http://warnaislam.com/syariah//2008/10/30/25380/MQTV_Aa_Gym_dan_Warna_Is\
lam_TV.htm
<http://warnaislam.com/syariah//2008/10/30/25380/MQTV_Aa_Gym_dan_Warna_I\
slam_TV.htm>

MQTV, Aa Gym dan Warna Islam TV
Kamis, 30 Oktober 2008 07:03
Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, setelah membaca penjelasan ustadz tentang 'Kenapa pindah ke
Warna Islam?' saya jadi berpikir, kenapa kita semua tidak bersama-sama
menyelamatkan MQTV sebagai satu-satunya TV Islam apa tidak semestinya
kita bergandengan tangan membantu MQTV. Kalaulah namanya sangat terkait
dengan Aa Gym yang belakangan menjadi "musuh" bagi sebagian ibu-ibu, kan
bisa diganti, 'warnaIslam TV" misalnya.

Sayang sekali ustadz, kalau TV itu tidak diberdayakan apalagi peralatan
TV kan mahal-mahal.  Di Sabili terbaru saya baca ada sebuah masjid di
Jogokariyan Yogyakarta yang memiliki TV komunitas, dan hal itu berdampak
sangat positif untuk warga sekitar masjid.

Ayo ustadz satukan para wartawan media cetak, TV, radio dan penulis
untuk membangun media Islam yang profesional dan mencerdaskan umat.

Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan bagi ustadz dan teman-teman
dalam berdakwah. Amin.....

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Utami Pangestuti

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas tanggapan dan perhatian antum
terhadap pers Islam umumnya, serta dukungan moril kepada warna Islam
khususnya.

Ide-ide Anda sunguh brilyan dan seharusnya semua kita juga bervisi yang
sama. Sudah sejak dulu kita belajar dan membuktikan, bahwa dengan
bersama-sama, kita akan kuat. Sedangkan kalau kita jalan
sendiri-sendiri, tentu beban kita akan terasa lebih berat.

Dan memang sayang sekali, kita belum lagi mampu duduk bersama untuk
menyelesaikan agenda umat bersama dalam bentuk karya yang nyata. Kalau
sekedar kumpul-kumpul, menggalang aksi massa, atau mendemo kalangan yang
anti dengan UU anti pornografi, memang agak lebih mudah. Biasanya
sesuatu yang bersifat aksi, entah protes atau pun dukungan, memang
mudah.

Tapi, pekerjaan yang bersifat membangun institusi yang profesional,
seperti membangun jamaah yang solid, atau membangun media Islam, baik
situs Islam apalagi TV Islam, tentu butuh lebih banyak resources, butuh
kesabaran, butuh kecermatan, butuh ketelatenan sekaligus keteladanan.

Saya secara pribadi sangat yakin bahwa potensi umat Islam sangat besar.
Sayangnya barangkali, semua potensi itu masih berupa energi potensial
yang pasif. Belum siap pakai dan belum ada yang mensinergikannya menjadi
sebuah kekuatan besar.

Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna di Mesir pernah melakukan hal itu. Potensi bangsa Mesir
dan para pemuda di berbagai belahan dunia Islam yang sangat luar biasa
itu, disatukan dalam satu jamaah, yang awalnya hanya kecil saja. Namun
dengan iman yang mendalam (al-iman al-'amiq), pembinaan yang teliti
(at-takwin ad-daqiq) dan kerja yang tidak pernah terputus (al-'amal
al-mustamir), 70 tahun kemudian jamah kecil itu telah menjadi sebuah
gerakan Islam terbesar di dunia. Cabangnya tersebar di 70 negara.
Menggetarkan hati yahudi durjana.

Jutaan ulama, birokrat, politikus, penguasaha, ilmuwan, industriawan,
dosen, wanita, karyawan, seniman, pengajar, dan berbagai SDM dari
berbagai level bergabung di dalam jamaah raksasa itu. Jangan dihitung
lagi asset-asset yang dimiliki jamaah itu. Sehingga keberadaannya saja,
tanpa harus bergerak, sudah menggetarkan hati lawan. Sesuai dengan motto
jamaah itu, Wa a'iddu lahum mastatha'tum

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang mampu kamu siapkan,
baik berupa kekuatan maupun kuda-kuda yang tertambat. Dengan (persiapan)
itu kamu dapat menggetarkan hati musuh Allah dan musuhmu (QS. Al-Anfal :
60)

Kalau semua potensi umat bergabung, jangankan bergerak, baru dengar
berita bahwa semua potensi umat bergabung saja, musuh Allah sudah
ketakutan duluan. Saayngnya, yang kita lihat tiap hari malah sebaliknya.
Masing-masing individu jalan sendiri-sendiri. Musuh bukannya takut,
malah menari-nari kegirangan.

Aa Gym? Wah

Meski berbeda genre dengan Hasan Al-Banna, di Indonesia untuk kurun
waktu singkat, kita pernah berharap besar dengan sosok Aa Gym. Beliau
masih muda, berbahasa lembut, suara hatinya menyentuh kalbu semua orang,
sehingga begitu banyak potensi umat yang terkena magnet Aa Gym. Wabil
khusus, para ibu dan mbak-mbak.

Di tahun 2000-an, pembantu saya dulu tiap hari minggu khusus minta izin
tidak kerja, soalnya mau ikut pengajian Aa Gym di masjid Al-Azhar.

Pengagum Aa Gym tentu bukan cuma pembantu saja. Tapi mulai dari kalangan
pejabat sampai para pengusaha multinasional juga suka dengan Aa Gym.
Pokoknya, Aa Gym pisan euy...

Tiap hari kita melihat wajah imut beliau, nyaris hampir di semua media.
Termasuk media TV swasta yang rebutan untuk bisa menampilkan sosok
beliau.

Namun kita semua juga tahu, sekali beliau melakukan 'kesalahan', maka
tanpa ampun, semua media kompak menjauhinya. Aa Gym sekarang tidak
job-less atau pengangguran. Tidak, beliau tetap sibuk dan bahkan konon
jauh lebih sibuk. Hanya media kita sudah tidak lagi berpihak kepadanya.
Wajah imutnya itu kini jarang sekali muncul di layar kaca rumah kita.

MQTV

Kita memang sangat menyayangkan tidak tayangnya lagi MQTV. Padahal TV
itu sudah mulai banyak penggemarnya. Saya sendiri sudah pernah dua kali
muncul di TV itu. Walau belum semegah MTV, tapi itu milik kita.

Kalau sampai MQTV tidak bisa lagi mengudara, yang sedih bukan hanya Ay
Gym dan teman-teman kru di MQTV, tapi seharusnya yang sedih adalah 200
juta bangsa Indonesia. Seharusnya, potensi umat Islam ini lebih
diarahkan kepada pembangunan media massa. Setidaknya seimbanglah. Jangan
tiap hari urusannya hanya pilkada, pemilu dan pilpres.

Pilkada, pemilu dan pilpres untuk kondisi tertentu, boleh lah dibilang
sebagai peluang dakwah. Tapi jangan kebablasan. Sekedar satu di antara
sekian banyak peluang dakwah. Karena itu mengerahkan semua potensi uamt
untuk urusan ini, tanpa adal lagi yang tersisa, rasanya kok kurang
realistis.

TV Warna Islam?

Saya secara pribadi, tapi mungkin yang lain juga senada, rasanya Warna
Islam  belum saatnya untuk mengudara dengan TV. Bahkan untuk sekedar TV
komunitas sekali pun. Mimpi sih boleh, tapi yang penting jangan sampai
nafsu besar tenaga kurang.

Seorang ikhwah pernah bilang pada Saya bahwa beliau dan teman-temannya
ditawarkan oleh pihak Arab untuk membangun TV. Dananya? Pokoknya mereka
siap menggelontorkan dana gede-gedean. Bahkan wacananya bukan sekedar
membangun TV, tapi 'membeli' TV yang sudah ada tapi nyaris kolaps.

Wah, asyik juga tuh...

Tapi saya bilang, soal membeli stasiun TV memang mudah. Tapi kalau TV
itu sudah ditanngan kita, lalu kita bisa apa? Apa yang bisa kita
lakukan? Gimana urusan overhead, dari mana menutup cost yang besarnya
nggak ketulungan itu.

Logika bodoh saya, kenapa TV swasta itu sampai pailit dan memutuskan
untuk menjual saja TVnya, ya karena mereka tidak mampu membiayainya.
Iklan? Wah, payah. Hutangnya mereka sudah bejibun di semua TV swasta.
Sponsor? apalagi, itu lebih parah. Jadi hanya 'orang gila' yang hari ini
mau membeli dan membangun TV, begitu kesimpulan saya. Dari segi bisnis,
Tv sama sekali tidak menjanjikan.

Lebih kepada gagah-gagahan saja, atau memang ada tujuan politis, dan
sejenisnya. Tapi secara investasi, bisnis televisi di negeri kita masih
tidak jelas. Sebab kebanyakan pemilik modal dari para pengusaha muslim,
memang masih berpikir bisnis murni. Investasi berapa dan keuntungan
berapa.

Jadi mungkin untuk beberapa waktu, kita masih konsentrasi dulu dengan
situs Islam ini. Ini saja kalau lengah dan kurang konsentrasi, bisa-bisa
bubar jalan. Mungkin nanti murid-murid kita yang akan lahir kemudian,
mereka yang akan mendirikan TV Islam impian itu.

Impian?

Sekarang ini masih impian, mungkin besok atas idzin Allah, akan jadi
kenyataan. Toh mimpi itu boleh, tidak dosa. Dan salah satu bentuk wujud
nyata impian kita adalah mendirikan TV yang bukan kecil-kecilan, tapi Tv
yang sekaliber Aljazeera. Minimal kayak gitu.

Aljazeera Channel

Logika saya yang bodoh dan kuper ini, mungkin kalau kita bisa meniru
langkah Aljazzera Channel, rasanya agak terang. Syarikah Betrul, ya
perusahaan minyak di Qatar sana memang menjadi sponsor utama. TV itu
benar-benar tidak ada iklannya. Dibiayai oleh keluarga Emir yang kaya
nauzubilah.

Kita di Indonesia, sebenarnya nggak kalah kaya dengan Qatar. Lha wong
negeri kita juga kaya dengan minyak bumi. Sayangnya, selama ini minyak
kita menguap kemana, tidak jelas. Hanya Allah dan mereka yang terlibat
di dalamnya saja yang tahu.

Anggaplah satu areal saja dari tanah yang Allah berkahi ini kita kelola
minyaknya, maka sebuah stasiun TV Islam bisa jadi 'zakatnya'. Jadi
mendirikan TV besar model Aljazeera, harusnya sih bukan impian.

Dari segi managemen dan skill krunya, Aljazeera boleh saya bilang sangat
unggul. Lihat saja teknik mereka, nyaris hampir tiap hari siaran
langsung dari seluruh dunia. Selingan dan desain grafisnya juga luar
biasa. Pasti mahal tuh bikinnya. Beda banget dengan grafisnya TVRI atau
TV swasta kita.

Apalagi acaranya, semua kelas dunia. Khususnya yang berbahasa arab. Kita
jadi cerdas kalau nonton Aljazeera seharian saja. Saayngnya, kudu bisa
bahasa Arab dulu.

Kalau yang berbahasa Inggirs, memang menyedihkan. Satu informasi yang
saya dengar, itu bagian dari bargaining dengan pihak Amerika. Gara-gara
tidak berpihak ke Amerika dan malah membela Iraq, oleh US Aljazeera
disuruh pilih, mau dibom atau dirikan Aljazeera versi English.

Wah, repot juga ya. Kenapa US minta Aljazeera bikin versi English? Mudah
ditebak. semua propaganda anti Islam dan pro Amerika. Sayangnya,
kelompok English version ini getol bergerak. Sampai TV langganan saya di
First Media (dulu Kabelvison), tiba-tiba siaran Aljazeera-nya berubah
jadi English version. Semprul juga nih. Terpaksa harus beli parabola.
Dan alhamdulillah, kita bisa nonton Aljazeera Arabic dengan gratis pakai
parabola, tidak harus bayar.

Jadi kesimpulannya, makin tinggi pohon, makin kencang anginnya. Dan kita
harus siap untuk itu.

Walahu a'lam bishshawab, wassaalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc


Kirim email ke