Kayaknya sang asisten praktek tersebut perlu diketemukan dengan Gus Pur (Guru Bangsa Republik Mimpi).
----- Original Message ---- From: R. H. Uno <[EMAIL PROTECTED]> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Sent: Saturday, August 25, 2007 11:43:56 PM Subject: RE: [gorontalomaju2020] Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan ISMAIL GIU Halo Ma’e, tulisan anda yang terinspirasi oleh pemikiran Edward Said, sangat memukau bagi seorang yang “hanya S1” Sekiranya untuk selanjutnya anda tetap taat azas dalam alur pemikiran begini, dengan kata lain tidak akan terkooptasi oleh kenikmatan hidup a la kapitalisme, maka siap2lah untuk ditolak tulisan anda oleh koran2 bermata ijo duitan, bahkan di Gorontalomu yang tercinta itu. Dimata saya sungguh luar biasa tulisan anda, buat seorang bocah S1 hi hi hi, jauh melampaui pemikiran banyak intelektual berklasifikasi S3. Tanya kenapa? Banyak tulisan2, bahkan oleh penyandang gelar “pakar” sekelas di LIPI dan staf pengajar di universitas2, tidak tefokus pada apa yang hendak dikatakan….hanya huhelilinga2 pake kata2 asing yang serrem2, barangkali supaya tekesan sukar dan ilmiah. Saya jadi teringat akan salah satu asisten pada professor tua saya, yang kalau kita pergi berasistensi kepadanya memulai bicara dengan kata2 : nak, merancang itu sukkarr sekali, tidak gampang nak….dan ini diulang-ulanginya sampai selesai sesi . Barangkali karena dia “cuma” insinyur praktek, maka makin lucu/comical terasa suasana yang dipersukar itu. Semua itu terpulang pada attitude/sikap seorang ‘manusia sarjana’, suatu istilah yang mula2 diucapkan oleh bapak bangsa Soekarno ketika berpidato pada peresmian pergantian nama Fakultas Teknik Universitas Indonesia menjadi Institut Teknologi Bandung. Gelar itu bukan untuk mencapai status tetapi suatu legitimasi yang dipinjamkan kepada seorang individu untuk membuktikan kemampuannya. Dapatkah ia mengutarakan pikirannya, lisan maupun tulisan, dengan jelas dan baik dengan menggunakan bahasa yang benar sehingga khalayak dapat menangkapnya dengan mudah ? Menurut pendapat saya, te Ma’e sudah membuktikan kejelasan pikirannya diberbagai tulisannya di milis ini Oke bung , sekali lagi selamat dengan “penampakan” anda dibalantika tulis-menulis. Saya menunggu tulisan2 anda yang berikut. Wass.OH -----Original Message----- From: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com [mailto:gorontaloma [EMAIL PROTECTED] ps.com] On Behalf Of Ismail Giu Sent: Saturday, August 25, 2007 6:08 PM To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Subject: [gorontalomaju2020] Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan Ketika kaum intelektual dibungkam oleh penguasa Oleh : Giu "Tunduk pada penindasan, adalah penghianatan terbesar kaum intelektual" (Edward W. Said). Secara tidak kita sadari, kolonialisasi pendidikan saat ini sedang menggoroki bangsa, kelompok maupun individu dari masyarakat kita. Masyarakat yang bergantung dari bangsa, kelompok dan individu lain. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini, dilihat sebagai seperangkat keyakinan dan nilai-nilai tertentu yang digunakan untuk memberi legitimasi-legitima si tertentu, terutama berkaitan dengan munculnya konsep "kekuasaan" yang tidak bisa dihidari dari ilmu pengetahuan. Edward W. Said, adalah salah seorang yang seringkali mengungkapkan praktik-praktik tersembunyi dari "imprealisme" yang menggunakan cara kerja pengetahuan sebagai sarana "kolonialisasi" pikiran dan ide-ide bangsa terjajah. Secara umum kita bisa mengkategoriasi "modus operandi" pengaruh penguasa terhadap ilmu pengetahuan ke dalam dua cara, hal ini sekaligus memiliki korelasi yang erat dengan kebebasan akademik, pertama secara melembaga, yakni tidak adanya kebebesan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar; kedua secara perseorangan, yakni menyangkut kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri (Achmad Icksan dalam Mahfud 1997 : 72) Dalam konteks kelembagaan, perguruan tinggi merupakan contoh bagaimana ilmu pengetahuan telah dirasuki hegemoni penguasa, baik kekuasaan politik mapun kekuasaan ekenomi. Sejarah perguruan tinggi nasional kita, sejak era Orde Baru-dan bahkan hingga kini-tidak terlepas dari kondisi bertautnya relasi pendidikan dengan relasi kekuasaan. perguruan tinggi disulap menjadi sebuah sarana untuk mencari, merebut atau mempertahankan kekuasaan. Tidak hanya itu, berbekal fatwa sistematis dan ilmiah dari para intelektual, berbagai kebijakan penguasa (baca : pemerintah)- meski sulit diterima oleh masyarakat pada tataran aplikasi-dibenarkan oleh mereka yang memiliki gelar akademis, baik Master ataupun Doktor. Pengetahuan sebagai buah dari pohon bernama perguruan tinggi, tidak lagi berada dalam mainstrem yang alamiah dan dinamis. Pohon pengetahuan ditanam, diberi bibit serta dipaksa berbuah lebat untuk melayani monyet-monyet bunting. Obyektivitas yang merupakan nilai dasar dari sebuah sistem pendidikan tinggi, kini diambil alih oleh nilai-nilai subyektivitas sebagai manifestasi keberpihakan pada sistem kekuasaan. Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Transpolitika menegaskannya sebagai berikut: "Pendidikan tinggi merupakan sebuah wacana, yang di dalamnya sikap ilmiah, obyektivitas, sikap kritis, kebebasan berpikir, dan pikiran bebas menjadi pondasi bagi perkembangannya. Akan tetapi ketika pendidikan tinggi menjadi sebuah alat kekuasaan, ia menjadi wacana penciptaan secara sistematis kepatuhan total terhadap kekuasaan itu sendiri. Pendidikan tinggi menjadi sebuah alat kontrol yang sistematis terhadap pikiran dan jiwa (mind). Pikiran setiap orang –ketimbang dibiarkan berkembang secara bebas, produktif, dan dinamis-justru dipenjara di dalam sebuah perangkap pikiran, yang membatasi ruang geraknya, yang menghambat kebebasannya, yang mematikan daya kreatifitasnya. " Di massa Orde Baru, hegemoni kekuasaan yang merasuk ke perguruan tinggi berwujud kedalam kurikupelatihan P4, prajabatan, litsus, atau dalam istilah lain seperti wawasan nusantara, Widya Mwat Yasa, pedoman penghayatan dll, yang dengan kesemuanya itu telah membentuk sikap kepatuhan, loyalitas, pembelaan buta, dan ketakutan. Selain itu, para cendekiawan kampus diawasi dalam sebuah mekanisme dan ruang dari sebuah relasi kekuasaan. Merasa diawasi inilah yang membuat cendekiawan kampus harus bergerilya untuk bisa melaksanakan misinya sebagai agen perubahan. Di Era Reformasi kekinian, wacana pembangunan yang berbasis pada mekanisme pasar yang semakin menjadi tren. Kebutuhan akan hidup yang begitu besar mendorong arus komersialiasi pendidikan tak terbendung lagi. Jika ingin mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, bersiaplah dengan segepok rupiah, puluhan bahkan ratusan juta. Bangku akademik tak ubahnya seperti pasar. Semua "penjual universitas" mengelar dagangannya. Di satu sisi universitas "kualitas dua" sibuk mengobral jualan, di sisi yang lain, universitas kelas wahid asik pasang tarif. Di sini hukum ekonomi berlaku. Semakin banyak permintaan dan persedian terbatas, harga akan semakin mahal. Akibatnya pendidikan menjadi pincang. Universitas dan fakultas kelas "atas", didominiasi oleh orang berkatong tebal, atau setidaknya berotak encer. Hak-hak orang miskin untuk mengecam pendidikan yang sama, terabaikan atau setidaknya berada di level dua. Ketika pendidikan tinggi menjadi sebuah alat ekonomi atau komoditi total, maka ia akan terperangkap di dalam mekanisme komoditi itu sendiri. Theodor Adorno & Max Horkheimer di dalam buku mereka Dialectic of Enlightenment, mengatakan bahwa ketika segala sesuatu (termasuk pendidikan tinggi) terperangkap ke dalam industri komersial, maka ia akan terpenjara pula di dalam apa yang disebutnya industri kebudayaan. Adorno & Horkheimer menggunakan istilah ini untuk menjelaskan fenomena fasisme pikiran, yaitu pengaturan masyarakat dan pikirannya secara sentral dari atas serta penyeragaman pikiran mereka lewat berbagai media massa dan komoditi. Meskipun Adorno & Horkheimer melihat fenomena pengaturan (pikiran, tindak tanduk, selera, gaya hidup) masyarakat secara sentralisitik dan totaliter ini di dalam masyarakat konsumer, akan tetapi pola-pola yang sama juga berlaku di dalam dunia pendidikan, sebagai sebuah alat ideologi negara maupun sebagai alat ekonomi. Dalam Hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusaan yang hanya siap bekerja di industri (link and match), merupakan sebuah bentuk dari kekerasan budaya. Sistem pendidikan memaksa orang untuk menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi. Struktur pendidikan semacam ini hanya akan menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, dan kewirausahaan- mentalisas yang justru sangat penting membangun manusia-manusia pembangunan di dalam sebuah masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia (Piliang 2006 : 271). Dalam konteks lain, para intelektual- baik secara kelompok maupun perorang-pun tidak luput dari hegemoni penguasa. Mekanisme represif penguasa atas ilmu pengetahuan dalam lingkup kelompok di massa Orde Baru, tampak manifes dari lembaga-lembaga riset yang juga turut ditopang oleh propaganda media. Lembaga-lembaga seperti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) merupakan contoh kecil lembaga yang cukup eksis untuk melayani kekuasaan (serve the power). Riset-riset dikembangkan untuk menunjukan dan sekaligus mencari cara agar kebijakan negera bisa dijalankan dengan baik. Bila berarada dalam garis oposisi, maka bersiaplah digusur oleh kekuasaan. Jika politik keuasaan Orde Baru berhasil membangun berbagai isntitusi cendekiawan yang menjadi lembaga pendukung pemerintah, maka politik liberal yang dibangun pemerintah saat ini pasca Orde Baru telah membuka berbagai lembaga sosial dan lembaga riset berkembang pesat dengan berbagai tema-tema penelitian. Sayang lembaga riset ini tidak terlepas dari virus uang negera-negara pendonor. Lembaga-lembaga swasta asing telah memainkan peran penting untuk mendesain ilmu-ilmu sosial Indonesia. "Pesanan-pesanan" riset Barat dengan kucuran dananya, telah berhasil mencengkram dan mendesain wajah ilmu pengetahuan negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Desain utama berkait dengan kepentingan- kepentingan ekonomi dan politik pendonor. Contoh kontemporer saat ini ialah bagaimana riset-riset terorisme yang didanai oleh Amerika, mampu melegitimasi dan meletakkan kategorisasi pengertian terorisme sesuka hati. Konseptualiasi akan definisi terorisme kemudian menjadi cenderung bias kepentingan Amerika. Karena Amerika mempunyai kepentingan besar dengan isu terorisme ini, maka apapun akan diupayakannya untuk meletakkan konsep ini secara sesuka hati. Wajar jikalau Amerika merelakan diri untuk menghabiskan biaya yang besar demi sebuah penemuan pengetahuan- pengetahuan. Hasil riset penelitian demi perkembangan pengetahuan dibangun, disusun, diolah dan disimpan sebagai bagian dari kekuasaan. Potret kekaburan dalam mendefinisikan terorisme telah mendorong berbagai sikap gegabah dari berbagai pemerintahan di dunia dalam merumuskan perang melawan terorisme. Narasi besar yang bias Barat akan konsepesi terorisme ini justru telah melahirkan kekerasan baru bagi masyarakat dunia saat ini. Tuduhan akan terorisme menjadi mutlak milik negara-negara orang berjenggot panjang, berkain koko, bercadar, atau songkok yang melingkar di kepala, sebagai negara sarang terorisme. Irak adalah misal negara yang teraniaya berkat konsepsi terorisme ala Amerika ini. Logika politik yang sangat ironis sekaligus susah diterima nalar sehat. Negara-negara maju yang semestinya bertanggungjawab atas terjadinya krisis kemiskinan global dan tragedi-tragedi kemanusiaan, justru sering menobatkan diri sebagai polisi dunia dan penjaga perdamaian. Kaum intlektual secara individu-sebagai harapan terakhir ranting kritik sosial dan agen perubahan-ternyata juga tidak mampu berdiri tegak di atas tanah idealaisme yang tandus. Berbagai kepentingan kekuasaan-baik pemerintah maupun modal-mampu menyeret mereka ke tanah basah lumpur-lumpur materi dan hingar bingar kekuasaan. Organisasi-organsia si kampus yang diharapkan menjadi sensor motorik penggerak kritik sosial, dibuat mati suri. Obrolan lantang aktivitis kampus larut dalam pembicaraan yang ironis. Di satu sisi mengkritisi, disisi lain menjilat kaki para penguasa. Awalnya melontarkan gagasan-gagasan kritis dalam membongkar sistem represif negara, akhirnya juga larut dalam kursi empuk kekuasaan. Hanya sebagian kecil dari mereka yang memilih untuk keluar dari mainstrem intelektual yang bersekutu dengan kekuasaan. Ini merupakan pertanda yang nyata bahwa posisi intelektual memang rentan untuk mampu dibeli oleh kepentingan penguasa baik negara maupun modal. Sebuah pilihan yang sulit, yang pasti, disinilah garis antara idealisme dan penjilat semakin nyata. *Ditulis untuk selalu menggelisahkan hidup, karena hidup tanpa kegelisahan adalah benih-benih anasir kemapanan. ____________________________________________________________________________________ Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles. Visit the Yahoo! Auto Green Center. http://autos.yahoo.com/green_center/