SIARAN PERS

 

ADA YANG SALAH DENGAN PERTANIAN
KITA

 

            Bogor, 10 Nopember 2008.
Dalam rangkaian Dies Natalis IPB, mahasiswa pasca sarjana IPB mengundang
Gubernur Gorontalo DR.Ir. Fadel Muhammad untuk berbagi pengalaman tentang
keberhasilannya membangun pertanian dengan mengembangkan  ekonomi jagung di 
Gorontalo. Dalam kesempatan
tersebut sekaligus dilakukan bedah buku ”Reinventing
Local Government: Pengalaman dari Daerah” yang merupakan pengembangan
disertasi doktoralnya ditambah pengalamannya memimpin Gorontalo.

            Pertanian Indonesia
mempunyai potensi yang luar biasa sebagai penggerak ekonomi nasional namun
tidak dikelola dengan baik. Sumber daya ekonomi pertanian mulai dari tanaman
pangan, hortikultura, kacang-kacangan, serealia, peternakan, perikanan,
perkebunan dan kehutanan tidak dikelola dengan baik dibiarkan berkembang
sendiri tanpa ada road map. Produk pertanian Indonesia yang unggul di
pasar dunia saat ini dibiarkan berjalan sendiri tandap didukung kebijakan
pengembangan daya saing. Kita penghasil sawit dan lada nomor 1, karet nomor 2,
beras nomor 3 di dunia. Tapi kita tidak mau dan mampu membangun keterkaitan
sektor hulu-hilir dan mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur yang
diperlukan untuk pengembangan komoditas tersebut. Kita lebih senang
mengembangkan  sektor industri meski juga
hanya sebagai tukang jahit saja. Pemerintah juga kurang gigih dalam menawarkan
peluang usaha di sektor pertanian kepada investor. Ini terlihat dari timpangnya
investasi antara sektor pertanian dengan sektor industri. Rencana PMA untuk
sektor pertanian pada 2007 hanya US$ 1.491,6 
juta sementara untuk sektor industri US$ 27.209,4. Ekspor produk
pertanian kita hanya sebesar 4,9% dari total ekspor nasional tahun 2007 yang
mencapai US$  93,142 miliar. Meski ekspor
industri kita tinggi tapi kita sedang menuju ke fase deindustrialissi. Kalangan
perbankan juga lebih royal mengucurkan kreditnya untuk sektor Industri
ketimbang sektor pertanian. Kredit modal kerja dan kredit investasi untuk
sektor pertanian hanya Rp 55,906 triliun sementara untuk sektor industri
nilainya hampir empat kali lipat lebih besar dari sektor pertanian yakni Rp
203,808 triliun. 

            Pertanian kita sedang
dijepit secara sistematis agar tidak berdaya oleh kartel komoditi dunia.
Penandatanganan LoI IMF tentang penurunan bea masuk yang besarnya 0 – 10% untuk
43 produk pertanian telah menyebabkan pasar produk pertanian dalam negeri
dibanjiri produk impor. Memang dalam jangka pendek terkesan menguntungkan
karena konsumen mendapatkan produk murah dan berkualitas tapi dalam jangka
panjang akan menciptakan ketergantungan yang khronis  dan mematikan hasrat 
petani untuk berproduksi
karena tidak ada kesempatan berpendapatan.

            Ketergantungan kita
terhadap produk pertanian impor sangatlah besar. Kita setiap tahun mengimpor
1,2 juta ton kedele, 5 juta  ton gandum,
900 ribu ton gaplek, dan 600 ribu ekor sapi serta 964 ribu ton susu. Masih
pantas dan banggakah kita menyebut diri sebagai negeri agraris? Ujar Fadel.

            Kita harus sadar
sesadar-sadarnya bahwa pertanian kita dalam bahaya. Jika suatu negara memiliki
ketahanan pangan yang rapuh maka negara akan mudah runtuh. Sementara kita
menghadapi tiga bahaya besar yang mengancam sektor pertanian namun tidak ada
strategi besar yang andal untuk mengatasinya. Pertama, Kemampuan
pertanian kita untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri, relatif
telah dan sedang menurun dengan sangat besar. Kedua, sekarang Indonesia berada
dalam ancaman "Rawan Pangan" bukan karena tidak adanya
pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari Supply
Luar.  Ketiga, Pasar pangan
amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negri
yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.

            Untuk mengatasinya kita
harus membuat road map (peta jalan) untuk: (1)Industri berbasis agro dan
perkebunan; (2) Regionalisasi pengembangan komoditi untuk menuju skala
ekonomi dan aglomerasi; (3) Pengembangan pertanian tanaman pangan,
peternakan dan industri kecil menengah pedesaan dengan adanya peta jalan di
tiga ranah maka diharapkan pengembangan pertanian kita menjadi lebih fokus dan
terarah. Selain itu aspek penting lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah 
meningkatkan
kuantitas dan kualitas infrastruktur dan social capital untuk sektor
pertanian guna  meningkatkan efesiensi,
produktivitas dan inovasi. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih
proaktif dalam membangun inisiatif dan tindakan untuk membuat jejaring
kersajama usaha tani sebagai agenda pembangunan daerah. Selain itu pemerintah 
harus
berani dan tegas dalam membuka, menciptakan, dan mengamankan pasar produk
pertanian dan memihak petani.



            Kita bisa melakukannya dan
sudah ada hasilnya. Gorontalo adalah contohnya. Dengan kebijakan agropolitan,
Gorontalo berhasil meningkatkan produksi pangan secara lestari pada tingkat
harga yang pantas  untuk petani dan
membangun daya saing (berhasil mengekspor jagung ke Malaysia, Korea dan
Filipina). Ini diakui oleh Pemerintah tiga tahun berturut-turut mendapatkan
penghargaan pangan nasional dan Gorontalo mendapatkan sebutan provinsi jagung,
saya sendiri mendapat gelar gubernur jagung. Kata Fadel.

Berita terkait; di Liputan Eksklusif Halaman 2 Harian RADAR Bogor 8 - 11 
Nopember 2008.[herwin]






      Warnai pesan status dengan Emoticon

Kirim email ke