Nice article, Thx

Salam,
AL

2008/10/10 imusafir <[EMAIL PROTECTED]>

>
> Assalamualaikum All
> Sebelumnya kami mengucapkan kepada seluruh member GM2020
> selamat hari raya idul fitri mohon maaf lahir dan batin.
> artikel di bawah ini saya foward, semoga bisa menambah wawasan teman-
> teman dimilis ini.
>
> wasalam
> Imusafir
>
> Muslim Amerika
> Paranoia Terorisme Tergerus Resolusi Pengakuan
>
> Pada suatu hari di awal tahun 2009, Barack Obama bangun dan menyadari
> bahwa ia telah tiba di pintu gerbang surga. Pada saat itulah ia
> ditanya malaikat penjaga gerbang.
>
> ''Siapa namamu?''
>
> Obama menjawab dengan menyebutkan nama lengkapnya, ''Barack Husein
> Obama II.''
>
> ''Berarti kamu beragama Islam?''
>
> ''Bukan. Saya beragama Kristen. Nama itu berasal dari nama mendiang
> ayah saya, Barack Obama Sr., kelahiran Kenya dan ia memang beragama
> Islam.''
>
> ''Lalu, apa kerjamu?''
>
> ''Saya Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih.''
>
> ''Kapan?''
>
> ''Beberapa menit lalu...!''
>
> ***
>
> Lelucon itu tersebar di kalangan lingkaran dalam (inner circle)
> kelompok ultra-konservatif Amerika Serikat, yang tak sempat bocor ke
> luar. Meski begitu, lelucon pahit itu mengandung arti cukup besar:
> ada kelompok tertentu yang masih tidak menyukai lahirnya seorang
> presiden kulit hitam dan malah namanya berbau muslim. ''Ah, bagaimana
> mungkin Amerika Serikat menjadi negara yang diperintah seorang
> muslim?'' tutur seorang pendukung Republik bernama samaran William
> Tunderstorm, yang kecewa dengan kemenangan Obama atas Hillary Clinton
> dari Demokrat.
>
> Sentimen anti-Islam yang kini masih melekat di kalangan tertentu di
> Amerika Serikat memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Peristiwa
> berdarah 11 September 2001, yang menelan sedikitnya 3.000 jiwa, itu
> menyebabkan wajah kaum muslim di Amerika tercoreng dan dikucilkan.
> Enam juta warga muslim yang berdiam di Amerika, yang umumnya berasal
> dari negara-negara Arab dan negara miskin, menjadi sasaran utama
> Gedung Putih dalam melakukan tindakan pengamanan.
>
> Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security)
> mulai memangkas jumlah pemohon kartu hijau (green card) bagi mereka
> yang berasal dari negara-negara muslim, seperti Iran, Pakistan, dan
> Maroko. Pada 2003, jumlah imigran yang datang dari 22 negara makin
> menyusut hingga sepertiganya. Bahkan pengunjung dari negara-negara
> itu melorot sampai 50%. Sejumlah faktor penentu, seperti permohonan
> visa yang ditolak demi keamanan, menyebabkan jumlah pemohon visa ke
> Amerika makin sedikit.
>
> Tapi itu tidak berlangsung lama. Pada 2004, jumlah pemohon visa
> membludak kembali. Bahkan pendatang dari sejumlah negara muslim,
> seperti Bangladesh, Turki, dan Aljazair, meningkat 20%. Dari
> Indonesia, misalnya, pada 2004, tercatat 55.000 warga Indonesia yang
> diberi visa masuk ke Amerika. Jumlah ini melebihi jumlah pada 2002,
> yang hanya 36.000. Seperti kaum imigran lainnya, kaum muslim berhasil
> masuk ke Amerika dengan berbagai cara. Entah lewat proses asilum
> politik, pengungsian, menjadi pelajar, atau turis.
>
> Geliat Imigran Muslim
>
> Banyak pula di antara mereka yang mendapat visa imigran karena
> dijamin sanak keluarganya yang sudah menjadi warga Amerika Serikat.
> Seperti dialami Ahmad Yusuf. Lelaki Mesir berusia 29 tahun yang
> menjadi guru bahasa Arab di negaranya itu beruntung karena berhasil
> memenangkan lotere kartu hijau. Ia salah satu dari 50.000 warga asing
> yang disaring dari 9,5 juta pemohon visa kartu hijau lewat undian.
>
> Ia berangkat dari kota Benha, kota kecil di Utara Kairo, Mesir, dan
> tiba di Washington Heights, New York, yang terkenal sebagai
> permukiman perkampungan Mesir. Saban hari, sejak pagi hingga larut
> malam, ia bertugas mengangkut hotdog di kawasan itu. Sampai-sampai,
> ia lupa sudah berada di Amerika. ''Kapan saya melihat Amerika?''
> selorohnya bersama teman-teman senasibnya.
>
> Untunglah, tiga bulan kemudian, ia diminta berjualan hotdog di
> Seventh Avenue. Sejak itulah Yusuf merasakan bahwa ia berada di
> Amerika. Di sana, ia kerap berbuat kesalahan. Ketika waktu salat
> tiba, Yusuf tak segan-segan menggelar sajadah dan bersembahyang di
> dekat tempat jualannya. Atasannya, yang juga muslim, marah-
> marah. ''Jangan lagi salat di tempat umum begini. Nanti kita dikira
> ekstremis atau teroris!'' bentaknya kepada Yusuf.
>
> Penderitaan itu berakhir tatkala Yusuf diterima menjadi sekretaris di
> Islamic Center Jersey City. Ia kini mengikuti kuliah program master
> bidang bahasa Arab di Columbia University. Ia tidak lagi tinggal di
> ranjang sempit dan kotor, melainkan di sebuah kamar cukup layak di
> bagian atas masjid. ''Saya kini lebih baik ketimbang jualan hotdog,''
> ujarnya.
>
> Penderitaan kaum imigran muslim makin berat setelah peristiwa 11
> September 2001. Mereka yang biasanya hidup tenang dan bisa
> bersembunyi di antara warga asing harus ditahan karena melanggar izin
> tinggal. Itu terjadi pada Desember 2003. Sebanyak 700 warga Pakistan
> yang tak melapor, 16 Desember lalu, ditahan di penjara imigrasi South
> California. Tuduhannya, melanggar aturan imigrasi.
>
> Mudah ditebak, beleid baru itu muncul gara-gara paranoia terorisme
> tengah menerpa Presiden George W. Bush. Maka, para pendatang harus
> dicatat dan diperiksa. Perantau dari Irak, Iran, dan Libya yang
> paling dicurigai. Mereka masuk dalam kelompok I. Pada kelompok II dan
> III, ada deretan beberapa negara, termasuk Pakistan dan Yaman.
> Indonesia masuk kelompok IV bersama Bangladesh, Kuwait, Mesir, dan
> Yordania.
>
> Amerika Serikat memang menjadi negara tujuan pendatang gelap. Di
> negeri kaya itu, kini terdapat hampir 35 juta imigran. Diperkirakan
> baru 30.000 yang mau mendaftar. Beleid baru Amerika itu pun
> menimbulkan eksodus besar-besaran warga Pakistan dari Amerika menuju
> Kanada. Seorang di antaranya adalah Faroukh Khan, 40 tahun, sopir
> taksi yang sudah 10 tahun tinggal di Bronx, New York.
>
> Bersama istri dan tiga anaknya, Faroukh hijrah ke Kanada saat malam
> gelap berhawa dingin 10 derajat celsius di bawah 0. Mereka menuju
> Stasiun Bus Greyhound di Manhattan. Dari sana, Faroukh menuju
> Plattsburgh, daerah terdekat ke Kanada, menempuh enam jam perjalanan.
>
> Dengan menyewa taksi, keluarga Faroukh bergegas dari Plattsburgh ke
> perbatasan Kanada. Mereka berharap mendapat suaka politik di negeri
> makmur itu. Di kantor imigrasi Kanada di Lacolle Center, selatan
> Montreal, suasananya ramai dan tegang. Ratusan warga Pakistan
> berjalan meniti jembatan menuju kantor imigrasi. Pada malam itu,
> setidaknya 200 orang Pakistan antre untuk mengisi surat aplikasi
> asilum (suaka politik) dan izin kerja.
>
> Derita warganya akibat perlakuan buruk Amerika itu membuat Pemerintah
> Pakistan melancarkan protes keras. Menteri Luar Negeri Pakistan,
> Khursid Mahmood Kasuri, terbang ke New York, Selasa pekan lalu. Ia
> pun mendesak agar negaranya, yang mengirim 500.000 warga ke Amerika,
> dilepas dari daftar wajib lapor. "Warga Pakistan sudah puluhan tahun
> menetap secara baik-baik di Amerika, tidak pernah melakukan
> kejahatan. Mereka seharusnya diberi amnesti," kata Kasuri.
>
> Upaya Kasuri membawa hasil. Sehari setelah pernyataannya itu,
> sejumlah kantor imigrasi di beberapa kota menyatakan tidak melayani
> imigran dari Pakistan. Seperti terlihat di kantor imigrasi
> Pittsburgh, Pennsylvania. Sejumlah pelapor Pakistan yang sudah antre
> diminta pulang. "Kami diperintahkan tak melanjutkan registrasi bagi
> warga Pakistan. Besar kemungkinan mereka juga dicoret dari daftar
> wajib lapor," kata seorang petugas imigrasi setempat.
>
> Lama-kelamaan, kaum muslim di Amerika mendapat perlindungan dan jasa
> keimigrasian dari berbagai badan sosial. Termasuk, antara lain, dari
> pengusaha lokal Moe Razvi, yang memberikan kursus gratis bahasa
> Inggris dan komputer serta pengetahuan hukum. Kini mereka, warga
> Pakistan di New York, tidak lagi eksklusif.
>
> Mereka berbaur dengan warga setempat dan bahkan, pada saat keramaian
> tertentu seperti hari kemerdekaan Pakistan, mereka melambai-lambaikan
> bendera Amerika Serikat. ''Mereka harus membuktikan diri bahwa mereka
> adalah muslim Amerika dan bukan seperti warga Pakistan, Mesir, atau
> warga asing lainnya,'' tutur Zahid H. Bukhari, Direktur American
> Muslim Studies Program di Georgetown University.
>
> Resolusi Pengakuan Bulan Ramadan
>
> Puncaknya terjadi pada 10 Mei 2005. Hari itu, Kongres Amerika Serikat
> dengan suara bulat, 376-0, menyetujui rancangan undang-undang yang
> berisi resolusi mengakui bulan Ramadan sebagai bulan suci umat Islam.
> Dengan resolusi itu, Pemerintah Amerika Serikat akan memberikan
> penghormatan sedalam-dalamnya pada bulan suci Ramadan serta siap
> melindungi umat Islam dari perbuatan kriminal dan tidak toleran
> ketika beribadah.
>
> Resolusi bersejarah itu diusulkan senator asal Texas, Eddie Bernice
> Johnson, dan didukung penuh (co-sponsored) 30 senator lainnya,
> termasuk Keith Ellison, senator asal Minnesota. Ellison adalah muslim
> pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres.
>
> Senator asal California, Brad Sherman, yang termasuk di barisan
> terdepan pendukung resolusi, mengatakan bahwa Ramadan mengajarkan
> tentang pentingnya meningkatkan iman, keluarga, dan masyarakat yang
> merupakan nilai-nilai luhur. Karena itu, sangat penting bagi Kongres
> mengakui peringatan itu dan menunjukkan penghormatan terhadap muslim
> di Amerika dan seluruh dunia,'' katanya.
>
> Direktur Eksekutif Dewan Urusan Muslim Pemerintah Amerika Serikat,
> Salam Al-Marayati, mengatakan bahwa keputusan Kongres itu merupakan
> lompatan bersejarah bagi Amerika. ''Keputusan Kongres itu merupakan
> penguatan atas tradisi penghargaan pluralisme dan toleransi beragama
> yang sangat kuat di negara kami,'' ujarnya.
>
> Presiden Bush juga melanjutkan tradisi buka puasa bersama di Gedung
> Putih. Jaringan kantor berita VOA melaporkan, pada buka puasa yang
> ketujuh di Gedung Putih, pemerintahan Bush menjadikan para wanita
> muslim Amerika yang berkontribusi besar atas pengembangan ilmu
> pengetahuan, pendidikan, seni, dan kebudayaan sebagai tamu spesial.
>
> Dalam pidato sebelum azan magrib, Presiden Bush menyatakan, Ramadan
> adalah waktu yang tepat untuk beramal kepada orang yang kurang
> beruntung. Selain itu, Ramadan adalah saat yang tepat untuk
> menunjukkan kebudayaan Islam yang selama ini ikut memperkaya
> peradaban dunia.
>
> Tradisi itu dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Bill Clinton.
> Pada 1996, Ibu Negara Hillary Clinton pertama kali mengundang tamu
> muslim dalam acara Idul Fitri atau buka puasa bersama. Menurut
> Hillary, ia secara pribadi belajar banyak mengenai Islam dari Huma M.
> Abedin dan bahkan banyak mengutip ayat Al-Quran dalam beberapa
> pidatonya.
>
> Seperti diketahui, Huma Abedin adalah pembantu dekat Hillary Clinton
> kelahiran Kalamazoo, Michigan. Ayahnya seorang muslim dan ahli Timur
> Tengah yang meninggal pada saat Huma berusia 17 tahun. Sedangkan
> ibunya --berdarah Pakistan-- seorang profesor ahli Arab Saudi. Huma
> kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di George Washington
> University, sebelum akhirnya menjadi pegawai magang di Gedung Putih
> pada 1966 dan sampai kini menjadi pendamping Hillary Clinton. Ia
> bertugas sebagai kepala staf protokol dan perjalanan Hillary ketika
> mantan ibu negara ini mencalonkan diri menjadi presiden pada 2008.
>
> Sebelumnya, acara buka puasa bersama dan Idul Fitri juga sering
> digelar di Gedung Putih atau Departemen Luar Negeri oleh Menteri Luar
> Negeri Madeline Albright, yang berdarah Yahudi, pada tahun 2000.
> Acara ini kemudian menjadi acara rutin yang digelar para Menteri Luar
> Negeri Amerika Serikat, seperti Colin Powell. Bahkan, pada 30
> November 2001, Deputi Menteri Luar Negeri, Paul Wolfowitz, selalu
> mengawali sambutannya dengan kata-kata assalamualaikum, yang
> dipelajarinya ketika ia menjadi Duta Besar Amerika untuk Indonesia.
>
> Yang tak kalah pentingnya adalah upaya menghilangkan prasangka buruk
> warga Amerika terhadap Islam yang dilakukan Syamsi Ali. Imam
> kelahiran Bulukumba yang menjadi juru bicara kaum muslim Amerika ini
> senantiasa menjelaskan bahwa Islam bukanlah agama yang membenci umat
> lain, melainkan, ''Mengangkat derajat semua umat manusia,'' kata
> Syamsi Ali di depan sekitar 50.000 pengunjung yang hadir dalam
> acara ''A Prayer for America'' di Stadion Yankee, New York, 23
> September 2004.
>
> Di antara yang hadir pada waktu itu adalah Oprah Winfrey, mantan
> Presiden Bill Clinton dan istrinya, Senator Hillary Clinton, serta
> pejabat New York, seperti Wali Kota New York George Pataki dan
> Gubernur Rudolph Guiliani yang berdarah Yahudi.
>
> Syamsi Ali, yang juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim
> Center, yayasan dan pengurus masjid di kawasan timur New York yang
> dikelola komunitas Pakistan, Bangladesh, dan India, tak lupa mengutip
> surat Al-Hujurat ayat 13, yang intinya bercerita tentang asal-usul
> manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa. Tidak ada
> bangsa yang paling tinggi derajatnya, karena yang termulia adalah
> yang paling bertakwa. "Islam tak membenci umat lain. Justru Islam
> datang untuk mengangkat derajat semua manusia," kata Syamsi Ali.
>
> "Inilah tugas kami untuk memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam
> yang rahmatan lil 'alamin," ujar Syamsi Ali, yang sehari-hari menjadi
> staf administrasi di Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di
> New York.
>
> Dialog Muslim-Yahudi
>
> Pada 22 Oktober 2007, Syamsi Ali menjadi pembicara, bersama Rabbi
> Marc Shneier dari East New York Synagogue, dalam acara "Dialog Muslim-
> Yahudi: Tantangan dan Peluang Hubungan di Masa Depan". Acara yang
> dihadiri lebih dari 400 mahasiswa dan profesor Universitas New York
> itu, menurut Syamsi Ali, berjalan hangat dan seru. Moderator diskusi,
> Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku Moses and Jesus in
> Dialogue, bertanya tentang sikap Syamsi Ali jika suatu ketika ada
> muslim, yang dalam bahasa Cohen disebut "a mullah", ingin mendirikan
> negara Islam di Amerika.
>
> Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka
> geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa "syariat-fobia" yang
> masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya
> dikurangi. "Amerika lebih pantas untuk dikatakan negara Islam
> ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam pada saat
> ini," ujarnya. Amerika, katanya, telah banyak menegakkan syariat
> Islam ketimbang negara-negara yang mengaku menerapkan syariat Islam.
>
> Untuk itu, seorang muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam
> Islam tidak akan pernah memasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-muslim
> juga seharusnya tidak perlu terlalu khawatir akan hal itu.
>
> Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang
> muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah hal yang mustahil. Hukum-
> hukum yang mengatur kehidupan seorang muslim, mulai masalah keimanan,
> ritual, hingga masalah muamalat (hubungan antar-makhluk) masuk dalam
> kategori syariat. Untuk itu, memutuskan hubungan kehidupan seorang
> muslim dengan syariat sama dengan memisahkan antara daging dan
> darahnya.
>
> Di setiap acara apa pun, Syamsi Ali selalu mengatakan, kehadiran umat
> Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya harus
> disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih besar untuk
> menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur
> untuk menanamkan nilai-nilai syariat yang universal itu. "Amerika
> bukan musuh. Amerika adalah lahan subur untuk Islam,'' ia menegaskan.
>
> Pada 5 Nopember 2007, Syamsi Ali juga tampil dalam acara talkshow
> televisi "Face to Face, Faith to Faith". Acara yang dipandu moderator
> kondang Katie Couric, pembawa acara jaringan televisi NBC, itu
> menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada
> Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick
> Church, dan Syamsi Ali. Lebih dari 500 tamu hadir, memenuhi ruangan
> Gotham Building di Broadway yang terkenal mahal. Meja utama dijual
> dengan harga US$ 50.000 per meja, dengan kapasitas delapan orang.
>
> Sebelum memulai acara dialog, Katie Couric mengatakan bahwa dirinya
> sudah mempelajari semua agama, seperti Kristen, Yahudi, dan Islam.
> Makin dalam ia mempelajari agama-agama itu, makin dalam pula
> penyesalan dirinya karena telah salah persepsi terhadap agama,
> khususnya Islam. Mulai saat itu, Katie bersumpah untuk lebih
> menghargai dan menghormati Islam dan kaum muslim.
>
> Didi Prambadi (Philadelphia)
> [Komunitas Islam Luar Negeri, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 2
> Oktober 2008]
>
>  
>

Reply via email to