Yang ini poli jadi bacaan awal pekan,Sebagai wacana politik aja waaa

Wasalam,

Imusafir





SUGIHARTO
  [spacer]
Politik Rente

Taring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus makan korban. Awal bulan
lalu, giliran anggota DPR Abdul Hadi Djamal yang jadi korban. Anggota
Komisi VI DPR-RI ini diamankan usai melakukan ''transaksi'' dengan
seorang pengusaha rekanan Departemen Perhubungan (Dephub) dan
difasilitasi seorang pegawai di Direktorat Perhubungan Laut, Dephub.
Mereka diduga terlibat proyek stimulus pembangunan dermaga pelabuhan dan
bandar udara di kawasan timur Indonesia.

Keberhasilan KPK mengungkap suap yang melibatkan anggota dewan itu
bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, enam anggota DPR aktif lainnya
ditangkap komisi yang dibentuk pada 2003 ini. Korban KPK pertama adalah
Saleh Djasit. Ia dijerat dalam kasus pengadaan pemadam kebakaran semasa
menjadi Gubernur Riau. Tak berapa lama kemudian, giliran Al Amin
Nasution yang dicokok KPK lantaran menerima suap terkait alih fungsi
hutan lindung di Bintan. Deretan nama itu makin panjang dengan masuknya
nama Hamka Yandhu, Sarjan Taher, Bulyan Royan, dan Yusuf Emir Faisal
yang terlilit kasus korupsi alih fungsi hutan Tanjung Api-api.

Terungkapnya ''hubungan mesra'' antara oknum anggota DPR, pegawai
departemen atau pemerintah daerah, dan pengusaha dalam menggolkan
berbagai proyek pemerintah menjadi bukti nyata bahwa DPR sudah going to
far. Lembaga pengemban fungsi legislasi, bujet, dan kontrol ini dalam
beberapa hal sudah kebablasan. Untuk fungsi bujet, misalnya, Senayan
malah asyik bermain di wilayah tier tiga. Padahal, masuk ke level
pengaturan anggaran per sektor bahkan hingga ke pembagian proyek tentu
bukan tempatnya DPR ikut cawe-cawe.

Pengungkapan KPK yang melibatkan anggota DPR itu justru membuktikan,
para anggota dewanlah yang ada di belakang berbagai proyek pemerintah
tadi. Di sinilah proses ketidakadilan terjadi. Lancar tidaknya sebuah
anggaran harus bergantung pada oknum anggota DPR yang ujungnya beraroma
suap. Tak mengherankan jika kepala daerah yang rajin datang ke DPR
setiap kali ada penyusunan atau revisi anggaran akan jauh lebih mudah
mengamankan anggarannya. Sebaliknya, daerah-daerah yang tidak terbiasa
melakukan jurus-jurus mabuk itu dan tidak memiliki ''pasukan'' lobi ke
Senayan tentu akan jauh ketinggalan.

Seorang kepala daerah di sebuah kabupaten di luar Jawa pernah menuturkan
pengalamannya melakukan langkah jemput bola menggolkan anggaran itu.
Setiap Senayan menggelar rapat anggaran, ia terbang khusus ke Jakarta.
Untuk menjalankan misinya ini, ia mengaku tak sendirian. Para pengusaha
yang berkepentingan atas proyek-proyek di daerahnya itu pun diajak
serta. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk ''memuluskan'' alokasi
anggaran proyek-proyeknya.

Semua mafhum, di balik gencarnya lobi itu, ada aroma uang. Tidak ada
yang gratis di balik mulusnya sebuah proyek. Namun, akibat pola-pola
inilah, sebuah ketidakadilan dalam hal pemerataan anggaran berlangsung.
Sebuah daerah yang memiliki potensi besar harus pasrah untuk tidak bisa
berkembang lantaran seretnya anggaran akibat tidak memiliki juru lobi.
Inilah yang dalam jangka panjang akan menimbulkan masalah-masalah
sosial. Tanpa disadari, politik politisi itu telah menyengsarakan
rakyat. Padahal, sebagai wakil rakyat, mestinya merekalah yang membuka
simpul-simpul kebuntuan dalam rangka menyejahterakan rakyat.

Sejatinya, praktek lobi eksekutif ke legislatif bukanlah barang haram.
Di negara yang demokrasinya maju seperti Amerika, modus seperti itu
kerap dilancarkan ke parlemen. Terakhir, kita bisa melihat langkah
Presiden Barack Obama menerapkan jurus lobinya ke Kongres dan Senat
terkait stimulus untuk meredam dampak krisis global. Bedanya, selain
terjun langsung, gaya lobi Obama pun tak pernah menyentuh angka-angka
detail.

Tapi, di republik ini, belakangan terungkap bahwa di balik peningkatan
angka stimulus APBN, ternyata sebuah lobi dahsyat berlangsung di sebuah
sweet room hotel mewah pada menit-menit terakhir. Para pengusaha yang
ingin menggolkan proyek-proyeknya pun mesti antre untuk bertemu
oknum-oknum anggota DPR. Proses politik APBN yang dipolitisasi ini makin
parah dengan lambatnya birokrasi.

Banyak pula energi birokrasi, termasuk jajaran menteri, yang habis
terkuras lantaran harus ''melayani'' berbagai rapat di berbagai komisi
di Senayan. Seretnya pencairan DIPA secara sistemik adalah wujud belum
berjalannya reformasi birokrasi. Akibatnya, dana APBN yang sangat
terbatas itu seringkali tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, dan tidak
tepat sasarannya. Kinerja pembangunan nasional pun tidak optimal. Inilah
salah satu faktor yang menyumbang pertumbuhan ekonomi kita makin
melambat.

Pekan ini, segenap rakyat Indonesia akan memutuskan wakil-wakilnya untuk
duduk di kursi legislatif. Pola rekrutmen calon anggota legislatif pada
saat ini yang butuh ongkos mahal, tak mengherankan, memunculkan
kekhawatiran perburuan rente anggaran makin dahsyat. Namun kita
berharap, pemilu kali ini bida menghasilkan anggota-anggota dewan yang
lebih berkualitas dan bebas dari politik rente.

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 22 Beredar Kamis, 9 April 20

Reply via email to