Assalam'alaikum, k bram....debby minta tolong donk pengen tau gimana pendapat k 
bram tentang peluang Obama menjadi presiden Amerika?
Debby sering diskusi dan cari tau sama temen yang lagi kuliah di Ohio, mereka 
bilang peluangnya fifty fifty? Bila dia menang, bagaimana hubungan Amerika dan 
negara-negara berkembang di dunia?akankah tetap adikuasa yang liberal, atau 
adikuasa terbatas?(ehhehe itu cuma debby pe istilah)
Kalau bisa gambarannya dari berbagai sisi ya, supaya feeling Debby bahwa Obama 
akan menang paling tidak punya dasar. Kalau dilihat dari Indonesia siiih, 
sepertinya peluang Obama cukup besar.

--- Pada Jum, 10/10/08, Agus Lahinta <[EMAIL PROTECTED]> menulis:

Dari: Agus Lahinta <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: Re: [GM2020] Muslim Amerika
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 10 Oktober, 2008, 7:42 PM







Nice article, Thx

Salam,
AL


2008/10/10 imusafir <[EMAIL PROTECTED] com>







Assalamualaikum All
Sebelumnya kami mengucapkan kepada seluruh member GM2020
selamat hari raya idul fitri mohon maaf lahir dan batin.
artikel di bawah ini saya foward, semoga bisa menambah wawasan teman- 
teman dimilis ini.

wasalam
Imusafir

Muslim Amerika
Paranoia Terorisme Tergerus Resolusi Pengakuan

Pada suatu hari di awal tahun 2009, Barack Obama bangun dan menyadari 
bahwa ia telah tiba di pintu gerbang surga. Pada saat itulah ia 
ditanya malaikat penjaga gerbang.

''Siapa namamu?''

Obama menjawab dengan menyebutkan nama lengkapnya, ''Barack Husein 
Obama II.''

''Berarti kamu beragama Islam?''

''Bukan. Saya beragama Kristen. Nama itu berasal dari nama mendiang 
ayah saya, Barack Obama Sr., kelahiran Kenya dan ia memang beragama 
Islam.''

''Lalu, apa kerjamu?''

''Saya Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih.''

''Kapan?''

''Beberapa menit lalu...!''

***

Lelucon itu tersebar di kalangan lingkaran dalam (inner circle) 
kelompok ultra-konservatif Amerika Serikat, yang tak sempat bocor ke 
luar. Meski begitu, lelucon pahit itu mengandung arti cukup besar: 
ada kelompok tertentu yang masih tidak menyukai lahirnya seorang 
presiden kulit hitam dan malah namanya berbau muslim. ''Ah, bagaimana 
mungkin Amerika Serikat menjadi negara yang diperintah seorang 
muslim?'' tutur seorang pendukung Republik bernama samaran William 
Tunderstorm, yang kecewa dengan kemenangan Obama atas Hillary Clinton 
dari Demokrat.

Sentimen anti-Islam yang kini masih melekat di kalangan tertentu di 
Amerika Serikat memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Peristiwa 
berdarah 11 September 2001, yang menelan sedikitnya 3.000 jiwa, itu 
menyebabkan wajah kaum muslim di Amerika tercoreng dan dikucilkan. 
Enam juta warga muslim yang berdiam di Amerika, yang umumnya berasal 
dari negara-negara Arab dan negara miskin, menjadi sasaran utama 
Gedung Putih dalam melakukan tindakan pengamanan.

Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security) 
mulai memangkas jumlah pemohon kartu hijau (green card) bagi mereka 
yang berasal dari negara-negara muslim, seperti Iran, Pakistan, dan 
Maroko. Pada 2003, jumlah imigran yang datang dari 22 negara makin 
menyusut hingga sepertiganya. Bahkan pengunjung dari negara-negara 
itu melorot sampai 50%. Sejumlah faktor penentu, seperti permohonan 
visa yang ditolak demi keamanan, menyebabkan jumlah pemohon visa ke 
Amerika makin sedikit.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Pada 2004, jumlah pemohon visa 
membludak kembali. Bahkan pendatang dari sejumlah negara muslim, 
seperti Bangladesh, Turki, dan Aljazair, meningkat 20%. Dari 
Indonesia, misalnya, pada 2004, tercatat 55.000 warga Indonesia yang 
diberi visa masuk ke Amerika. Jumlah ini melebihi jumlah pada 2002, 
yang hanya 36.000. Seperti kaum imigran lainnya, kaum muslim berhasil 
masuk ke Amerika dengan berbagai cara. Entah lewat proses asilum 
politik, pengungsian, menjadi pelajar, atau turis.

Geliat Imigran Muslim

Banyak pula di antara mereka yang mendapat visa imigran karena 
dijamin sanak keluarganya yang sudah menjadi warga Amerika Serikat. 
Seperti dialami Ahmad Yusuf. Lelaki Mesir berusia 29 tahun yang 
menjadi guru bahasa Arab di negaranya itu beruntung karena berhasil 
memenangkan lotere kartu hijau. Ia salah satu dari 50.000 warga asing 
yang disaring dari 9,5 juta pemohon visa kartu hijau lewat undian.

Ia berangkat dari kota Benha, kota kecil di Utara Kairo, Mesir, dan 
tiba di Washington Heights, New York, yang terkenal sebagai 
permukiman perkampungan Mesir. Saban hari, sejak pagi hingga larut 
malam, ia bertugas mengangkut hotdog di kawasan itu. Sampai-sampai, 
ia lupa sudah berada di Amerika. ''Kapan saya melihat Amerika?'' 
selorohnya bersama teman-teman senasibnya.

Untunglah, tiga bulan kemudian, ia diminta berjualan hotdog di 
Seventh Avenue. Sejak itulah Yusuf merasakan bahwa ia berada di 
Amerika. Di sana, ia kerap berbuat kesalahan. Ketika waktu salat 
tiba, Yusuf tak segan-segan menggelar sajadah dan bersembahyang di 
dekat tempat jualannya. Atasannya, yang juga muslim, marah-
marah. ''Jangan lagi salat di tempat umum begini. Nanti kita dikira 
ekstremis atau teroris!'' bentaknya kepada Yusuf.

Penderitaan itu berakhir tatkala Yusuf diterima menjadi sekretaris di 
Islamic Center Jersey City. Ia kini mengikuti kuliah program master 
bidang bahasa Arab di Columbia University. Ia tidak lagi tinggal di 
ranjang sempit dan kotor, melainkan di sebuah kamar cukup layak di 
bagian atas masjid. ''Saya kini lebih baik ketimbang jualan hotdog,'' 
ujarnya.

Penderitaan kaum imigran muslim makin berat setelah peristiwa 11 
September 2001. Mereka yang biasanya hidup tenang dan bisa 
bersembunyi di antara warga asing harus ditahan karena melanggar izin 
tinggal. Itu terjadi pada Desember 2003. Sebanyak 700 warga Pakistan 
yang tak melapor, 16 Desember lalu, ditahan di penjara imigrasi South 
California. Tuduhannya, melanggar aturan imigrasi.

Mudah ditebak, beleid baru itu muncul gara-gara paranoia terorisme 
tengah menerpa Presiden George W. Bush. Maka, para pendatang harus 
dicatat dan diperiksa. Perantau dari Irak, Iran, dan Libya yang 
paling dicurigai. Mereka masuk dalam kelompok I. Pada kelompok II dan 
III, ada deretan beberapa negara, termasuk Pakistan dan Yaman. 
Indonesia masuk kelompok IV bersama Bangladesh, Kuwait, Mesir, dan 
Yordania.

Amerika Serikat memang menjadi negara tujuan pendatang gelap. Di 
negeri kaya itu, kini terdapat hampir 35 juta imigran. Diperkirakan 
baru 30.000 yang mau mendaftar. Beleid baru Amerika itu pun 
menimbulkan eksodus besar-besaran warga Pakistan dari Amerika menuju 
Kanada. Seorang di antaranya adalah Faroukh Khan, 40 tahun, sopir 
taksi yang sudah 10 tahun tinggal di Bronx, New York.

Bersama istri dan tiga anaknya, Faroukh hijrah ke Kanada saat malam 
gelap berhawa dingin 10 derajat celsius di bawah 0. Mereka menuju 
Stasiun Bus Greyhound di Manhattan. Dari sana, Faroukh menuju 
Plattsburgh, daerah terdekat ke Kanada, menempuh enam jam perjalanan.

Dengan menyewa taksi, keluarga Faroukh bergegas dari Plattsburgh ke 
perbatasan Kanada. Mereka berharap mendapat suaka politik di negeri 
makmur itu. Di kantor imigrasi Kanada di Lacolle Center, selatan 
Montreal, suasananya ramai dan tegang. Ratusan warga Pakistan 
berjalan meniti jembatan menuju kantor imigrasi. Pada malam itu, 
setidaknya 200 orang Pakistan antre untuk mengisi surat aplikasi 
asilum (suaka politik) dan izin kerja.

Derita warganya akibat perlakuan buruk Amerika itu membuat Pemerintah 
Pakistan melancarkan protes keras. Menteri Luar Negeri Pakistan, 
Khursid Mahmood Kasuri, terbang ke New York, Selasa pekan lalu. Ia 
pun mendesak agar negaranya, yang mengirim 500.000 warga ke Amerika, 
dilepas dari daftar wajib lapor. "Warga Pakistan sudah puluhan tahun 
menetap secara baik-baik di Amerika, tidak pernah melakukan 
kejahatan. Mereka seharusnya diberi amnesti," kata Kasuri.

Upaya Kasuri membawa hasil. Sehari setelah pernyataannya itu, 
sejumlah kantor imigrasi di beberapa kota menyatakan tidak melayani 
imigran dari Pakistan. Seperti terlihat di kantor imigrasi 
Pittsburgh, Pennsylvania. Sejumlah pelapor Pakistan yang sudah antre 
diminta pulang. "Kami diperintahkan tak melanjutkan registrasi bagi 
warga Pakistan. Besar kemungkinan mereka juga dicoret dari daftar 
wajib lapor," kata seorang petugas imigrasi setempat.

Lama-kelamaan, kaum muslim di Amerika mendapat perlindungan dan jasa 
keimigrasian dari berbagai badan sosial. Termasuk, antara lain, dari 
pengusaha lokal Moe Razvi, yang memberikan kursus gratis bahasa 
Inggris dan komputer serta pengetahuan hukum. Kini mereka, warga 
Pakistan di New York, tidak lagi eksklusif.

Mereka berbaur dengan warga setempat dan bahkan, pada saat keramaian 
tertentu seperti hari kemerdekaan Pakistan, mereka melambai-lambaikan 
bendera Amerika Serikat. ''Mereka harus membuktikan diri bahwa mereka 
adalah muslim Amerika dan bukan seperti warga Pakistan, Mesir, atau 
warga asing lainnya,'' tutur Zahid H. Bukhari, Direktur American 
Muslim Studies Program di Georgetown University.

Resolusi Pengakuan Bulan Ramadan

Puncaknya terjadi pada 10 Mei 2005. Hari itu, Kongres Amerika Serikat 
dengan suara bulat, 376-0, menyetujui rancangan undang-undang yang 
berisi resolusi mengakui bulan Ramadan sebagai bulan suci umat Islam. 
Dengan resolusi itu, Pemerintah Amerika Serikat akan memberikan 
penghormatan sedalam-dalamnya pada bulan suci Ramadan serta siap 
melindungi umat Islam dari perbuatan kriminal dan tidak toleran 
ketika beribadah.

Resolusi bersejarah itu diusulkan senator asal Texas, Eddie Bernice 
Johnson, dan didukung penuh (co-sponsored) 30 senator lainnya, 
termasuk Keith Ellison, senator asal Minnesota. Ellison adalah muslim 
pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres.

Senator asal California, Brad Sherman, yang termasuk di barisan 
terdepan pendukung resolusi, mengatakan bahwa Ramadan mengajarkan 
tentang pentingnya meningkatkan iman, keluarga, dan masyarakat yang 
merupakan nilai-nilai luhur. Karena itu, sangat penting bagi Kongres 
mengakui peringatan itu dan menunjukkan penghormatan terhadap muslim 
di Amerika dan seluruh dunia,'' katanya.

Direktur Eksekutif Dewan Urusan Muslim Pemerintah Amerika Serikat, 
Salam Al-Marayati, mengatakan bahwa keputusan Kongres itu merupakan 
lompatan bersejarah bagi Amerika. ''Keputusan Kongres itu merupakan 
penguatan atas tradisi penghargaan pluralisme dan toleransi beragama 
yang sangat kuat di negara kami,'' ujarnya.

Presiden Bush juga melanjutkan tradisi buka puasa bersama di Gedung 
Putih. Jaringan kantor berita VOA melaporkan, pada buka puasa yang 
ketujuh di Gedung Putih, pemerintahan Bush menjadikan para wanita 
muslim Amerika yang berkontribusi besar atas pengembangan ilmu 
pengetahuan, pendidikan, seni, dan kebudayaan sebagai tamu spesial.

Dalam pidato sebelum azan magrib, Presiden Bush menyatakan, Ramadan 
adalah waktu yang tepat untuk beramal kepada orang yang kurang 
beruntung. Selain itu, Ramadan adalah saat yang tepat untuk 
menunjukkan kebudayaan Islam yang selama ini ikut memperkaya 
peradaban dunia.

Tradisi itu dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Bill Clinton. 
Pada 1996, Ibu Negara Hillary Clinton pertama kali mengundang tamu 
muslim dalam acara Idul Fitri atau buka puasa bersama. Menurut 
Hillary, ia secara pribadi belajar banyak mengenai Islam dari Huma M. 
Abedin dan bahkan banyak mengutip ayat Al-Quran dalam beberapa 
pidatonya.

Seperti diketahui, Huma Abedin adalah pembantu dekat Hillary Clinton 
kelahiran Kalamazoo, Michigan. Ayahnya seorang muslim dan ahli Timur 
Tengah yang meninggal pada saat Huma berusia 17 tahun. Sedangkan 
ibunya --berdarah Pakistan-- seorang profesor ahli Arab Saudi. Huma 
kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di George Washington 
University, sebelum akhirnya menjadi pegawai magang di Gedung Putih 
pada 1966 dan sampai kini menjadi pendamping Hillary Clinton. Ia 
bertugas sebagai kepala staf protokol dan perjalanan Hillary ketika 
mantan ibu negara ini mencalonkan diri menjadi presiden pada 2008.

Sebelumnya, acara buka puasa bersama dan Idul Fitri juga sering 
digelar di Gedung Putih atau Departemen Luar Negeri oleh Menteri Luar 
Negeri Madeline Albright, yang berdarah Yahudi, pada tahun 2000. 
Acara ini kemudian menjadi acara rutin yang digelar para Menteri Luar 
Negeri Amerika Serikat, seperti Colin Powell. Bahkan, pada 30 
November 2001, Deputi Menteri Luar Negeri, Paul Wolfowitz, selalu 
mengawali sambutannya dengan kata-kata assalamualaikum, yang 
dipelajarinya ketika ia menjadi Duta Besar Amerika untuk Indonesia.

Yang tak kalah pentingnya adalah upaya menghilangkan prasangka buruk 
warga Amerika terhadap Islam yang dilakukan Syamsi Ali. Imam 
kelahiran Bulukumba yang menjadi juru bicara kaum muslim Amerika ini 
senantiasa menjelaskan bahwa Islam bukanlah agama yang membenci umat 
lain, melainkan, ''Mengangkat derajat semua umat manusia,'' kata 
Syamsi Ali di depan sekitar 50.000 pengunjung yang hadir dalam 
acara ''A Prayer for America'' di Stadion Yankee, New York, 23 
September 2004.

Di antara yang hadir pada waktu itu adalah Oprah Winfrey, mantan 
Presiden Bill Clinton dan istrinya, Senator Hillary Clinton, serta 
pejabat New York, seperti Wali Kota New York George Pataki dan 
Gubernur Rudolph Guiliani yang berdarah Yahudi.

Syamsi Ali, yang juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim 
Center, yayasan dan pengurus masjid di kawasan timur New York yang 
dikelola komunitas Pakistan, Bangladesh, dan India, tak lupa mengutip 
surat Al-Hujurat ayat 13, yang intinya bercerita tentang asal-usul 
manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa. Tidak ada 
bangsa yang paling tinggi derajatnya, karena yang termulia adalah 
yang paling bertakwa. "Islam tak membenci umat lain. Justru Islam 
datang untuk mengangkat derajat semua manusia," kata Syamsi Ali.

"Inilah tugas kami untuk memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam 
yang rahmatan lil 'alamin," ujar Syamsi Ali, yang sehari-hari menjadi 
staf administrasi di Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di 
New York.

Dialog Muslim-Yahudi

Pada 22 Oktober 2007, Syamsi Ali menjadi pembicara, bersama Rabbi 
Marc Shneier dari East New York Synagogue, dalam acara "Dialog Muslim-
Yahudi: Tantangan dan Peluang Hubungan di Masa Depan". Acara yang 
dihadiri lebih dari 400 mahasiswa dan profesor Universitas New York 
itu, menurut Syamsi Ali, berjalan hangat dan seru. Moderator diskusi, 
Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku Moses and Jesus in 
Dialogue, bertanya tentang sikap Syamsi Ali jika suatu ketika ada 
muslim, yang dalam bahasa Cohen disebut "a mullah", ingin mendirikan 
negara Islam di Amerika.

Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka 
geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa "syariat-fobia" yang 
masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya 
dikurangi. "Amerika lebih pantas untuk dikatakan negara Islam 
ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam pada saat 
ini," ujarnya. Amerika, katanya, telah banyak menegakkan syariat 
Islam ketimbang negara-negara yang mengaku menerapkan syariat Islam.

Untuk itu, seorang muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam 
Islam tidak akan pernah memasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-muslim 
juga seharusnya tidak perlu terlalu khawatir akan hal itu.

Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang 
muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah hal yang mustahil. Hukum-
hukum yang mengatur kehidupan seorang muslim, mulai masalah keimanan, 
ritual, hingga masalah muamalat (hubungan antar-makhluk) masuk dalam 
kategori syariat. Untuk itu, memutuskan hubungan kehidupan seorang 
muslim dengan syariat sama dengan memisahkan antara daging dan 
darahnya.

Di setiap acara apa pun, Syamsi Ali selalu mengatakan, kehadiran umat 
Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya harus 
disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih besar untuk 
menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur 
untuk menanamkan nilai-nilai syariat yang universal itu. "Amerika 
bukan musuh. Amerika adalah lahan subur untuk Islam,'' ia menegaskan.

Pada 5 Nopember 2007, Syamsi Ali juga tampil dalam acara talkshow 
televisi "Face to Face, Faith to Faith". Acara yang dipandu moderator 
kondang Katie Couric, pembawa acara jaringan televisi NBC, itu 
menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada 
Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick 
Church, dan Syamsi Ali. Lebih dari 500 tamu hadir, memenuhi ruangan 
Gotham Building di Broadway yang terkenal mahal. Meja utama dijual 
dengan harga US$ 50.000 per meja, dengan kapasitas delapan orang.

Sebelum memulai acara dialog, Katie Couric mengatakan bahwa dirinya 
sudah mempelajari semua agama, seperti Kristen, Yahudi, dan Islam. 
Makin dalam ia mempelajari agama-agama itu, makin dalam pula 
penyesalan dirinya karena telah salah persepsi terhadap agama, 
khususnya Islam. Mulai saat itu, Katie bersumpah untuk lebih 
menghargai dan menghormati Islam dan kaum muslim.

Didi Prambadi (Philadelphia)
[Komunitas Islam Luar Negeri, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 2 
Oktober 2008] 


 














      Pemerintahan yang jujur & bersih? Apakah mungkin? Temukan jawabannya di 
Yahoo Answers!

Reply via email to