anda sangat benar skali dimana di semua dareah dilakukan pembenahan lingkunngan terhadap flora dan fauna setidaknya gorontalo juga sudah menetapkan perencanaan perlindungan terhadap kekayaan alamnya sendiri. saat ini ada lima kota proponsi yang sedang membangun pangkayaan flora dan fauna serta sistim pengembangan dari tingkat penelitian perawatan serta pelestarian yang harus salalu menjaga dan mengikuti budaya dan nilai2 daerah setempat. dan pembangunan serta desain perencanaanya di sayembarakan oleh IALI (ikatan arsitek lanscape indonesia) disitu ada sistim irigasi segala , pokoknya komplet. saya berfikir kapan gorontalo akan mempunyai hal yang seperti itu? thaks wassalam --- On Fri, 11/21/08, dunggio iswan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: dunggio iswan <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: [GM2020] Tarsius paling kecil ditemukan kembali/hutan kota To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Date: Friday, November 21, 2008, 11:07 PM Dear All Seingat saya, hutan Nantu pernah dikunjungi oleh beberapa pejabat di Gorontalo. Salah satunya mantan Bupati Ahmad Pakaya bersama beberapa kepala dinas di lingkungan PEMKAB Gorontalo dan Dr Lynn Clayton peneliti dari Oxford University yang sudah hampir 15 tahun bekerja untuk konservasi Babi Rusa . Kebetulan saya ikut dalam rombongan tersebut karena pada waktu itu saya sedang melakukan penelitian thesis S2 tentang Zonasi Pengembangan Ekowisata berbasis Spatial. Ikut dalam rombongan tersebut Martin Collbeck wartawan BBC London, Ir Jhonly, MF (Kepala BPDAS) dan Dr. Ir Haris Mustari, M.Sc dari Lab. Satwa Liar IPB Bogor (pembimbing saya). Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan status kawasan SM Nantu menjadi Taman Nasional Nantu Boliyohuto dan kemungkinan PEMKAB bisa terlibat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Bahkan saat itu Bupati Ahmad Pakaya memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan (Ir Alam Rivai) agar menganggarkan pembuatan pal batas SM Nantu dalam APBD, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Departemen Kehutanan sebagai pemegang otoritas di SM Nantu. Setelah kunjungan tersebut, ditindaklanjuti oleh kunjungan beberapa orang anggota DPRD Kab. Gorontalo dan sala satu wartawan Gorontalo Post. Hasil dari kunjungan menghasilkan PERDA Pengelolaan Kawasan Hutan Nantu. Tapi sayangnya PERDA ini tidak efektif karena terbentur oleh kewenangan pusat terhadap kawasan tersebut.. Sebenarnya ini tidak perlu terjadi jika PEMKAB dan Departemen Kehutanan dalam hal ini BKSDA Sulawesi Utara menjalin komunikasi yang baik dalam hal implementasi pengelolaan kawasan oleh Pemerintah Daerah. Memang ada semacam keengganan dari Departemen Kehutanan untuk melepas begitu saja pengelolaan kawasan konservasi kepada pemerintah daerah. Alasannya klasik yaitu adanya kekhawatiran DEPHUT bahwa PEMDA tidak mampu mengelola kawasan tersebut dan cenderung merusak untuk kepentingan PAD. Sehingga sudah bisa ditebak bahwa pada umumnya hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam tekanan hebat karena seluruh PEMDA seolah menutup mata tentang kerusakan kawasan konservasi meskipun kawasan konservasi tersebut berada pada wilayah administrasinya. Jadi persoalan kerusakan hutan dikawasan konservasi (SM NANTU dan TN BOGANI NANI WARTABONE) dan banjir di Gorontalo merupakan persoalan KEPENTINGAN antara DEPHUT dan PEMDA/PEMPROV Wassalam Iswan Dunggio toti lamusu <toti_lamusu@ yahoo.com> wrote: memang menyedihkan sekali kondisi gorontalo kita , pemimpinnya sangat sibuk dengan politik , dan tidak sempat melihat alam sekitar dimana kita berpijak . yang mengepalai institusi pendidikan tinggi juga , kemungkinan besar belum pernah melihat babi rusa , apalagi mengetahui lingkungan hidup/habitat si babi rusa . selalu dan seperti biasa , bule' dan yang tinggal di luar sulawesi atau gorontalo malah yang menaruh minat lebih akan lingkungan kita . yang tinggal dan bermukim tidak perduli samasekali atau tidak mengetahui darimana harus memulai program konservasi . jika saya menuliskan tentang institusi pendidikan tinggi kita , yang sangat kasat mata adalah tanaman yang digunakan untuk penghijauan sekeliling kampus u.n.g. ketika dalam salah satu kesempatan berkunjung ke ung , saya sempat mempertanyakan petinggi ung yang tidak menggunakan pohon buah kepada bapak zainudin dalanggo . kalau saja sekeliling kampus dihijaukan dengan aneka jenis buah , juga akan merupakan lahan penelitian fakultas pertanian misalnya . dan juga digunakan untuk peningkatan kualitas buah buah tropis , yang sejauh ini dikuasai thailand lewat jenis-jenis buah yang semuanya serba bangkok yang serba unggul . jadi ingat tanaman untuk penghijauan di banyak flat/pemukiman warga singapura yang ditanami aneka jenis mangga . paling tidak sekali dalam setahun , warga sekitar dapat menikmati aneka jenis buah tropis secara gratis . adalah jasa presiden habibie juga ketika dalam masa pemerintahan beliau , gorontalo mendapatkan bibit aneka jenis mangga sehingga memperkaya jenis mangga gorontalo , dan sekarang hampir banyak halaman warga gorontalo ditumbuhi beragam mangga . dan memberi sedikit variasi dari buah-buahan yang bisa didapatkan di gorontalo . memang belum dapat menandingi mangga di kota probolinggo atau kota-kota pesisir utara jawa timur , tapi sudah lumayan dari masa lampau . semoga yang duduk di tata kota , dept. pertanian atau pihak terkait dapat memberikan lebih banyak bibit kepada warga kota . hubungan udara sudah dapat mempermudah pemindahan bibit tanaman dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya . kalau dulu melihat bibit kemiri (candle nuts) hanya di lombongo , sekarang disekitar benteng otanaha sudah banyak pohon kemiri yang tumbuh subur . sepanjang jalan dari pelabuhan ferry di pulau sabang ke kotanya juga diberi pohon peneduh kemiri . saatnya kita memulai memperbanyak jenis dan ragam tanaman untuk menciptakan hutan kota yang juga berguna bagi warganya . semoga ada yang tergugah . --- On Thu, 11/20/08, Fadly Tantu <tantufadly_62@ yahoo.co. id> wrote: From: Fadly Tantu <tantufadly_62@ yahoo.co. id> Subject: Balasan: RE: [GM2020] Fw: Tarsius paling kecil ditemukan kembali To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Date: Thursday, November 20, 2008, 12:57 AM Bung AGA, Dua minggu lalu saya hadir dalam acara Penyusunan Draft "Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Babirusa", di Hotel Pangrango Bogor. Pelaksananya Direktorat Konservasi Dephut ????. Dalam diskusi-diskusi isu mengenai degradasi Habitat Babirusa di Hutan Nantu menjadi perhatian. Dalam forum tersebut saya mendapat informasi bahwa Habitat Babirusa di Nantu akan dibangun Dam untuk irigasi, dan sepanjang diskusi Nantu selalu menjadi isu. Saya menyayangkan pertemuan penting itu hanya di hadiri oleh orang-orang Jakarta yang saya yakin mereka tidak punya pemahaman utuh terhadap babirusa, dalam forum itu saya mengingatkan jangan sampai kita membahas STRATEGI RENCANA AKSI KONSERVASI BABIRUSA, sementara kita sendiri belum pernah melihat habitat babirusa dan bahkan babirusa itu sendiri (ya mungkin baru lihat di kebun binatang saja, atau cuma baca literatur). Dalam forum tersebut saya mengusulkan perlu di didorong terbentuknya pusat-pusat studi satwa endemik sulawesi di Perguruan Tinggi yang ada di Sulawesi. Saya berharap di UNG akan lahir Pusat Studi Babirusa. sebab tampaknya Konservasi Babirusa di Nantu akan menjadi perhatian. Hadir dalam pertemuan tersebut "Lynn M. Clayton dari University of Oxford dan juga dari YAYASAN ADUDU-NANTU INTERNATIONAL (YANI)" beliau adalah orang yang pernah meneliti Babirusa di Nantu. Teman-teman di UNG, UG dan LSM-LSM Lokal harus mengambil peran dalam Konservasi Babirusa ini agar kita bisa bicara tentang daerah kita, Saat ini yang terjadi orang luar yang bicara soal sumberdaya/ kekayaanalam kita. Dalam beberapa tahun kedepan saya yakin Orang Jakarta akan bikin Yayasan Konservasi Babirusa. Pimpinan Universitas di Gorontalo sebaiknya mendorong beberapa orang dosennya belajar/ mengambil program s2/s3 untuk studi satwa endemik yang ada di Goronalo (Anoa, Tarsius, Babirusa, Maleo, dan lainnya) kalau ini dilakukan saya yakin UNG atau UG akan terkenal ditingkat dunia untuk stusi-studi biodiversitas. Mari kita bangun jaringan untuk membangun gagasan ini. Hormat Fadly Rahman Dako <rahman_dako@ yahoo.com> wrote: Sepakat dengan OH. Seharusnya orang Gorontalo sandiri bisa memperdalam penelitian2 tentang hal2 bagini. Walaupun demikian, ada banyak orang Gtlo yang ikut terlibat dalam meneliti satwa endemik, misalnya yang di WCS & Program babi rusa di Nantu, ada juga orang Gtlo disitu. Cuma memang di laporan2 penelitian belum banyak muncul karena dananya juga dari luar negeri. Sebenarnya di milist ini juga bagus kalo ada diskusi2 yang sedikit ilmiah, jangan olo terlalu dalam sampe di langit ke tujuh (untuk ti Pak MY so kaluar, depe diskusi so sampe luar angkasa). Jangan sampe kita cuma kebanyakan diskusi politik dan religi. Salam, AGA --- On Wed, 11/19/08, Razif Halik <[EMAIL PROTECTED] com> wrote: From: Razif Halik <[EMAIL PROTECTED] com> Subject: RE: [GM2020] Fw: Tarsius paling kecil ditemukan kembali To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Date: Wednesday, November 19, 2008, 12:48 PM YTH. PAK REKTOR UNG & UG dan IAIN Ini adalah satu alasan tepat bagi universitas2 di Gorontalo untuk mengirim wakil, dari jurusan biologi barangkali, untuk menghadiri konferensi internasional WALLACEA di Makassar tgl. 10-13 Desember 2008. Banyak hal yang dapat disumbangkan orang2 Gorontalo untuk ilmu pengetahuan, apalagi pulau Sulawesi yang kedudukan biologis maupun geologis unik di dunia. Siapa yang menyangka bahwa pergeseran lempeng bumi di utara Gorut bisa menyebabkan gempa berskala 7.7 Richter? Ataukah barangkali gempa aneh itu mengisyaratkan terjadinya ketidak wajaran dalam Pilkada di Gorut baru2 ini? Wallahuallambissawa b. SALAM&SORI,OH From: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com [mailto: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com ] On Behalf Of Tuturuga Sent: Wednesday, November 19, 2008 9:53 PM To: GM2020 Subject: [GM2020] Fw: Tarsius paling kecil ditemukan kembali Tiny, long-lost primate rediscovered in Indonesia By Will Dunham Will Dunham – Tue Nov 18, 6:32 pm ET Reuters – This undated handout photo shows a creature called a pygmy tarsier, believed for the eight decades to … WASHINGTON (Reuters) – On a misty mountaintop on the Indonesian island of Sulawesi , scientists for the first time in more than eight decades have observed a living pygmy tarsier, one of the planet's smallest and rarest primates. Over a two-month period, the scientists used nets to trap three furry, mouse-sized pygmy tarsiers -- two males and one female -- on Mt. Rore Katimbo in Lore Lindu National Park in central Sulawesi, the researchers said on Tuesday. They spotted a fourth one that got away. The tarsiers, which some scientists believed were extinct, may not have been overly thrilled to be found. One of them chomped Sharon Gursky-Doyen, a Texas A&M University professor of anthropology who took part in the expedition. "I'm the only person in the world to ever be bitten by a pygmy tarsier," Gursky-Doyen said in a telephone interview. "My assistant was trying to hold him still while I was attaching a radio collar around its neck. It's very hard to hold them because they can turn their heads around 180 degrees. As I'm trying to close the radio collar, he turned his head and nipped my finger. And I yanked it and I was bleeding." The collars were being attached so the tarsiers' movements could be tracked. Tarsiers are unusual primates -- the mammalian group that includes lemurs, monkeys, apes and people. The handful of tarsier species live on various Asian islands. As their name indicates, pygmy tarsiers are small -- weighing about 2 ounces (50 grammes). They have large eyes and large ears, and they have been described as looking a bit like one of the creatures in the 1984 Hollywood movie "Gremlins." They are nocturnal insectivores and are unusual among primates in that they have claws rather than finger nails. They had not been seen alive by scientists since 1921. In 2000, Indonesian scientists who were trapping rats in the Sulawesi highlands accidentally trapped and killed a pygmy tarsier. "Until that time, everyone really didn't believe that they existed because people had been going out looking for them for decades and nobody had seen them or heard them," Gursky-Doyen said. Her group observed the first live pygmy tarsier in August at an elevation of about 6,900 feet. "Everything was covered in moss and the clouds are right at the top of that mountain. It's always very, very foggy, very, very dense. It's cold up there. When you're one degree from the equator, you expect to be hot. You don't expect to be shivering most of the time. That's what we were doing," she said. (Editing by Sandra Maler) No virus found in this incoming message. Checked by AVG - http://www.avg. com Version: 8.0.175 / Virus Database: 270.9.7/1798 - Release Date: 11/19/2008 6:55 PM Nama baru untuk Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. Cepat sebelum diambil orang lain!