kalo menurut bung amin zakaria kita nggak usah liat ngarangnya tp intinya 
berbuat baik jadi tidak boleh memberi usul atau  kritik dan komentar .
  pokoknya cerita itu telan aja mentah2.
  seakan kita tak boleh tau cerita itu ngarang atau tidak 
  padahal ceritanya jelas2 ada paradoks,
  saya kira cuma saya yg memberikan rasa curiga terhadap cerita2 model kaya 
begini,ternyata masih ada yang lain.
  apakah intinya hanya berbuat baik tanpa ada dasar dan aturannya.
  trus jadi acuan dan ilham kita dalam hidup
  kalo begitu buat apa ada alquran dan hadist??
  bolo maapu bung OH.
  kinapa baru muncul poli?
   
  thanks wassalam

Razif Halik <razifha...@gmail.com> wrote:
  ADAKAH KEADAAN BEGINI?

Walaupun ceritanya bagus, tetapi saya sedikit curiga ini cerita banyak 
ngarangnya, ditambah-tambah, sepertinya ditulis oleh seorang laki2 yang 
minta dikasihani
atau seorang male chauvinist, maunya istri dirumah saja he he he. 
Kalaupun keadaan keluarga seperti ini : istri pintar dan rajin bekerja,
suami karirnya lumayan, tidak akan sebodoh itu untuk "menelantarkan" 
anak2. Ada tilpon utk berkomunikasi, ada weekend yg bisa diefektifkan,ada
bapak dan ibu pintar.....masa keadaan bisa sehancur ini?
Banyak penulis di Amrik yang menciptakan cerita BESAR begini, cerita 
menguras air mata!

SALAM&SORI,OH

-------- Original Message --------
Subject: [Rachmans] Fw: [member_baliusada] Fw: Penyesalan
Date: Mon, 22 Dec 2008 12:34:53 -0800 (PST)
From: Asmir Agoes 
Reply-To: rachm...@yahoogroups.com
To: rachmans , rumahbatu 






/Posted by: "Secapram//…//" secapram//…//@gmail.com/

/Wed Dec 17, 2008 5:29 am (PST)/

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah
Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang
menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika
seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih
baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih
sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19
tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup
saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih
terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami
kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan
Sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia
juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa
lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik
Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba.
Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa
dampak begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia
telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni
berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti
ibu kandungnya sendiri. Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya
yang saya baca setelah dia meninggal.

Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku
hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit
karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu) Maya
hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini
Mama sakit di Rumah sakit", hanya itu saja. Sungguh hal ini
menjadikan saya semakin terpukul.

Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya
waktu saya untuk Doni, Maya, dan suami saya. Waktu saya habis di
kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan
dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12
jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah
rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka.

Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun
sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari
Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram
untuk urusan kantor. Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali
mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun
selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya.
Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan
kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir
ibu waktu itu katanya sangat baik.

Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan
penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan
berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja
perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti
bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi?

Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam
karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya
menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari
dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir
fokus saya. Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi
waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan
ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari
kuantitas" selalu menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan
begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak
yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak
mengetahuinya! ! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu
terngiang di telinga.

Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan
memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putra
satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya... Namun karena
Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas
dibawa tinggal bersama kami. Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini
sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya
perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit
kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi
dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah
memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat
setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium
4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada
kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat
mereka, sudah seperti ibu kandungnya, menggantikan tempat saya yang
seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis ! Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering
saya amati kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu
kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga
menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah
setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun
begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah
untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto
"keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni, dan Maya tersenyum
bersama.

Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan
seingat saya itulah foto terakhirnya. Setelah bik Inah meninggal
Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan
membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang
kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.
Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.

Maya menulis : "Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus
siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa
yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya
buat berdoa, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah,
siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ....Ya Tuhan,
Maya kangen banget sama bik Inah" bukankah itu seharusnya tugas saya
sebagai ibunya, bukan bik Inah?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah
terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar
ke belakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya
merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran
utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi
sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil
pelajaran darinya.

Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada
terbayang beratnya. Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa
menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya".
Biarkan saya seorang yang mengalaminya. Saat ini saya sedang
mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya.
Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya,
karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda
mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik
manfaatnya..

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan
Doni. Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan
amanahNya pada saya. Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA
Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya,
sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan
tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tenteram di sisiMu". Semoga
Tuhan mengabulkan doa saya. ~

---------




------------------------------------

Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links





       
---------------------------------
 Berbagi foto Flickr dengan teman di dalam Messenger.
  Jelajahi Yahoo! Messenger yang serba baru sekarang! 

Reply via email to