GORONTALO DALAM PERSPEKTIF MARITIM

Bagian 2

HAMBATAN



Mengutip ucapan seorang pejabat tinggi militer Kerajaan Inggris
baru-baru ini di Jakarta "bahwa maritim bagi Indonesia adalah hal
yang krusial, apabila anda bisa menyamakan dengan cara pandang negara
kami memandang lautnya" dengan demikian jelas bahwa dari sudut
pandang Angkatan Bersenjata negara maju pun Indonesia akan menjadi
sebuah kekuatan yang disegani hanya apabila kita lebih memperhatikan
potensi maritim kita.

Bangsa Inferior

Perjalanan menuju Indonesia sebagai kekuatan maritim baik dari segi
ekonomi maupun pertahanan dan keamanan memang tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan meski regulasi sudah mendorong kearah itu.
Ketertinggalan Indonesia sangatlah jauh dari segala dimensi dibandingkan
dengan negara tetangga sekalipun dan untuk mengejar ketertinggalan itu
memakan pengorbanan energi dan waktu yang luar biasa. Beberapa hal yang
perlu dibenahi baik dalam institusi, maupun sektor usaha. Contoh nyata
ketertinggalan kita dari segi institusional adalah, dari begitu luasnya
permukaan pantai dan laut Indonesia baik teritorial maupun Zona Ekonomi
Eksklusif yang kita miliki, kita hanya mempunyai dua orang perwakilan
yang membidangi arbitrase internasional masalah perikanan dan pangan,
kita hanya memiliki segelintir peneliti kelautan yang diakui oleh badan
Perserikatan Bangsa Bangsa, dan yang paling menyedihkan adalah dari
120,000 lebih pelaut Indonesia dan 220 pelabuhan-pelabuhan umum
diseluruh Nusantara, kita tidak memiliki satupun ahli yang duduk untuk
membela kepentingan bangsa kita pada Organisasi Maritim Internasional
(IMO1 experts 2002).

Seorang sahabat penulis di program doktoral universitas terkemuka di
tokyo beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kelemahan kita dalam hal
perkapalan dan pelayaran adalah karena negara tidak serius menanggapi
isu-isu internasional yang berhubungan dengan teknologi dan sistem walau
yang standard sekalipun. Dalam setiap perumusan-perumusan aturan
internasional kita sangat jarang mengirimkan perwakilan baik dari
akademisi, praktisi maupun usahawan maritim untuk ikut berpartisipasi
dalam perumusan itu. Pada saat aturan tersebut diundangkan kita
benar-benar terkejut dan sulit untuk beradaptasi dengan aturan-aturan
baru itu, akibatnya puluhan ribu pelaut-pelaut kita harus kembali untuk
memperbaharui lagi standar-standar kecakapan yang dimilikinya selama
bertahun-tahun untuk dapat termasuk dalam daftar putih IMO, dan ini
menyebabkan milyaran dolar AS potensi devisa dari upah pekerja yang
seharusnya dapat membantu menopang perekonomian nasional menjadi hilang
begitu saja.

Sangat menyedihkan memang negeri kita ini karena kalah langkah dalam
beberapa hal. Pemerintah telah dengan sengaja mengerdilkan perusahaan
pelayaran nasional selama beberapa dekade dan kemudian tidak tanggap
untuk cepat mengikuti perkembangan teknologi dan standar kecakapan yang
menyebabkan puluhan ribu pelaut kita harus meninggalkan pekerjaan dan
akhirnya tergantikan oleh pelaut-pelaut dari bangsa lain. Usaha
perikanan pun tidak kalah sakitnya, bagaimana kita bisa biarkan nelayan
mancanegara datang begitu jauhnya ke lautan kita untuk mengambil
kekayaan hayati begitu saja sembari nelayan-nelayan kita masih berkutat
dengan masalah tradisional seperti harga bahan bakar dan tiadanya
dukungan modal.

Mungkin beberapa diantara kita yang tahu bahwa para pencuri itu datang
dengan armada puluhan bahkan ribuan kapal jumlahnya. Mereka datang dan
diam beberapa waktu menebar jaringnya (trawl) yang panjangnya hingga
puluhan kilometer kemudian pergi meninggalkan perairan itu menjadi laut
tanpa kehidupan untuk beberapa lama untuk kembali lagi setelah mereka
perpindah-pindah untuk hal yang sama diperairan kita yang lain. Terlebih
lagi kegiatan seperti ini dibiarkan begitu saja oleh petugas yang
seharusnya mencegahnya. Tidak mengherankan apabila bangsa kita masih
dianggap bangsa rendahan dan bangsa kuli oleh bangsa-bangsa lain, dimana
mereka dengan mudahnya dapat mengambil kekayaan yang kita miliki dan
apabila tertangkap, mereka akan dengan mudah meloloskan diri dengan
membeli petugas-petugas berwenang tanpa hukuman berarti.

Lemahnya Sosialisasi

Pemberlakuan asas cabottage berdasarkan Inpres No.  5 Thn. 2005
seharusnya sudah dipahami oleh paling tidak pelaku usaha, selebihnya
Pemerintah seharusnya menerapkan sanksi yang cukup berat bagi para
pelaku pelanggaran tidak hanya dengan pencabutan izin usaha pelayaran
saja sebab hal ini masih menyisakan jalan bagi pelaku pelanggaran untuk
mengulanginya lagi dikemudian hari. Besarnya prospek keuntungan yang
dapat dikeruk oleh para pelaku itu membuat sanksi-sanksi yang diterapkan
sekarang ini tidak menjerakan mereka.

Ketidak tahuan masyarakat tentang pemberlakuan aturan ini pun
menyebabkan pelanggaran-pelanggaran terjadi tanpa diketahui apalagi
ditindak. Sebagai contoh, apabila kita dapat dengan mudah mendapatkan
produk hukum misalnya UU Perseroan Terbatas atau KUHAP dan sebagainya di
berbagai toko buku, maka Undang-undang tentang Pelayaran dan Kelautan
berikut peraturan-peraturan turunannya sangat langka untuk ditemukan.
Bagi kalangan diluar praktisi pelayaran dan kelautan, banyak yang
menganggap peraturan-peraturan ini tidaklah penting, bahkan bagi
kalangan praktisi pelayaran pun masih banyak yang belum mengetahui
pemberlakuan Undang-undang yang baru ini apalagi untuk mengerti apa
substansinya. Hal yang sering terdengar berkaitan dengan Undang-undang
Pelayaran yang baru selama ini hanyalah sebatas konflik tarik-menarik
kepentingan pengelolaan pelabuhan. Demikian pula bagi aparat pemerintah
yang seharusnya mengamankannya baik pihak Ditjenla (Kesyahbandaran/
Administrator Pelabuhan) maupun dari pihak Kamla (Bakorsutanal).
Terlepas dari kepentingan mereka sehingga membiarkan saja ketidak tahuan
masyarakat mengenai berlakunya peraturan-peraturan baru untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Akibatnya, berbagai jenis komoditas yang
seharusnya dimuat oleh kapal berbendera Dwiwarna hingga saat ini masih
didominasi oleh kapal-kapal asing.



Tabel berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2005



Dukungan Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat
diperlukan untuk memasyarakatkan aturan-aturan ini, sehingga semua pihak
dapat bersiap baik untuk merebut pangsa yang seharusnya sudah menjadi
milik kita maupun untuk mengawasi kegiatan pelaksanaan dilapangan agar
pelanggaran-pelanggaran dapat diperkecil untuk kemakuran bersama.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi mengenai
kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat baik
itu yang datang dari Pemerintah, LSM, Akademisi maupun praktisi.
Kebijakan energi yang progresif akan sangat membantu masyarakat dalam
megenali potensinya. Pemanfaatan lahan-lahan terlantar untuk penanaman
tanaman yang dapat menghasilkan energi akan sangat meringankan nelayan
namun inipun belum tersosialisasikan secara merata.

Lemahnya Teknologi

Seperti halnya teka-teki mengenai yang mana terlebih dahulu diciptakan
antara ayam dan telur, maka mungkin seperti itulah keterkaitan antara
kemakmuran suatu bangsa dan teknologi yang dimiliki. Kita tidak akan
mudah mencetak ilmuwan-ilmuwan yang efektif dalam menciptakan aneka
teknologi tepat guna tanpa dukungan modal yang memadai untuk pendanaan
riset-risetnya. Kalaupun ada penemuan-penemuan baru, penemuan itu tidak
akan dapat cepat terserap oleh pengguna yang membutuhkan terlebih karena
minimnya sosialisasi. Penguasaan teknologi yang minim menyebabkan
terjadinya efek berantai pada kemunduran disegala bidang, dan kita akan
tetap terjajah selama kita tidak berusaha untuk belajar menguasainya.

Sebagai contoh sonar pendeteksi ikan yang merupakan perangkat primer
bagi nelayan mancanegara untuk mendapatkan lokasi ikan agar mendapatkan
hasil yang sesuai secara ekonomis dibandingkan dengan pengeluaran
modalnya.   Tahun 1996 pada waktu kelas penulis mengadakan kunjungan
rutin ke Pangkalan Utama TNI AL IV Ujung Pandang, kita diperlihatkan
hasil tangkapan patroli berupa dua buah kapal nelayan berkebangsaan
Tailand dengan ukuran sekitar 200 GRT3. Meski pada sekeliling kapal
terlihat puluhan bendera Dwiwarna ukuran sedang dan nama kapal tersebut
bercirikan Indonesia, namun tidak satupun dari 28 anak buah kapal-kapal
itu yang berkebangsaan Indonesia. Kedua kapal kayu itu telah dilengkapi
dengan GPS dan sonar ikan yang sangat canggih, kita dapat mendeteksi
keberadaan ikan hingga puluhan mil laut jauhnya dari posisi kapal itu
yang akan terlihat seperti gumpalan besar yang terbentuk dari
titik-titik kecil citra kumpulan ikan. Dengan alat itu, kapal-kapal
dapat dengan segera mendekati posisi yang ditunjukkan tadi dan dapat
dipastikan hampir semua ikan yang dicitrakan dapat terjaring oleh
pukat-pukat yang mereka miliki. Sepuluh tahun kemudian penulis
membandingkan kapal-kapal nelayan kita dengan kapal-kapal nelayan
Tailand tadi, dari beberapa kapal nelayan yang terikat di pelabuhan ikan
Cilacap, tidak ada satupun yang memiliki jangankan sonar, penentu posisi
yang teknologinya cukup tua seperti GPS tidak satupun yang punya.

Hal demikian terjadi pula pada industri perkapalan. Apabila kita teliti,
maka terkecuali lambung kapal hampir semua peralatan baik elektronik
maupun mekanis pada bangunan kapal yang dibangun didalam negeri masih
mengandalkan produk luar. Mulai dari GPS, Radar4, hingga
peralatan-peralatan mekanis sederhana seperti windlass5 jangkar. Inilah
faktor lain yang mendorong tingginya biaya kapal buatan dalam negeri
selain faktor-faktor yang sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini.
Belum lagi penguasaan kita terhadap permesianan kapal. Sebuah kapal yang
dibangun di galangan nasional akan bertebaran peralatan-peralatan dan
permesinan dengan merek seperti Furuno, JRC (Japan Radio Company),
Motorolla untuk perangkat-perangkat navigasi dan Cummins, MAN,
Caterpillar, Yanmar dst. untuk permesinan kapal sementara kapal-kapal
buatan Korea mulai dari buritan hingga haluan kapal bertebaran
mesin-mesin Hyundai, Daewoo, Ssangyong, dan perangkat navigasi mulai
dari Samsung hingga Goldstar (LG).

Sudah seharusnya Pemerintah selain memberi kemudahan untuk akses
teknologi tersebut, juga memberikan dukungan bagi pemberdayaan industri
dalam negeri untuk menciptakan alat-alat itu. Selama ini hasil karya
anak bangsa sudah dapat didudukkan setara dengan produk-produk teknologi
tinggi asing seperti Radar oleh Lembaga Elektronika Negara, dan
pesawat-pesawat bantu (istilah pelayaran = auxiliary engine & machinery)
seperti windlass jangkar, generator, purifier (pemisah air dengan
minyak), ketel-ketel uap tekanan tinggi telah dapat diproduksi oleh
industri-industri strategis nasional. Tanpa adanya peran Pemerintah dan
pelaku usaha, alat-alat ini akan tetap mahal bagi kita karena tidak akan
mencapai skala produksi ekonomis dan kita akan semakin jauh dari
kemandirian.

Potensi Yang Disia-siakan

Ketidak mampuan kita mengakses peralatan-peralatan itu membuat sebagian
besar pelaku usaha perikanan maupun perkapalan menjadi enggan untuk
mendapatkannya, belum lagi harganya yang masih selangit karena belum
adanya dukungan kemudahan dari Pemerintah dan perbankan.

Potensi perikanan kita sangat besar yang didukung oleh wilayah laut
Nusantara. Dengan penguasaan teknologi yang baik dalam pelaksanaan
maupun kemampuan untuk memberi nilai tambah, kita akan dapat meraih
mimpi kita untuk menjadi yang terkuat dilaut dari segi ekonomi maupun
pertahanan dan keamanan.

Sumber dari FAO menyebutkan bahwa saat ini Tailand dan China masih
menjadi yang terbesar untuk ekspor ikan seluruh dunia kemudian disusul
negara-negara Skandinavia dengan total ekspor sebesar 61 milyar Dolar AS
tahun 2002 dengan potensi kenaikan rata-rata 5,5 persen pertahun.
Sementara posisi Indonesia ada tahun 2005, produksi ikan tuna segar dan
beku mencapai 40.872 ton dengan nilai 117,66 juta dollar AS yang
mayoritas dihasilkan oleh penangkap ikan dan nelayan-nelayan asing.
Namun, kontribusi produk tuna kaleng Indonesia di pasar Uni Eropa hanya
3 persen per tahun.

Sementara dari sisi pelayaran, masih sangat terbuka peluang bagi kita
untuk merebut pangsa angkutan domestik maupun internasional yang selama
ini masih dikuasai asing.



Dari grafik diatas terlihat betapa potensi yang ada terbuka lebar,
puluhan hingga ratusan milyar dollar AS akan dapat terselamatkan apabila
kita dapat mewujudkannya yang akhirnya akan memakmurkan bangsa.
Mengenali hambatan-hambatan secara menyeluruh dan sangat diperlukan
untuk dipecahkan oleh para pemikir bangsa.

Bersambung



Capt. M D Komendangi

Pengamat Maritim Tinggal di Banjarmasin.

Kirim email ke