Negara kita negara maritim, tapi yang diperkuat kok Angkatan Daratnya ya?????? Akhirnya yang ditangkap para aktifis dan mahasiswa... Sebagai info, tidak lama lagi di Gorut akan dibangun Radar Intai milik TNI AL, radar ini sebenarnya akan dibangun di Sangatta Kaltim, cuma karena ada masalah tanah di sana, maka Dan Lanal Gto, Letkol Laut (P) Imam Teguh Santoso melobby agar dibangun di Gorontalo Utara. Radar ini bantuan USA untuk pengalamam ALKI II. Bagian utara Gorontalo sebenarnya tidak termasuk ALKI II, betulkah Oom Dody? Bolo maapu ju Hingga kini Stasion TNI AL Gto yang di Leato belum memiliki alat penindak seperti kapal dan senjata, jadi cuma kantor doang yang sering dikunjungi kambing2 dan kuntilanak (yang ini betul2 terjadi). Pada semester ini akan datang kapal patroli ukuran 12 meter. Justru yang ada kapal lautnya adalah Polisi Perairan, cuma kapal2 mereka saya lihat tidak pernah keluar dari muara sungai Bone. Jangan2 susah BBM..... Nenek Moyangku Seorang Pelaut...
--- iqbal makmur <[EMAIL PROTECTED]> wrote: --------------------------------- Artikelnya bagus sekali pak Dody. Saya sepakat dalam banyak hal, negara tanpa pagar seperti kita harusnya memang memiliki kebijakan di bidang maritim yang bisa menjamin kedaulatan negara dan merupakan potensi yang sangat besar untuk kemajuan ekonomi bangsa. Kisah hebat para pelaut kita kini tinggal jadi sejarah. Sejarah memang selalu berulang, tapi mustahil kalau kita sendiri yang tidak mau memulainya lagi. Salam, Iqbal --- On Tue, 5/20/08, Dokem <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Dokem <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [GM2020] GORONTALO DALAM PERSPEKTIF MARITIM Bagian 2 To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Tuesday, May 20, 2008, 8:24 AM GORONTALO DALAM PERSPEKTIF MARITIM Bagian 2 HAMBATAN Mengutip ucapan seorang pejabat tinggi militer Kerajaan Inggris baru-baru ini di Jakarta "bahwa maritim bagi Indonesia adalah hal yang krusial, apabila anda bisa menyamakan dengan cara pandang negara kami memandang lautnya" dengan demikian jelas bahwa dari sudut pandang Angkatan Bersenjata negara maju pun Indonesia akan menjadi sebuah kekuatan yang disegani hanya apabila kita lebih memperhatikan potensi maritim kita. Bangsa Inferior Perjalanan menuju Indonesia sebagai kekuatan maritim baik dari segi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan meski regulasi sudah mendorong kearah itu. Ketertinggalan Indonesia sangatlah jauh dari segala dimensi dibandingkan dengan negara tetangga sekalipun dan untuk mengejar ketertinggalan itu memakan pengorbanan energi dan waktu yang luar biasa. Beberapa hal yang perlu dibenahi baik dalam institusi, maupun sektor usaha. Contoh nyata ketertinggalan kita dari segi institusional adalah, dari begitu luasnya permukaan pantai dan laut Indonesia baik teritorial maupun Zona Ekonomi Eksklusif yang kita miliki, kita hanya mempunyai dua orang perwakilan yang membidangi arbitrase internasional masalah perikanan dan pangan, kita hanya memiliki segelintir peneliti kelautan yang diakui oleh badan Perserikatan Bangsa Bangsa, dan yang paling menyedihkan adalah dari 120,000 lebih pelaut Indonesia dan 220 pelabuhan-pelabuhan umum diseluruh Nusantara, kita tidak memiliki satupun ahli yang duduk untuk membela kepentingan bangsa kita pada Organisasi Maritim Internasional (IMO1 experts 2002). Seorang sahabat penulis di program doktoral universitas terkemuka di tokyo beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kelemahan kita dalam hal perkapalan dan pelayaran adalah karena negara tidak serius menanggapi isu-isu internasional yang berhubungan dengan teknologi dan sistem walau yang standard sekalipun. Dalam setiap perumusan-perumusan aturan internasional kita sangat jarang mengirimkan perwakilan baik dari akademisi, praktisi maupun usahawan maritim untuk ikut berpartisipasi dalam perumusan itu. Pada saat aturan tersebut diundangkan kita benar-benar terkejut dan sulit untuk beradaptasi dengan aturan-aturan baru itu, akibatnya puluhan ribu pelaut-pelaut kita harus kembali untuk memperbaharui lagi standar-standar kecakapan yang dimilikinya selama bertahun-tahun untuk dapat termasuk dalam daftar putih IMO, dan ini menyebabkan milyaran dolar AS potensi devisa dari upah pekerja yang seharusnya dapat membantu menopang perekonomian nasional menjadi hilang begitu saja. Sangat menyedihkan memang negeri kita ini karena kalah langkah dalam beberapa hal. Pemerintah telah dengan sengaja mengerdilkan perusahaan pelayaran nasional selama beberapa dekade dan kemudian tidak tanggap untuk cepat mengikuti perkembangan teknologi dan standar kecakapan yang menyebabkan puluhan ribu pelaut kita harus meninggalkan pekerjaan dan akhirnya tergantikan oleh pelaut-pelaut dari bangsa lain. Usaha perikanan pun tidak kalah sakitnya, bagaimana kita bisa biarkan nelayan mancanegara datang begitu jauhnya ke lautan kita untuk mengambil kekayaan hayati begitu saja sembari nelayan-nelayan kita masih berkutat dengan masalah tradisional seperti harga bahan bakar dan tiadanya dukungan modal. Mungkin beberapa diantara kita yang tahu bahwa para pencuri itu datang dengan armada puluhan bahkan ribuan kapal jumlahnya. Mereka datang dan diam beberapa waktu menebar jaringnya (trawl) yang panjangnya hingga puluhan kilometer kemudian pergi meninggalkan perairan itu menjadi laut tanpa kehidupan untuk beberapa lama untuk kembali lagi setelah mereka perpindah-pindah untuk hal yang sama diperairan kita yang lain. Terlebih lagi kegiatan seperti ini dibiarkan begitu saja oleh petugas yang seharusnya mencegahnya. Tidak mengherankan apabila bangsa kita masih dianggap bangsa rendahan dan bangsa kuli oleh bangsa-bangsa lain, dimana mereka dengan mudahnya dapat mengambil kekayaan yang kita miliki dan apabila tertangkap, mereka akan dengan mudah meloloskan diri dengan membeli petugas-petugas berwenang tanpa hukuman berarti. Lemahnya Sosialisasi Pemberlakuan asas cabottage berdasarkan Inpres No. 5 Thn. 2005 seharusnya sudah dipahami oleh paling tidak pelaku usaha, selebihnya Pemerintah seharusnya menerapkan sanksi yang cukup berat bagi para pelaku pelanggaran tidak hanya dengan pencabutan izin usaha pelayaran saja sebab hal ini masih menyisakan jalan bagi pelaku pelanggaran untuk mengulanginya lagi dikemudian hari. Besarnya prospek keuntungan yang dapat dikeruk oleh para pelaku itu membuat sanksi-sanksi yang diterapkan sekarang ini tidak menjerakan mereka. Ketidak tahuan masyarakat tentang pemberlakuan aturan ini pun menyebabkan pelanggaran- pelanggaran terjadi tanpa diketahui apalagi ditindak. Sebagai contoh, apabila kita dapat dengan mudah mendapatkan produk hukum misalnya UU Perseroan Terbatas atau KUHAP dan sebagainya di berbagai toko buku, maka Undang-undang tentang Pelayaran dan Kelautan berikut peraturan-peraturan turunannya sangat langka untuk ditemukan. Bagi kalangan diluar praktisi pelayaran dan kelautan, banyak yang menganggap peraturan-peraturan ini tidaklah penting, bahkan bagi kalangan praktisi pelayaran pun masih banyak yang belum mengetahui pemberlakuan Undang-undang yang baru ini apalagi untuk mengerti apa substansinya. Hal yang sering terdengar berkaitan dengan Undang-undang Pelayaran yang baru selama ini hanyalah sebatas konflik tarik-menarik kepentingan pengelolaan pelabuhan. Demikian pula bagi aparat pemerintah yang seharusnya mengamankannya baik pihak Ditjenla (Kesyahbandaran/ Administrator Pelabuhan) maupun dari pihak Kamla (Bakorsutanal) . Terlepas dari kepentingan mereka sehingga membiarkan saja ketidak tahuan masyarakat mengenai berlakunya peraturan-peraturan baru untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Akibatnya, berbagai jenis komoditas yang seharusnya dimuat oleh kapal berbendera Dwiwarna hingga saat ini masih didominasi oleh kapal-kapal asing. Tabel berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2005 Dukungan Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat diperlukan untuk memasyarakatkan aturan-aturan ini, sehingga semua pihak dapat bersiap baik untuk merebut pangsa yang seharusnya sudah menjadi milik kita maupun untuk mengawasi kegiatan pelaksanaan dilapangan agar pelanggaran- pelanggaran dapat diperkecil untuk kemakuran bersama. Yang tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat baik itu yang datang dari Pemerintah, LSM, Akademisi maupun praktisi. Kebijakan energi yang progresif akan sangat membantu masyarakat dalam megenali potensinya. Pemanfaatan lahan-lahan terlantar untuk penanaman tanaman yang dapat menghasilkan energi akan sangat meringankan nelayan namun inipun belum tersosialisasikan secara merata. Lemahnya Teknologi Seperti halnya teka-teki mengenai yang mana terlebih dahulu diciptakan antara ayam dan telur, maka mungkin seperti itulah keterkaitan antara kemakmuran suatu bangsa dan teknologi yang dimiliki. Kita tidak akan mudah mencetak ilmuwan-ilmuwan yang efektif dalam menciptakan aneka teknologi tepat guna tanpa dukungan modal yang memadai untuk pendanaan riset-risetnya. Kalaupun ada penemuan-penemuan baru, penemuan itu tidak akan dapat cepat terserap oleh pengguna yang membutuhkan terlebih karena minimnya sosialisasi. Penguasaan teknologi yang minim menyebabkan terjadinya efek berantai pada kemunduran disegala bidang, dan kita akan tetap terjajah selama kita tidak berusaha untuk belajar menguasainya. Sebagai contoh sonar pendeteksi ikan yang merupakan perangkat primer bagi nelayan mancanegara untuk mendapatkan lokasi ikan agar mendapatkan hasil yang sesuai secara ekonomis dibandingkan dengan pengeluaran modalnya. Tahun 1996 pada waktu kelas penulis mengadakan kunjungan rutin ke Pangkalan Utama TNI AL IV Ujung Pandang, kita diperlihatkan hasil tangkapan patroli berupa dua buah kapal nelayan berkebangsaan Tailand dengan ukuran sekitar 200 GRT3. Meski pada sekeliling kapal terlihat puluhan bendera Dwiwarna ukuran sedang dan nama kapal tersebut bercirikan Indonesia, namun tidak satupun dari 28 anak buah kapal-kapal itu yang berkebangsaan Indonesia. Kedua kapal kayu itu telah dilengkapi dengan GPS dan sonar ikan yang sangat canggih, kita dapat mendeteksi keberadaan ikan hingga puluhan mil laut jauhnya dari posisi kapal itu yang akan terlihat seperti gumpalan besar yang terbentuk dari titik-titik kecil citra kumpulan ikan. Dengan alat itu, kapal-kapal dapat dengan segera mendekati posisi yang ditunjukkan tadi dan dapat dipastikan hampir semua ikan yang dicitrakan dapat terjaring oleh pukat-pukat yang mereka miliki. Sepuluh tahun kemudian penulis membandingkan kapal-kapal nelayan kita dengan kapal-kapal nelayan Tailand tadi, dari beberapa kapal nelayan yang terikat di pelabuhan ikan Cilacap, tidak ada satupun yang memiliki jangankan sonar, penentu posisi yang teknologinya cukup tua seperti GPS tidak satupun yang punya. Hal demikian terjadi pula pada industri perkapalan. Apabila kita teliti, maka terkecuali lambung kapal hampir semua peralatan baik elektronik maupun mekanis pada bangunan kapal yang dibangun didalam negeri masih mengandalkan produk luar. Mulai dari GPS, Radar4, hingga peralatan-peralatan mekanis sederhana seperti windlass5 jangkar. Inilah faktor lain yang mendorong tingginya biaya kapal buatan dalam negeri selain faktor-faktor yang sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Belum lagi penguasaan kita terhadap permesianan kapal. Sebuah kapal yang dibangun di galangan nasional akan bertebaran peralatan-peralatan dan permesinan dengan merek seperti Furuno, JRC (Japan Radio Company), Motorolla untuk perangkat-perangkat navigasi dan Cummins, MAN, Caterpillar, Yanmar dst. untuk permesinan kapal sementara kapal-kapal buatan Korea mulai dari buritan hingga haluan kapal bertebaran mesin-mesin Hyundai, Daewoo, Ssangyong, dan perangkat navigasi mulai dari Samsung hingga Goldstar (LG). Sudah seharusnya Pemerintah selain memberi kemudahan untuk akses teknologi tersebut, juga memberikan dukungan bagi pemberdayaan industri dalam negeri untuk menciptakan alat-alat itu. Selama ini hasil karya anak bangsa sudah dapat didudukkan setara dengan produk-produk teknologi tinggi asing seperti Radar oleh Lembaga Elektronika Negara, dan pesawat-pesawat bantu (istilah pelayaran = auxiliary engine & machinery) seperti windlass jangkar, generator, purifier (pemisah air dengan minyak), ketel-ketel uap tekanan tinggi telah dapat diproduksi oleh industri-industri strategis nasional. Tanpa adanya peran Pemerintah dan pelaku usaha, alat-alat ini akan tetap mahal bagi kita karena tidak akan mencapai skala produksi ekonomis dan kita akan semakin jauh dari kemandirian. Potensi Yang Disia-siakan Ketidak mampuan kita mengakses peralatan-peralatan itu membuat sebagian besar pelaku usaha perikanan maupun perkapalan menjadi enggan untuk mendapatkannya, belum lagi harganya yang masih selangit karena belum adanya dukungan kemudahan dari Pemerintah dan perbankan. Potensi perikanan kita sangat besar yang didukung oleh wilayah laut Nusantara. Dengan penguasaan teknologi yang baik dalam pelaksanaan maupun kemampuan untuk memberi nilai tambah, kita akan dapat meraih mimpi kita untuk menjadi yang terkuat dilaut dari segi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan. Sumber dari FAO menyebutkan bahwa saat ini Tailand dan China masih menjadi yang terbesar untuk ekspor ikan seluruh dunia kemudian disusul negara-negara Skandinavia dengan total ekspor sebesar 61 milyar Dolar AS tahun 2002 dengan potensi kenaikan rata-rata 5,5 persen pertahun. Sementara posisi Indonesia ada tahun 2005, produksi ikan tuna segar dan beku mencapai 40.872 ton dengan nilai 117,66 juta dollar AS yang mayoritas dihasilkan oleh penangkap ikan dan nelayan-nelayan asing. Namun, kontribusi produk tuna kaleng Indonesia di pasar Uni Eropa hanya 3 persen per tahun. Sementara dari sisi pelayaran, masih sangat terbuka peluang bagi kita untuk merebut pangsa angkutan domestik maupun internasional yang selama ini masih dikuasai asing. Dari grafik diatas terlihat betapa potensi yang ada terbuka lebar, puluhan hingga ratusan milyar dollar AS akan dapat terselamatkan apabila kita dapat mewujudkannya yang akhirnya akan memakmurkan bangsa. Mengenali hambatan-hambatan secara menyeluruh dan sangat diperlukan untuk dipecahkan oleh para pemikir bangsa. Bersambung Capt. M D Komendangi Pengamat Maritim Tinggal di Banjarmasin.