Penerapan ASEAN China – FTA 2010, Pesimis dan Mengkuatirkan

 

Banyak ekonom yang berpendapat bahwa perdagangan
bebas meningkatkan standar hidup melalui teori keuntungan komparatif dan 
ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa perdagangan
bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan
merusak industri lokal, dan juga membatasi standar kerja dan standar sosial.
Sebaliknya pula, perdagangan bebas juga dianggap merugikan negara maju karena
ia menyebabkan pekerjaan dari negara maju berpindah ke negara lain dan juga
menimbulkan perlombaan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan
keamanan yang lebih rendah.

Kendati muncul polemik, hampir semua pemerintah
(negara) memiliki keyakinan yang sama keuntungan dari perdagangan bebas. Arus
utama perdagangan bebas tetap mengalir, bukan saja negara maju ikut di dalamnya
akan tetapi negara berkembang pun tidak mau ketinggalan. Dalam konsep ekonomi
internasional, ada beberapa bentuk perdagangan internasional yaitu multilateral
(didalamnya seperti World Trade Organization), untuk tingkat regional dikenal
Free Trade Area (FTA) dan Free Trade Agreement (bersifat bilateral). Sementara
dilihat dari teori tahapan integrasi ekonomi regional, ada beberapa model 
kerjasama
ekonomi diantaranya; Trade Preferency
Arragement, Free Area Trade, Customs Union, Common Market, Economic Union dan 
Monetary Union. 

Beberapa bentuk
organisasi yang dikemukakan ini, Indonesia sebagai negara berkembang
juga  menceburkan diri, menjadi anggota
WTO, APEC, FTA yang memiliki nuansa perdagangan bebas. Dengan penuh keyakinan,
pemerintah Indonesia
menjadi anggota APEC, dalam konsep awalnya akan diberlakukan mulai tahun 2020.
Sedangkan FTA ASEAN sudah berlaku dan ASEAN-China –FTA (AC-FTA) pemerintah
sudah melakukan agreement mulai berlaku efektif 1 Januari 2010. 

Jadi pertanyaan, apa itu FTA? Free Area Trade adalah suatu bentuk kerjasama 
ekonomi regional yang
perdagangan produk-produk orisinalnyan negara-negara aggotanya tidak dipungut
bea masuk atau bebas bea masuk. Dengan kata lain ”internal tarif” antara negara
anggotanya menjadi 0 %, sedangkan masing-masing negara memiliki ”external
tarif” sendiri-sendiri. Contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area). Jika dihitung
dari sekarang pemberlakukan FTA ASEAN-China berarti tinggal menghitung hari. 

Lalu apa dampak dari implementasi AC- FTA bagi
Indonesia? Secara teoritis manfaat perdagangan bebas sudah dikemukakan di atas,
tapi dampaknya yang muncul bagi Indonesia secara negatif sangat banyak. Karena
itu banyak pihak menganggap bahwa pemerintah terlalu nekat menyetujui AC-FTA.
Dalam konteks negara ASEAN sendiri, kita tidak terlalu kuatir implementasi FTA
tersebut, kendati beberapa produk negara ASEAN lain seperti Vietnam untuk
produk tekstil dan mebel sangat kompetitif, akan tetapi dengan China akan
memberikan dampak yang serius. Dalam kenyataannya implementasi perdagangan
bebas dengan China jauh sebelumnya, produk-produk China sudah membanjiri pasar
Indonesia. Apalagi jika sudah diberlakukan, maka produk China akan memukul
produk lokal Indonesia. 

Lalu, apa salahnya dengan produk China?
Di sinilah persoalannya. Sudah bukan rahasia lagi, selama ini mutu produk China
yang membanjiri pasar kita tidak jauh berbeda dengan produk dalam negeri,
bahkan lebih buruk. Produk China juga masih diragukan keamanannya bagi
kesehatan. Selain itu, barang dari 'Negeri Tirai Bambu' itu kelewat murah
sehingga produk dalam negeri kalah bersaing dan akhirnya mati. Saat ini hampir
semua jenis produk China melenggang bebas masuk ke negeri ini. Padahal, pada
era 1970-an produk China yang diimpor hanya produk yang tidak bisa dibuat di
Indonesia (Media Indonesia, 22/12/2009). 

Ada beberapa dampak yang akan timbul dengan
AC-FTA, jika dilihat dari transaksi perdagangan, defisit perdagangan China
selama lima tahun dengan Indonesia membengkak, dan Indonesia merugi puluhan
triliun dengan China. Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan
China pada 2003. Tahun-tahun berikutnya, Indonesia mengalami defisit
perdagangan dengan Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-China menjadi
jomplang dan Indonesia
mengalami defisit US$3,61 milyar pada tahun 2008. Perdagangan di sektor 
manufaktur mencapai defisit
terbesar yakni US$7,61 miliar pada tahun 2008 (inilah.com).

Dengan demikian, perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China amat jelas bakal lebih menguntungkan China daripada negara-negara
ASEAN, dan sangat jelas terutama sangat merugikan Indonesia. Data resmi dari
Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini saja ekspor kita ke China hanya
5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%. 
Kelak, ketika perdagangan bebas sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita
hanya naik 2,29% menjadi 8,20%. Tapi, sebaliknya impor kita dari China bakal
naik 2,81% menjadi 11,37%.

Menghadapi pelaksanaan perjanjian perdagangan
bebas (FTA) ASEAN-China pada 2010, Indonesia sepertinya harus siap-siap
kehilangan uang senilai Rp15 triliun. Uang ini adalah jumlah pemasukan yang
biasanya diterima Kantor Bea dan Cukai tiap tahunnya menurut Dirjen Bea dan
Cukai Depkeu. Kemudian, terjadi ketimpangan besar jika FTA diimplementasikan,
karena terhitung 1 Januari 2010, bea masuk (BM) 8,097 pos tarif dari 17 sektor
industri akan dibebaskan menjadi 0 %. Kesepakatan
pembebasan bea masuk impor justru akan memperlemah posisi UMKM sebagai tulang 
punggung
industri di Indonesi, selain itu akan mengancam sebelas sektor industri.
Sebelas sektor industri tersebut diantaranya industri tekstil, makanan dan
minuman, alat dan hasil pertanian, petrokimia, sintetik fiber, besi dan baja
dan manufaktur, serta otomotif. Jika kelompok industri ini kolaps maka akan
menciptakan ledakan pengangguran. 

(Ragillia, 2009) mengemukakan Industri plastik,
misalnya, memperkirakan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 88.000 orang.
Hasil riset Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia bahkan menyebutkan tujuh sektor
industri berpotensi merugi hingga Rp35 triliun per tahun. Mereka terdiri dari
petrokimia, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki dan barang kulit,
elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta besi baja. Ketujuh industri itu
akan kehilangan pangsa pasar lokal cukup besar.

Kemudian industri baja nasional juga mengalami hal
yang sama, dipastikan bakal kalang kabut karena diserbu baja buatan China.
Betapa tidak? Dibentengi dengan bea masuk pun, China dicurigai mampu menjual
dengan harga dumping.  Contoh lain yang
paling gampang adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Sudah lama industri TPT
di Tanah Air termehek-mehak gara-gara serbuan buatan China yang murahnya minta
ampun.

Kekuatiran yang sama dikemukan ekonom dan Ketua
Focus Group Koordinasi Fiskal dan Moneter, Sri Adiningsih, kalau Indonesia
tidak siap, bisa terjadi keresahan sosial. Jangan sampai terjadi pengalaman
seperti di Afrika Selatan, dimana produk tekstil tiarap dan tidak bisa bersaing
dengan China, sehingga dapat menimbulkan keresahan sosial. Efeknya semakin
besar, jika yang menjadi korban adalah usaha padat karya yang menyerap banyak
kesempatan kerja. 

Kekuatiran penerapan AC-FTA bukan hanya dikemukakan para politisi, civil
society, dan ekonom akan tetapi pelaku usaha juga amat pesimis. Para pengusaha
sangat yakin produk nasional akan dilibas produk-produk asal China yang sangat
kompetitif, bila kesepakatan perdagangan bebas AC-FTA tetap dilanjutkan. Ada
beberapa pandangan yang mengemuka bahwa pelaku usaha siap dengan AC-FTA paling
cepat 2014, itupun ada beberapa persyaratan untuk mendukung kelansungan dan
daya saing usaha mereka. 

Merespon keberatan dan keinginan pelaku usaha, pemerintah akan mengusahakan 
penundaan penerapan kebijakan Free Trade
Agreement (FTA) terhadap 303 sub sektor usaha. Dari sisi pengambilan kebijakan,
pemerintah sepertinya tidak mempedulikan keberatan yang disampaikan berbagai
pihak jauh hari sebelumnya. Idealnya kebijakan itu ditempuh berdasarkan 
assesement dari berbagai stakeholders. Keberatan yang disampaikan
berbagai pihak bukan mengada-ada, tapi dampaknya sudah terasa seperti yang
sudah digambarkan di atas (dampak perdagangan Indonesia – China). Kalangan
internal pemerintah sendiri sedari awal berjalan sendiri-sendiri, keinginan 
Departemen
Perindustrian untuk menunda penerapan AC-FTA sudah disuarakan, tetap Departemen
Perdagaangan juga memiliki agenda sendiri terkait dengan AC-FTA. Saat ini
pemerintah melalui Departemen Perindustrian mengidentifikasi beberapa jenis
industri akan diajukan revisi penundaan implementasi AC-FTA, diantaranya
tekstil, baja, industri alas kaki dan kimia. Ini menandakan bahwa pemerintah
sendiri tidak konsisten dengan kebijakannya, kasarnya menjilat ludah sendiri. 

Mohd. Amier ArhamSekeloa Bandung


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




      

Kirim email ke