Bung AGA,  Dua minggu lalu saya hadir dalam acara Penyusunan Draft "Strategi 
dan Rencana Aksi Konservasi Babirusa", di Hotel Pangrango Bogor. Pelaksananya 
Direktorat Konservasi Dephut ????.  Dalam diskusi-diskusi isu mengenai 
degradasi Habitat Babirusa di Hutan Nantu menjadi perhatian.  Dalam forum 
tersebut saya mendapat informasi bahwa Habitat Babirusa di Nantu akan dibangun 
Dam untuk irigasi, dan sepanjang diskusi Nantu selalu menjadi isu.   
   
  Saya menyayangkan pertemuan penting itu hanya di hadiri oleh orang-orang 
Jakarta yang saya yakin mereka tidak punya pemahaman utuh terhadap babirusa,  
dalam forum itu saya mengingatkan jangan sampai kita membahas STRATEGI RENCANA 
AKSI KONSERVASI BABIRUSA, sementara kita sendiri belum pernah melihat habitat 
babirusa dan bahkan babirusa itu sendiri (ya mungkin baru lihat di kebun 
binatang saja, atau cuma baca literatur).
   
  Dalam forum tersebut saya mengusulkan perlu di didorong terbentuknya 
pusat-pusat studi satwa endemik sulawesi di Perguruan Tinggi yang ada di 
Sulawesi. Saya berharap di UNG akan lahir Pusat Studi Babirusa. sebab tampaknya 
Konservasi Babirusa di Nantu akan menjadi perhatian.
  Hadir dalam pertemuan tersebut "Lynn M. Clayton dari University of Oxford dan 
juga dari YAYASAN ADUDU-NANTU INTERNATIONAL (YANI)" beliau adalah orang yang 
pernah meneliti Babirusa di Nantu. 
   
  Teman-teman di UNG, UG dan LSM-LSM Lokal harus mengambil peran dalam 
Konservasi Babirusa ini agar kita bisa bicara tentang daerah kita,  Saat ini 
yang terjadi orang luar yang bicara soal sumberdaya/ kekayaanalam kita.  Dalam 
beberapa tahun kedepan saya yakin Orang Jakarta akan bikin Yayasan Konservasi 
Babirusa.
   
  Pimpinan Universitas di Gorontalo sebaiknya mendorong beberapa orang dosennya 
belajar/ mengambil program s2/s3 untuk studi satwa endemik yang ada di Goronalo 
(Anoa, Tarsius, Babirusa, Maleo, dan lainnya) kalau ini dilakukan saya yakin 
UNG atau UG akan terkenal ditingkat dunia untuk stusi-studi biodiversitas.
   
  Mari kita bangun jaringan untuk membangun gagasan ini.
   
  Hormat
   
  Fadly
   
   
   
   
   
   
   
  
Rahman Dako <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
                  Sepakat dengan OH.  Seharusnya orang Gorontalo sandiri bisa 
memperdalam penelitian2 tentang hal2 bagini.  Walaupun demikian, ada banyak 
orang Gtlo yang ikut terlibat dalam meneliti satwa endemik, misalnya yang di 
WCS & Program babi rusa di Nantu, ada juga orang Gtlo disitu.  Cuma memang di 
laporan2 penelitian belum banyak muncul karena dananya juga dari luar negeri.

Sebenarnya di milist ini juga bagus kalo ada diskusi2 yang sedikit ilmiah, 
jangan olo terlalu dalam sampe di langit ke tujuh (untuk ti Pak MY so kaluar, 
depe diskusi so sampe luar angkasa).  Jangan sampe kita cuma kebanyakan diskusi 
politik dan religi.

Salam,
AGA


--- On Wed, 11/19/08, Razif Halik <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  From: Razif Halik <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: RE: [GM2020] Fw: Tarsius paling kecil ditemukan kembali
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Wednesday, November 19, 2008, 12:48 PM

      
    YTH. PAK REKTOR UNG & UG dan IAIN
   
  Ini adalah satu alasan tepat bagi universitas2 di Gorontalo untuk mengirim 
wakil, dari jurusan biologi  barangkali,
   
  untuk menghadiri konferensi internasional WALLACEA di Makassar tgl. 10-13 
Desember 2008. Banyak hal yang dapat 
   
  disumbangkan orang2 Gorontalo untuk ilmu pengetahuan, apalagi pulau Sulawesi 
yang kedudukan biologis maupun geologis unik 
   
  di dunia. Siapa yang menyangka bahwa pergeseran lempeng bumi di utara Gorut 
bisa menyebabkan gempa berskala 7.7 Richter?
   
  Ataukah barangkali gempa aneh itu mengisyaratkan terjadinya ketidak wajaran 
dalam Pilkada di Gorut baru2 ini? 
   
  Wallahuallambissawa b.
   
  SALAM&SORI,OH
   
      
---------------------------------
  
  From: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com [mailto: gorontalomaju2020@ 
yahoogroups. com ] On Behalf Of Tuturuga
Sent: Wednesday, November 19, 2008 9:53 PM
To: GM2020
Subject: [GM2020] Fw: Tarsius paling kecil ditemukan kembali

   
        Tiny, long-lost primate rediscovered in Indonesia 

By Will Dunham Will Dunham – Tue Nov 18, 6:32 pm ET
Reuters – This undated handout photo shows a creature called a pygmy tarsier, 
believed for the eight decades to …
WASHINGTON (Reuters) – On a misty mountaintop on the Indonesian island of 
Sulawesi , scientists for the first time in more than eight decades have 
observed a living pygmy tarsier, one of the planet's smallest and rarest 
primates.
Over a two-month period, the scientists used nets to trap three furry, 
mouse-sized pygmy tarsiers -- two males and one female -- on Mt. Rore Katimbo 
in Lore Lindu National Park in central Sulawesi, the researchers said on 
Tuesday.
They spotted a fourth one that got away.
The tarsiers, which some scientists believed were extinct, may not have been 
overly thrilled to be found. One of them chomped Sharon Gursky-Doyen, a Texas 
A&M University professor of anthropology who took part in the expedition.
"I'm the only person in the world to ever be bitten by a pygmy tarsier," 
Gursky-Doyen said in a telephone interview.
"My assistant was trying to hold him still while I was attaching a radio collar 
around its neck. It's very hard to hold them because they can turn their heads 
around 180 degrees. As I'm trying to close the radio collar, he turned his head 
and nipped my finger. And I yanked it and I was bleeding."
The collars were being attached so the tarsiers' movements could be tracked.
Tarsiers are unusual primates -- the mammalian group that includes lemurs, 
monkeys, apes and people. The handful of tarsier species live on various Asian 
islands.
As their name indicates, pygmy tarsiers are small -- weighing about 2 ounces 
(50 grammes). They have large eyes and large ears, and they have been described 
as looking a bit like one of the creatures in the 1984 Hollywood movie 
"Gremlins."
They are nocturnal insectivores and are unusual among primates in that they 
have claws rather than finger nails.
They had not been seen alive by scientists since 1921. In 2000, Indonesian 
scientists who were trapping rats in the Sulawesi highlands accidentally 
trapped and killed a pygmy tarsier.
"Until that time, everyone really didn't believe that they existed because 
people had been going out looking for them for decades and nobody had seen them 
or heard them," Gursky-Doyen said.
Her group observed the first live pygmy tarsier in August at an elevation of 
about 6,900 feet.
"Everything was covered in moss and the clouds are right at the top of that 
mountain. It's always very, very foggy, very, very dense. It's cold up there. 
When you're one degree from the equator, you expect to be hot. You don't expect 
to be shivering most of the time. That's what we were doing," she said.
(Editing by Sandra Maler)

  

  No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - http://www.avg. com
Version: 8.0.175 / Virus Database: 270.9.7/1798 - Release Date: 11/19/2008 6:55 
PM

  







                           

       
---------------------------------
  Nama baru untuk Anda!  
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!

Reply via email to