Mungkin artikel ini bisa sedikit membuka pikiran kita
dalam beragama.

Wasalam
Imusafir



Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Republika, Selasa, 03 Juni 2008

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19

Arti selengkapnya dari surat Yunus ayat 99 ini adalah: "Dan sekiranya
Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia yang ada di muka
bumi. Lantaran itu, patutkah engkau memaksa manusia agar mereka 
beriman
seluruhnya?" Ayat 100 berikutnya: "Dan tidaklah seseorang akan 
beriman,
melainkan dengan izin Allah." Artinya, untuk beriman perlu lampu hijau
dari Allah, menurut ayat ini. Tanpa perkenan dari Yang Maha Pemberi
Izin, iman itu tidak akan terjadi. Sebab itu, menurut surat Makkiyyah
ini, setiap paksaan untuk beriman, halus apalagi kasar, sepenuhnya
melanggar ketentuan Allah.

Adapun menyampaikan dakwah agar manusia mau beriman, jelas merupakan
kewajiban agama. Tetapi dalam proses dakwah itu, unsur paksaan 
dilarang
keras. Sebenarnya jika mau jujur, di antara metode dakwah yang paling
efektif ialah dakwah dengan contoh perbuatan. Tidak usah jauh-jauh
mencari contoh. Di sebuah RT, misalnya, ada dua keluarga Muslim yang
jadi buah bibir masyarakat sekitarnya dalam arti positif, padahal
lingkungannya mayoritas non-Muslim. Orangnya ramah, sopan, suka 
memberi
siapa saja, tidak terikat dengan agama yang dipeluknya. Penampilannya
tidak dibuat-buat, lumrah, semuanya autentik sebagai tanda percaya 
diri
yang tinggi. Jika ada kematian di RT itu, keluarga Muslim itu cepat
turun tangan untuk mengulurkan bantuan apa yang mungkin. Dunia fitnah
dijauhinya. Menghukum mereka yang seagama tetapi tidak sepaham dalam
penafsiran, pantangan baginya. Kenisbian manusia untuk menangkap yang
mutlak adalah pegangan utamanya dalam beragama. Seluruh warga RT itu
merasa akan sangat kehilangan jika dua keluarga Muslim itu pindah ke
tempat lain. Di mana-mana akan terdengar ucapan: "Aduh, mengapa si anu
itu pindah dari lingkungan kita, padahal kita sangat memerlukannya 
agar
tetap bersama kita di sini, sekalipun kita berlainan agama."

Contoh yang saya berikan ini bukanlah sesuatu yang asing, semuanya
empirik, dapat dilakukan siapa saja, apa pun agama yang dipeluknya. 
Jika
kemudian ada yang tertarik untuk mengikuti agama dua keluarga Muslim 
itu
secara sadar, tanpa ada tanda-tanda paksaan, maka boleh jadi izin 
Allah
untuk beriman itu memang sedang berlaku. Teladan yang ditunjukkan dua
keluarga Muslim itu semata-mata sarana bagi keluarnya izin itu. Tidak
lebih dari itu.

Saya punya pengalaman khas tentang hal yang mirip, saat saya kuliah
dengan Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Mahasiswa yang ikut
kuliahnya berasal dari bermacam agama: Katolik, Protestan, Shinto,
Yahudi, dan Muslim. Dengan kepercayaan diri yang sangat kuat, Rahman
dalam seluruh kuliahnya tidak ada bayangan agar mahasiswanya menjadi
Muslim. Mungkin Rahman berpendapat, daripada menambah pengikut, lebih
baik jumlah Muslim sedunia di atas satu miliar itu ditingkatkan
kualitasnya.

Tetapi, apa yang terjadi? Beberapa mahasiswanya yang non-Muslim saya
dengar belakangan telah menjadi Muslim atau Muslimah, sesuatu yang 
tidak
diniatkan Rahman sewaktu memberi kuliah. Metode perkuliahan yang
mendalam, objektif, tanpa basa-basi, rupanya telah bersarang secara
diam-diam dalam otak dan hati para mahasiswanya. Maka, terjadilah apa
yang terjadi. Izin Allah rupanya berlaku melalui cara-cara yang tak
disengaja itu. Tentu saja ruh Rahman di alam baka tersenyum 
menyaksikan
apa yang terjadi pada sejumlah mantan mahasiswanya, sebagian adalah
teman-teman sekelas saya. Sebab itu, Anda janganlah terlalu bernafsu
untuk 'menaklukkan' dunia agar beriman seperti Anda. Biarlah proses 
itu
berjalan secara wajar. Bukankah kualitas itu jauh lebih penting dari
kuantitas, jika kuantitas itu tidak lebih dari beban sejarah?

Dua contoh, RT dan Rahman, mungkin dapat dijadikan bahan renungan: 
satu
untuk akar rumput, yang lain untuk tingkat yang lebih tinggi. Tetapi
ingat, Rahman pernah dihalalkan darahnya di Pakistan, tanah airnya, 
oleh
mereka yang wawasan keagamaan dan kemanusiaannya hanyalah sebatas
tuturan atapnya, atau paling jauh sebatas halaman rumahnya. Kata
pepatah: "Jika kail panjang sejengkal, janganlah laut hendak diduga!"
Mari kita sama-sama belajar dari sumber yang beragam untuk saling
bertukar pendapat dengan cara yang santun, jujur, dan mendalam. Musuh
terbesar kita adalah kedangkalan dan sifat memonopoli kebenaran



Kirim email ke