SELAMAT ULANG TAHUN BONE BOLANGO

  Ismail Giu

Penulis adalah buruh pekerja media Gorontalo



Tanggal 6 Mei rakyat Bone Bolango akan memperingati milad ke enam
kabupaten ini. Sebuah momentum bersejarah sebagai titik tolak
kemandirian rakyat di ujung Timur Gorontalo. Sayang obrolan soal milad
ini tidak signifikan dalam tema-tema diskusi diberbagai media massa.
Obrolan warung kopi hingga media massa justru diramaikan aksi tebar
pesona figur, dukungan ormas, partai hingga tokoh politik jelang pilkada
2010. Semuanya memiliki satu tujuan, bagaimana mencuri hati rakyat dalam
pilkada nanti.



Tulisan ini tidak hendak meramal siapa Bupati dan Wakil Bupati Bone
Bolango 2010 nanti, melainkan sebagai sebuah refleksi perjalanan Bone
Bolango enam tahun lalu untuk massa yang akan datang.



Melirik perjalanan Bone Bolango tidak banyak keberhasilan yang tercatat
dalam tinta emas sejarah. Sebuah kondisi yang ironi melihat begitu
besarnya sumber daya alam dan sumber daya manusia di kabupaten ini.
Memori kolektif rakyat Bone Bolango lebih banyak merekam panasnya suhu
politik ketimbang keberhasilan pemerintah. Kegiatan pemerintah pun lebih
dijejali aroma politik ketimbang konsistensi niat pelayanan publik. Arus
kepentingan partai politik begitu padat hingga memacetkan roda
pembangunan di daerah pencetak tokoh tokoh nasional Indonesia ini.



Eksekutif sibuk mengeruk keutungan besar Bone Bolango hingga mereka
lalai terhadap tugas kerakyatan. Setali tiga uang dengan wakil rakyat
terhormat di legislatif. Lembaga sebagai "kantong amanah" rakyat
ini justru ikut hanyut dalam irama politisasi daerah. Praktis dinamika
pembangunan Bone Bolango hanya menenpatkan rakyat sebagai "korban
politik".



Bukti mandeg-nya pembangunan Bone Bolango begitu mengangga di depan
mata. Pembangunan infrastruktur "berniat" keuntungan proyek
sudah memunculkan petaka. Rehabilitasi balai pertemuan umum (BPU) tahun
2007 di Kabila misalnya sudah menelan satu korban tewas. Infra struktur
jalan pun hampir sama nasibnya. Jalan sebagai sarana transportasi utama
justru kini terabaikan. Tidak sedikit warga Bone Bolango menjerit soal
buruknya kondisi jalan. Sehingga tidak jarang ada guyonan yang berkata
"untuk mengenali daerah Bone Bolango kenalilah dari jalanannya.
Jalanan kecil dan berlubang adalah pertanda utama sejak anda
meninggalkan batas Kota Gorontalo".



Bone Bolango "The Real Paradise"

Potret di atas hanya sepenggal kecil betapa suramnya nasib Bone Bolango.
Kondisi yang berbanding terbalik dengan potensi sumber daya manusia
(SDM) serta sumber daya alamnya (SDA). Jika Fadel Muhammad sempat
menyebut Gorontalo sebagai "The Hidden Paradise" maka tidak
berlebihan jika saya menyebut "Bone Bolango The Real Paradise!".
Alasannya?



Dari segi sumber daya alam Bone Bolango begitu melimpah. Pemandian Air
panas Lombongo sebagai ikon Pariwisata Bone Bolango bahkan Gorontalo
telah tersohor hingga ke luar daerah. Belum Lagi eksotisme pantai Olele
yang menggoda minat wisatawan. Efek domino dari dua ikon pariwisata ini
sebenarnya sudah cukup mengangkat pendapatan asli daerah (PAD) jika
pemerintah mampu menangani masalah pariwisata dengan serius dan terarah.
Pembangunan infrastruktur penunjungan pariwisata adalah wajib dibangun.
Selain itu program pemberdayaan masyarakat pariwisata harus digalakan.
Pemberdayaan ini terkait kesadaran akan pelayanan barang dan jasa
sebagai industri pariwisata. Dengan adanya obyek wisata masyarakat mampu
diberdayakan baik sebagai penjual sekaligus warga yang ramah terhadap
wisatawan. Selebihnya tinggal promosi yang berkesinambungan dari
pemerintah daerah.



Faktanya kini Lombongo telah hancur pasca diporak-porandakan banjir
bandang pertengahan tahun 2007 lalu. Saat itu dalam sebuah sesi
wawancara saya dengan Kadis Pariwisata Bone Bolango ,Jamaludin
Wartabone, pihaknya telah menyiapkan dana 4,5 Milyar rupiah untuk
rehabilitasi obyek wisata tersebut. Sayangnya hingga kini realisasi
pelaksanaan tidak kunjung jelas. Lombongo menyisahkan sisa-sisa bangunan
utuh ditambah satu kolam raksasa yang masih berfungsi. Selamatnya, masih
ada juga yang "terpaksa" berkunjung ke Lombongo.



Dari segi sumber daya manusia, "surga" Bone Bolango pun tidak
perlu diragukan. Tiga Sekolah unggulan berbasis IPTEK dan IMTAQ berada
di daerah ini. Pondok Pesantren Hubulo, Insan Cendekia dan Wira bhakti.
Masalahnya kenapa orang luar Bone Bolango yang dominan belajar dan
mengajar di tiga sekolah ini? Kenapa kita justru menjadi tamu di rumah
sendiri? Benarkah orang cerdas adalah hak "orang jawa" sehingga
mereka lebih dominan?



Semua pertanyaan di atas akan mentah sendirinya jika pemerintah daerah
peduli dengan SDM di Bone Bolango. Sejumlah langkah strategis untuk
mengupayakan pematangan SDM sejak dini mutlak dilakukan. Caranya bisa
dengan banyak hal, diantaranya melakukan nota kesepahaman dengan tiga
sekolah unggulan tersebut. Isi nota kesepahaman terkait dengan alokasi
pelajar Bone Bolango di sekolah unggulan. Jika tidak, silahkan angkat
kaki dari Bone Bolango. Sebuah komitmen sekaligus ketegasan dari
pemerintah daerah. Jika pelajar tidak sanggup untuk biaya sekolah? Beri
mereka beasiswa bahkan hingga ke perguruan tinggi. Jika ini bisa
konsisten dijalankan, saya tidak bisa membayangkan berapa banyak
"Habibie - habibie" Baru di tahun 2020 nanti.



Potensi lain sumber daya manusia di Bone Bolango bisa diukur dari olah
raga, khususnya sepak bola. Siapa yang tidak mengenal IPPOT Tapa? Di
masa keemasnya (periode 1990-an) Ikatan Pemuda Pemudi Olah Raga Tapa
(IPPOT) begitu tangguh bagi lawan-lawannya. Kala itu sepak bola Tapa
begitu perkasa sehingga melahirkan pesepak bola handal hingga skarang.
Nama Abu Bakar Eraku, Rahman Bereki hingga Welly Podungge (arsitek
Persigo sekarang) merupakan sedikit dari sekian banyak pemain yang lahir
dari rahim IPPOT Tapa. Faktanya kemudian memasuki era 2000-an nafas
IPPOT mulai sesak. Regenarasi pemain handal sepak bola mandul. Tidaklah
mengherankan jika skarang IPPOT Tapa hanya mampu menyumbangkan dua
pemain di skuad Persigo, itupun pemain cadangan!. Kondisi ini begitu
memiriskan hati mengenang perjalan sejarah sepak bola Tapa (Bone
Bolango) yang begitu tangguh kala itu. Mandulnya regenarasi pemain
adalah kunci utamanya. Sebuah "PR" yang harus kita pecahkan
bersama.



Pembenahan olah raga khususnya sepak bola bisa diraih denga dua hal ;
penyediaan infrastruk olah raga serta yang terpenting lagi adalah
pembinaan bibit sejak dini. Caranya sederhananya, aktifkan kembali SSB
(sekolah sepak bola) sebagai "bidan" lahirnya pemain-pemain
hebat. SSB tidak perlu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, cukup diberi
stimulan selebihnya donasi peserta dan masyarakat umum. SSB selanjutnya
akan dikelola menjadi sebuah industri sepak bola, meski baru dalam skala
kecil. Jika ini bisa konsisten dijalankan dengan baik, bukan tidak
mungkin Bone Bolango menyumbangkan pemain untuk Timnas Indonesia di
Piala Dunia 2022 nanti!



Jika dua potensi utama tadi sudah ada, maka tinggal keseriusan
pemerintah yang ditunggu. Pembangunan Bone Bolango ada baiknya
difokuskan pada program berbasis potensi bukan justru program Sapi yang
"sapu rata". Bone pesisir memiliki surga perikanan, maka program
di daerah itu sudah barang tentu yang berpihak pada nelayan. Kabila
sebagai daerah persawahan, maka wajib program pro petani. Suwawa sebagai
Ibu Kota Kabupaten, tidak salah dijadikan pusat ekonomi pertukaran
barang dan jasa. Tapa sebagai gudang Adat, kesenian dan olah raga, perlu
disedikatan media ekspresi. Selebihnya program pengentasan kemiskinan,
kesehatan dan pendidikan dari pemerintah pusat tinggal dikolaborasi
dengan pemerintah daerah.



Semua catatan di atas tidak mudah kita jalankan sekaligus bukan tidak
mungkin kita wujudkan. Terpenting saat ini bagaimana memulainya dari
sekarang untuk masa yang akan datang. Orang-orang sebelum kita telah
menanam dan kita petik hari ini, maka menamlah kita sekarang untuk
dipetik orang-orang sesudah kita. Bone Bolango kini berusia 6 Tahun,
pertanda belum terlambat untuk bangkit. Bangkit merawat surga sebelum
berubah menjadi neraka. Selamat ulang tahun Bone Bolango.





Kirim email ke