Nama Mendunia, Gaji Rp 2,4 Juta 

Ilmuwan-Ilmuwan Indonesia Berprestasi Global 

Enam ilmuwan Indonesia masuk daftar Wise Index of Leading Scientists and 
Engineer. Daftar tersebut dikeluarkan sebuah lembaga internasional 
berkredibilitas di bidang sains dan teknologi. Siapa saja mereka? Mengapa dalam 
hal ini kita masih kalah dengan Malaysia? 

----------

Malu. Itulah yang dirasakan Tjia May On ketika namanya masuk deretan Wise Index 
of Leading Scientists and Engineer bersama lima ilmuwan tanah air yang lain. 
Mengapa malu? Guru besar Fisika dari ITB (Institut Teknologi Bandung ) itu 
lantas membandingkan dengan negara lain. 

''Malaysia saja punya 27 ilmuwan yang diakui dunia. Sampai-sampai dalam daftar 
itu kita ini masih kalah dengan Maroko, yang secara kultur dan kesejahteraan 
masyarakat jauh di bawah Indonesia,'' kata profesor berusia 74 tahun yang masih 
tampak energik ini ketika didatangi Jawa Pos di kantornya, kompleks kampus ITB, 
Jumat lalu (19/9). 

Wise Index of Leading Scientists and Engineer adalah sebuah daftar yang 
dikeluarkan Comstech (Standing Committee on Scientific and Technological 
Cooperation), lembaga yang bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama 
sains dan teknologi di antara negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam 
(OKI). 

Nama Tjia masuk deretan daftar tersebut karena konsistensinya dalam menekuni 
bidang partikel kuantum dan kosmologi relativistik. Dia juga menekuni 
penelitian polimer, optik nonlinier, dan superkonduktor.

Selama 33 tahun, Tjia tekun dengan penelitiannya itu, baik dilakukan secara 
individu maupun tim. Hingga kini, profesor kelahiran Probolinggo 25 Desember 
1934 itu telah menerbitkan dua buku teks, 24 penelitian kolaboratif 
internasional, 86 jurnal ilmiah internasional, 44 presentasi simposium 
internasional, 44 publikasi jurnal nasional, dan 77 presentasi imiah nasional. 

Sebagian karya ilmiahnya dipublikasikan di jurnal internasional Physical 
Review, Nuclear Physics, Physica C, International Journal of Quantum Chemistry, 
Review of Laser Engineering, dan Journal of Non-linear Optical Physics. 

Tjia menyelesaikan studi sebagai sarjana fisika pada 1962 di ITB. Setahun 
kemudian dia melanjutkan belajar fisika partikel di Northwestern University, 
Amerika Serikat, hingga meraih PhD pada 1969 dengan tesis berjudul 
�Saturation of A Chiral Charge-Current Commutator. 

Pada 1966, risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS Liu masuk Physical 
Review Letters dengan judul Quark Model Approach in the Semileptonic Reaction. 

Pada awal 1960-an, para sarjana fisika di Indonesia baru mempelajari partikel 
kuantum dan kosmologi relativistik. Dua bidang itu yang mengubah pandangan 
dunia secara radikal-revolusioner awal abad XX tentang alam semesta dan 
asal-usulnya. Sepuluh tahun kemudian, di Indonesia hanya ada lima nama yang 
punya otoritas untuk berbicara tentang kuantum dan relativitas. Salah seorang 
di antara mereka adalah Tjia. Empat nama lain kala itu adalah Ahmad Baiquni, 
Muhammad Barmawi, Pantur Silaban, dan Jorga Ibrahim. Mereka adalah angkatan 
pertama yang jumlah penerusnya relatif sedikit dibandingkan dengan bidang 
fisika terapan. 

Tjia juga sempat ikut riset di International Center of Theoretical Physics 
(ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan peraih hadiah Nobel asal 
Pakistan, Abdus Salam. Saat itulah, dia meninggalkan fisika partikel dan 
memasuki riset polimer, optik nonlinier, dan superkonduktor. Dalam dua bidang 
terakhir itu, namanya menginternasional. 

Penggemar musik klasik karya Bach, Haydn, Mozart, dan Beethoven itu lantas 
mengkritisi kebijakan pemerintah Indonesia yang kurang berpihak kepada 
pengembangan ilmu. Salah satu contohnya, tegas dia, adalah rendahnya 
kesejahteraan secara finansial yang diberikan pemerintah kepada ilmuwan dan 
peneliti. ''Saya tidak mencontohkan siapa-siapa, Anda lihat saya saja,'' ujar 
penerima penghargaan Satyalencana Karya Satya itu. 

Tjia menceritakan, dia pensiun dari ITB dengan gaji Rp 2,4 juta. Sampai 
sekarang, dia bahkan tetap tinggal di kompleks perumahan pegawai ITB. Layaknya 
pegawai negeri sipil (PNS) lain, untuk memenuhi kebutuhan dapurnya, dia bahkan 
masih sering ''mengamen'' mengajar di kampus lain. ''Seminggu dua kali saya 
mengajar di Universitas Indonesia (UI), naik kereta biar bisa baca-baca,'' 
tuturnya.

Tjia juga menyinggung seputar riset Indonesia yang tertinggal jauh dari negara 
lain. Semua, lanjut dia, mengarah kepada kesalahan pada sistem riset di 
Indonesia. Pertama, karena memandang orang secara pragmatis, berdasarkan gelar 
saja. Kedua, Indonesia belum sadar akan kekuatan riset. Dan, selanjutnya adalah 
paradigma pemerataan yang menyesatkan. 

Soal gelar itu, Tjia konsisten. Ketika dia menjabat sekretaris jurusan 
(satu-satunya jabatan birokrasi yang pernah dia emban), dia mengusulkan agar 
setiap papan nama staf pengajar ITB tidak mencantumkan gelar. Dan, itu dia 
lakukan selama menjabat. 

''Zaman sekarang, setelah jadi doktor, orang terus merasa jadi gusti,'' 
kritiknya. ''Indonesia punya banyak doktor, tapi banyak yang mandul!'' 
sambungnya. 

Di Amerika Serikat (AS), terang Tjia, seorang ilmuwan bisa saja masuk ke dunia 
birokrat. Menjadi kepala NASA, misalnya. Namun, di AS, track record seorang 
calon kepala NASA benar-benar dilihat. Jadi, karya-karyanya berupa hasil 
penelitian atau publikasinya yang menjadi pertimbangan. Di sana, terang dia, 
orang yang benar-benar teruji dan berpengalaman saja yang bisa duduk di posisi 
strategis semacam itu. ''Hasilnya jelas memuaskan, kebijakan-kebijakannya 
benar-benar mengena dan dapat membangun,'' tegasnya. 

Menurut Tjia, hal itu menjelaskan mengapa di Indonesia banyak kebijakan, 
terutama di dalam dunia sains dan teknologi, yang tidak mengena dan terkadang 
justru melenceng jauh. Selain itu, banyak dana riset hanya terbuang percuma 
karena tidak efektif dan efisien akibat orang-orang yang berkecimpung di 
dalamnya hanya bergelar doktor, tanpa karya dan kompetensi nyata. 

***

Menurut Tjia, pengajaran fisika di Indonesia justru membunuh kreativitas 
murid.. Baik yang diajarkan di setingkat SMP maupun SMA. Dia mencontohkan, 
proses mengajar selama ini hanya ditekankan kepada satu proses pemahaman 
fenomena alam, atau lazim dikenali sebagai proses deduktif. Bila cara itu yang 
digunakan, proses itu tidak akan berhasil membuat anak menjadi kritis analitis. 
Justru efek sampingnya membunuh kreativitas anak. Terutama dalam upaya menyisir 
fakta-fakta dari fenomena rumit untuk menghasilkan konsep hipotesis atau model 
teori yang sederhana. 

''Mengapa negara kita semrawut? Jawabannya karena orang hukum hanya bicara 
bukti, bukan fakta,'' katanya. 

Dalam pengajaran fisika di sekolah-sekolah menengah di Indonesia, menurut Tjia, 
anak diajarkan terlatih menurunkan rumus. Namun, sebaliknya, anak tidak diberi 
ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari 
fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. ''Padahal, dalam 
melakukan generalisasi inilah, tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena 
alam,'' katanya. (zul/kum)
 
--- On Mon, 9/22/08, Zarot Broken <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Zarot Broken <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [GM2020] Prof. Tjia May On MALU
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Monday, September 22, 2008, 10:52 PM






ja bo bohito mo huwoo.....!!
wau dipoluo samaskali u pilohutu u moo piyohu UNG wau hulanthalo.
bo mo huwoo ti sambe damango.
 



Pada tanggal 23/09/08, my <myncokimori@ yahoo.com> menulis:










saya kenal prof tjia semasa di itb karena ada teman saya yang di bimbing oleh 
beliau kini s3 di jerman, awalnya saya ketemu beliau sampaikan salam dari 
profeesor yang pernah bimbing saya di malaysia dan kenal baik prof  tjia 
dan prof barmawi, saya tiba di ruangannya beliau senang dan begitu juga setiap 
ada seminar prof. tjia tetap mau beteman. 
Beda dengan professor yang di daerah mereka kalau sudah profeesor malah mau 
berdebat dengan kami yang masih kecil kalau prof tjia beliau membimbing dan 
menganggap bukan  pesaing, saya pernah berdebat dengan profesor di daerah 
tentang guage theory malah saya di tanya apa itu gauge saya jawab meteran 
...malah ditertawain .. malah dia bukan doktor dalam pure physics. saya juga 
minat cosmology malah di tanyakan kosmos. 
 
Prof.  Wilardjo memang seorang ilmuwan teraik di negeri ini. 
Kalau di daerah profesor itu bukan main pakai dasi ke bandara pun pakai dasi, 
kalau prof wilardjo waktu saya ketemu di bandara hanya biasa2 saja malah mau 
mengobrol. 
 
kalau di tempat saya mencari makan alias kampus tempat saya mengajar dengan 
gaya prof. wilardjo itu akan menjadi bahan omelan orang karena berpakaian 
begitu2 saja. 
 
 
 
 
 
 
 
 
and_sty0388@ yahoo.co. id
 
Tidak salah ketika orang menjadi besar dan ingin ditepuk bahunya.
Akan tetapi bila hanya itu yang dikejar apalah guna.
Hidup adalah Pelayanan... .
Mencontohkan seorang Prof. Liek Wilardjo yang senantiasa mengajar kami
di UKSW(Universitas Kristen Satya Wacana) dengan sederhana. Beliau
boleh dikata salah seorang Profesor yang cukup dikenal di Indonesia.
Namun pakaian sederhananya tak menggambarkan keperkasaannya, Topi
sedikit lusuh(bagiku) pun jadi barang bawaannya tiap kali masuk kelas.
Tak lupa pula botol minum kesayangan beliau. Rambut putihnya
menggambarkan usianya yang tak lagi muda. Namun semangat untuk
melayani Nyata dalam pribadinya. Saatnya kita punya hati yang tulus
melayani bangsa kita. Teriring salam dari kota sejuk nan asri
SALATIGA. UKSW(Universitas Kristen Satya Wacana).



Messages in this topic (2) Reply (via web post) | Start a new topic 
Messages | Files | Photos | Calendar 
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
**  Arsip          : http://members. tripod.com/ ~fisika/ 
**  Ingin Berhenti : silahkan mengirim email kosong ke : 
                     <fisika_indonesia- unsubscribe@ yahoogroups. com> 


 














      

Reply via email to