ketika pendidikan tinggi menjadi sebuah alat ekonomi atau komoditi
total, maka ia akan terperangkap di dalam mekanisme komoditi itu
sendiri. Theodor Adorno & Max Horkheimer di dalam buku mereka Dialectic
of Enlightenment, mengatakan bahwa ketika segala sesuatu (termasuk
pendidikan tinggi) terperangkap ke dalam industri komersial, maka ia
akan terpenjara pula di dalam apa yang disebutnya industri kebudayaan.
Adorno & Horkheimer menggunakan istilah ini untuk menjelaskan fenomena
fasisme pikiran, yaitu pengaturan masyarakat dan pikirannya secara
sentral dari atas serta penyeragaman pikiran mereka lewat berbagai media
massa dan komoditi.
Meskipun Adorno & Horkheimer melihat fenomena pengaturan (pikiran,
tindak tanduk, selera, gaya hidup) masyarakat secara sentralisitik dan
totaliter ini di dalam masyarakat konsumer, akan tetapi pola-pola yang
sama juga berlaku di dalam dunia pendidikan, sebagai sebuah alat
ideologi negara maupun sebagai alat ekonomi. Dalam Hal ini, pemaksaan
pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusaan yang hanya siap bekerja di
industri (link and match), merupakan sebuah bentuk dari kekerasan
budaya. Sistem pendidikan memaksa orang untuk menjadi pekerja, menjadi
sekrup di dalam mesin industrialisasi. Struktur pendidikan semacam ini
hanya akan menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, dan
kewirausahaan-mentalisas yang justru sangat penting membangun
manusia-manusia pembangunan di dalam sebuah masyarakat yang sedang
berkembang seperti Indonesia (Piliang 2006 : 271).
Dalam konteks lain, para intelektual-baik secara kelompok maupun
perorang-pun tidak luput dari hegemoni penguasa. Mekanisme represif
penguasa atas ilmu pengetahuan dalam lingkup kelompok di massa Orde
Baru, tampak manifes dari lembaga-lembaga riset yang juga turut ditopang
oleh propaganda media. Lembaga-lembaga seperti Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) merupakan contoh kecil
lembaga yang cukup eksis untuk melayani kekuasaan (serve the power).
Riset-riset dikembangkan untuk menunjukan dan sekaligus mencari cara
agar kebijakan negera bisa dijalankan dengan baik. Bila berarada dalam
garis oposisi, maka bersiaplah digusur oleh kekuasaan.
Jika politik keuasaan Orde Baru berhasil membangun berbagai isntitusi
cendekiawan yang menjadi lembaga pendukung pemerintah, maka politik
liberal yang dibangun pemerintah saat ini pasca Orde Baru telah membuka
berbagai lembaga sosial dan lembaga riset berkembang pesat dengan
berbagai tema-tema penelitian. Sayang lembaga riset ini tidak terlepas
dari virus uang negera-negara pendonor. Lembaga-lembaga swasta asing
telah memainkan peran penting untuk mendesain ilmu-ilmu sosial
Indonesia. "Pesanan-pesanan" riset Barat dengan kucuran dananya, telah
berhasil mencengkram dan mendesain wajah ilmu pengetahuan negara-negara
Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Desain utama berkait dengan
kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik pendonor.
Contoh kontemporer saat ini ialah bagaimana riset-riset terorisme yang
didanai oleh Amerika, mampu melegitimasi dan meletakkan kategorisasi
pengertian terorisme sesuka hati. Konseptualiasi akan definisi terorisme
kemudian menjadi cenderung bias kepentingan Amerika. Karena Amerika
mempunyai kepentingan besar dengan isu terorisme ini, maka apapun akan
diupayakannya untuk meletakkan konsep ini secara sesuka hati. Wajar
jikalau Amerika merelakan diri untuk menghabiskan biaya yang besar demi
sebuah penemuan pengetahuan-pengetahuan. Hasil riset penelitian demi
perkembangan pengetahuan dibangun, disusun, diolah dan disimpan sebagai
bagian dari kekuasaan.
Potret kekaburan dalam mendefinisikan terorisme telah mendorong berbagai
sikap gegabah dari berbagai pemerintahan di dunia dalam merumuskan
perang melawan terorisme. Narasi besar yang bias Barat akan konsepesi
terorisme ini justru telah melahirkan kekerasan baru bagi masyarakat
dunia saat ini. Tuduhan akan terorisme menjadi mutlak milik
negara-negara orang berjenggot panjang, berkain koko, bercadar, atau
songkok yang melingkar di kepala, sebagai negara sarang terorisme. Irak
adalah misal negara yang teraniaya berkat konsepsi terorisme ala Amerika
ini. Logika politik yang sangat ironis sekaligus susah diterima nalar
sehat. Negara-negara maju yang semestinya bertanggungjawab atas
terjadinya krisis kemiskinan global dan tragedi-tragedi kemanusiaan,
justru sering menobatkan diri sebagai polisi dunia dan penjaga
perdamaian.
Kaum intlektual secara individu-sebagai harapan terakhir ranting kritik
sosial dan agen perubahan-ternyata juga tidak mampu berdiri tegak di
atas tanah idealaisme yang tandus. Berbagai kepentingan kekuasaan-baik
pemerintah maupun modal-mampu menyeret mereka ke tanah basah
lumpur-lumpur materi dan hingar bingar kekuasaan. Organisasi-organsiasi
kampus yang diharapkan menjadi sensor motorik penggerak kritik sosial,
dibuat mati suri. Obrolan lantang aktivitis kampus larut dalam
pembicaraan yang ironis. Di satu sisi mengkritisi, disisi lain menjilat
kaki para penguasa. Awalnya melontarkan gagasan-gagasan kritis dalam
membongkar sistem represif negara, akhirnya juga larut dalam kursi empuk
kekuasaan. Hanya sebagian kecil dari mereka yang memilih untuk keluar
dari mainstrem intelektual yang bersekutu dengan kekuasaan. Ini
merupakan pertanda yang nyata bahwa posisi intelektual memang rentan
untuk mampu dibeli oleh kepentingan penguasa baik negara maupun modal.
Sebuah pilihan yang sulit, yang pasti, disinilah garis antara idealisme
dan penjilat semakin nyata.
*Ditulis untuk selalu menggelisahkan hidup, karena hidup tanpa
kegelisahan adalah benih-benih anasir kemapanan.