Dear All Gm2020

Berikut Saya COPAST Berita yang ada di Harian FAJAR
MAkassar, semoga bs membuat para Calon pemimpin
berjuang demi Rakyat.


Kisah di Balik Meninggalnya Korban Kelaparan di
Makassar 

Masak Bubur demi Irit Beras, tak Mau Susahkan Orang
Lain

KEMATIAN yang dialami ibu hamil tujuh bulan Dg Basse,
35, dan anaknya Bahri, 5, memang sangat memilukan. Di
tengah euforia Sulsel sebagai lumbung beras, keluarga
ini malah meregang nyawa karena kelaparan. BERITA
meninggalnya Basse bersama jabang bayi di
kandungannya, serta Bahri anak keduanya, seolah
mengingatkan kita pada satu film tahun 1980-an
bergenre komedi; “Kejamnya Ibu Tiri tak Sekejam
Ibukota”.

Film yang dibintangi pelawak Ateng, serta Iskak
tersebut berkisah soal Ateng pemuda desa yang punya
ibu tiri yang kejam. Karena tergoda dengan cerita
Iskak yang baru pulang dari kota, Ateng pun akhirnya
ikut merantau ke kota Jakarta.

Namun bayangan ia soal kehidupan kota yang bagus,
ternyata berbeda dengan kenyataan yang dialaminya.
Ateng merasa sengsara di ibukota; selain babak belur,
juga kelaparan dan ditipu orang. Ateng merasakan
betapa lebih kejamnya ibukota dibanding ibu tirinya.

Ya, seperti itulah yang dialami Basse dan keluarganya.
Bedanya, Ateng ke ibukota Jakarta karena kekejaman ibu
tirinya. Sedangka Basse dan keluarganya, ingin mengadu
untung dan memperbaiki ekonomi keluarganya yang
carut-marut di ibukota Provinsi Sulsel, Makassar.

Berbekal angan-angan tinggi, beberapa tahun lalu,
Basse bersama suaminya pun nekat ke Makassar dan
meninggalkan kampung halamannya di kampung Be’lang,
Desa Lembang, Kecamatan Pajjukukang, Kabupaten
Bantaeng sekitar 100 km dari Makassar.

Namun ternyata, nasib Basse yang sudah yatim piatu
sejak masih kecil, bersama suami dan anak-anaknya,
berkata lain. Profesi suaminya, Basri, yang menjadi
petani dan pengayuh becah di Bantaeng, tetap sama saat
sudah menginjakkan kaki di Makassar.

Akibatnya, merekapun berpindah kos dari satu rumah ke
rumah lainnya. Suatu hari, di tahun 2004, keluarga ini
bertemu dengan Dg Noro, warga Jl Mappaoddang II No 4.
Saat itu, Noro yang memang memiliki rumah agak besar,
mengajak Basse dan keluarganya tinggal dan menyewa di
rumahnya. Karena profesi suaminya sama dengan Basri,
suami Basse, sama-sama tukang becak, ia pun memberikan
sewa yang rendah.

“Saat itu, dia (Basse,Red) datang bersama suami dan
anak-anaknya. Mereka hanya membawa kantongan plastik
berisi pakaian. Ia bahkan tinggal serumah dengan saya
selama tiga tahun,” kisah Noro yang siang kemarin
mengunjungi Aco di RS Haji.

Noro bercerita panjang lebar soal kehidupan Basse dan
keluarganya. Menurutnya, mereka memang keluarga yang
serba susah dan tak berkecukupan. Saat itu, anak-anak
Basse sering menangis. Saat ditanya, mereka mengaku
lapar. Kejadian seperti ini sering terjadi.

Makanya, tetangga-tetangga sudah tahu. “Kami dan
tetangga yang lain juga sering memberinya makanan,”
kata Noro yang terlihat menangis saat menjenguk Aco.
Beberapa kali, ia juga memeluk Salma, 9, kakak Aco
yang terus menunggui adiknya di RS.

Namun, menurut Noro yang dibenarkan tetangganya yang
lain, Layuk, Ani, serta Dg Te’ne, Basse memang terlalu
sabar sebagai seorang istri. Dia tidak pernah
mengeluh. “Bayangkan saja, rata-rata ia hanya diberi
uang Rp5 ribu per hari oleh suaminya yang kerap pulang
dalam keadaan mabuk. Uang itu dia belikan beras
setengah liter dan minyak tanah setengah liter.

Kalau ada lebihnya, ia berikan untuk belanja
anak-anaknya. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Kami
dapat cerita itu saat memaksanya bicara jika
anak-anaknya lagi menangis kelaparan,” cerita Noro,
ibu tua yang berusia 60-an tahun.

Soal Bahri, anak Basse yang ikut meninggal, Noro
mengatakan memang pernah sakit sesak napas. Setelah
tinggal sekira tiga tahun, Basse beserta suaminya
memutuskan pindah rumah ke kampung Ce’la-ce’la, tak
jauh dari rumah Noro. Awalnya, menurut Noro, ia sempat
menasihati untuk tetap tinggal, namun ternyata tak
berhasil.

“Saya bilang ke Basse bagaimana kalau anak-anaknya
lapar dan tidak ada tetangga yang membantu? Namun
mereka pindah juga. Saat itu, ia meninggalkan rumah
dengan karung-karung berisi pakaian,” bebernya.
Tak lama kemudian, Basri membawa istrinya pindah ke Jl
Dg Tata I blok IV D. Awal kepindahannya ke sana pun
cukup memilukan.

Basse yang menangis bersama anak-anaknya bertemu
dengan Dg Dudding yang kebetulan mengontrak di rumah
itu. Karena kasihan dan ingin buah hatinya bersama
Lina punya teman bermain, Dudding lalu menawarkan agar
Basse dan keluarganya tinggal di rumah kontrakannya
lima bulan lalu. “Saya ketemu di jalan lalu saya ajak
ke rumah. Ternyata mereka mau,” kata Dudding.

Di rumah Dudding, penderitaan Basse ternyata terus
berlanjut. Perilaku suaminya yang kurang baik, membuat
Basse dan anak-anaknya semakin menderita. “Dia lebih
banyak memasak bubur. Katanya untuk mengirit beras
yang dia beli,” cerita Lina, istri Dudding di RS Haji.

Di rumah Dudding, Basse kembali memperlihatkan
kesabarannya sebagai seorang wanita. Bahkan saat mulai
sakit, dia menolak tawaran Lina yang menyarankan agar
dia dilaporkan ke RT/RW atau kelurahan. “Katanya tidak
usah melapor ke RT/RW. Nanti menyusahkan orang saja.
Begitulah sampai ia meninggal,” kata Lina yang mengaku
sempat dititipi pesan oleh Basse agar menjaga
anak-anaknya kelak. Lina menganggap itu sebagai
pertanda bahwa Basse merasakan ajalnya sudah dekat.

Sementara itu, Basri, suami Basse pagi kemarin sudah
kembali ke Makassar. Ia langsung ke RS Haji di Jl
Daeng Ngepe. Sesaat setelah melihat Aco yang masih
diinfus, dia langsung menyampaikan ke Lina yang telah
menunggui anaknya selama tiga malam untuk terus
membantunya menjaga Aco.

“Saya serahkan kamu yang rawat anak saya. Saya sudah
tidak mampu lagi,” ujar Basri. Pria berkemeja kuning
kumal itu pun keluar kamar dan mencari tempat yang
sepi. Dia duduk di sudut salah satu selasar RS Haji
yang sepi untuk merenung. Setelah 1 jam, Basri yang
didekati wartawan pun berkeluh kesah. “Saya kasihan
istri saya dan anak saya meninggal. Saya tidak mau
minum (mabuk-Red) lagi,” sesal Basri.

Basri sendiri mengaku menguburkan sitrinya di kebun
jagung samping rumahnya. Dia tak mengubur istri dan
anaknya di pemakaman umum karena tak punya biaya.
“Dikubur dekat warung yang ada di kebun. Saya biasa
duduk-duduk di warung itu. Saya kuburkan di situ
supaya sering saya lihat,” kata Basri yang memberi
tanda nisan sederhana berupa kayu ke makam istri dan
anaknya.

Sementara itu, Salma anak kandung Basse yang terus
menunggui Aco siang hingga malam tadi, sudah terlihat
banyak bermain. Raut wajah sedih sama sekali tak
terlihat. Dia lebih banyak terlihat makan, minum susu,
atau bermain dengan anak-anak tetangganya. Itu berbeda
saat pertama ia ke rumah sakit. Kala itu Salma lebih
banyak diam dan terlihat tak punya napsu makan.

Ketika bermain, Salma bersama anak-anak lainnya kerap
menyinggung soal ibunya dan adiknya yang meninggal. Ia
malah sempat memprotes ketika salah seorang anak
sebayanya salah menyebut nama saudaranya yang
meninggal bersama ibunya.

“Bukan Bahar yang meninggal, tapi Bahri. Memang kau
sering marah-marah sama mamaku,” katanya bertengkar
dengan anak sebayanya yang salah sebut. Saat beberapa
tetangganya memanggilnya pulang, ia langsung menolak.
“Saya mau jaga Aco,” katanya. Beberapa tetangganya
terlihat memeluknya setiap akan meninggalkan RS. 


Komentar :
ady # jakarta # 03 Mar 2008
menyedihkan , jika sampai pemerintah daerah/kota tidak
bisa memberi jaminan bagi sebagian rakyat kecil yg
hidup dibawah garis kemiskinan. Sekian puluh milyar
dana terbuang dalam PILKADA gubernur atau bupati di
sulawesi selatan masuk ke kantong partai dan oknumnya
demi demokrasi tetapi hal kecil yg dibutuhkan rakyat
kecil justru tidak diperhatikan. Kenapa ? karena elit
daerah terfokus pikiran kepada kepentingan partai
kendaraan politiknya . Ini keterlaluan dan sudah
saatnya system dirubah ,penghamburan dana dalam
pilkada dihentikan, demokrasi kita sudah kebablasan,
tidak ada perubahan sejak preformasi 10 tahun lalu,
wakil rakyat semakin makmur sementara rakyat kecil yg
diwakili semakin tidak terurus dan terabaikan.System
demokrasinya kebablasan ..

Betees # senayan,jakpus. # 03 Mar 2008
Hanya satu kata yang pantas terucap - kan atas kasus
ini : TRAGIS !
Solidaritas dan kepedulian antar warga masyarakat
sudah hilang !
Semoga tidak terulang lagi di waktu yang akan datang !
Warga Sekpel I Hartaco-Malengkeri, mana itu KASIH
terhadap sesama !

acho # cokonuri # 03 Mar 2008
Nabi Muhammad SAW sudah menegaskan bahwa "tidak
sempurna iman seseorang apabila dia tidur nyenyak
sementara tetangganya sedang dalam kelaparan".
Musibah ini, saya kira tanggung jawab kita bersama,
tapi lebih utama adalah Pemimpin di Kota Makassar ini.
Coba kita ambil ibrah dari Khalifah Umar bin Khattab
sampai harus keliling tiap malam melihat kondisi
rakyatnya. Sedangkan kita, tetangga sudah MENANGIS
meronta-ronta tapi tetap saja kita pada TIDUR NYENYAK.
Dimana Lumbung Padi yang selalu digembar-gemborkan...
Turut Prihatin atas musibah ini.

acho # cokonuri # 03 Mar 2008
Nabi Muhammad SAW sudah menegaskan bahwa "tidak
sempurna iman seseorang apabila dia tidur nyenyak
sementara tetangganya sedang dalam kelaparan".
Musibah ini, saya kira tanggung jawab kita bersama,
tapi lebih utama adalah Pemimpin di Kota Makassar ini.
Coba kita ambil ibrah dari Khalifah Umar bin Khattab
sampai harus keliling tiap malam melihat kondisi
rakyatnya. Sedangkan kita, tetangga sudah MENANGIS
meronta-ronta tapi tetap saja kita pada TIDUR NYENYAK.
Dimana Lumbung Padi yang selalu digembar-gemborkan...
Turut Prihatin atas musibah ini.

ALAMSYAH BAHAR # SINJAI # 03 Mar 2008
PEMERINTAH SETEMPAT HARUS, BERTANGGUNG JAWAB SECARA
MORIL ADA WARGANYA YANG MATI KELAPARAN, BEGITU JUGA
TETANGGANYA


Wassalam


Taufik P



      
____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?  
Find them fast with Yahoo! Search.  
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Kirim email ke