Tema yang menarik bang muma :) 
Saya ingat waktu lab kami bikin party kecil2an di lab yang dihadiri para sensei 
dan kl 15 orang mhswa.. Pas lagi makan teman saya dari padang yg baru sebulan 
gabung di lab kami berkata : bang Iqbal, tolong MANGKOKnya dong.. Langsung saja 
seluruh mata memandang tajam kearahnya, saya juga kaget setengah mati dan buru2 
menjelaskan ke teman2 semua, setelah mendengarkan penjelasan saya baru semuanya 
tertawa terbahak-bahak..
Kisah nyata lainnya waktu teman dari Brawijaya, malang melapor di imigrasi.. 
Petugas imigrasi minta PASPOTO, teman saya langsung mengeluarkan pasfoto ukuran 
3x4 dari dalam dompetnya tapi sang petugas bilang bukan itu, maka 
dikeluarkanlah semua pasfoto dengan segala ukuran dan disuruh pilih tapi tdk 
satupun yang diambil, sang petugas menggeleng dengan putus asa dan mengomel tdk 
karuan, untung saja petugas lain yang bisa bahasa inggris segera datang 
mengambil alih..
Teman2 saya diatas sampai sekarang masih malu kalau diungkit lagi cerita ini.. 
Hehe..

Pengetahuan tentang budaya dan bahasa daerah atau negara lain saya pikir harus 
dimiliki semua orang yang hidup di era modern..
 
Cat.       : Mangkok : Alat vi*** wanita
             : Paspoto : Passport

Salam
Iqbal

Sent from my iPhone

On Mar 7, 2010, at 7:39 PM, -=Umar=- <kakm...@yahoo.com> wrote:

Salam
Rekan-rekan milister sekalian
Saya ingin sedikit berbagi cerita. Semoga bermanfaat ya....
===== 

Rujak Budaya

Duh, betapa malunya seorang teman mahasiswa asal Aceh ketika ada yang 
memanggilnya dengan sebutan “kak”. Apalagi di situ ada kawan-kawannya 
sedaerahnya. Sontak mereka langsung senyum-senyum dan menertawakannya. Segera 
teman saya ini berujar “Dek, saya ini Abang, bukan Kakak” Yang ditegur malah 
bingung dan diam tak mengerti.

Sebab memang sebutan Abang dan Kakak adalah sesuatu yang berbeda dalam 
panggilan untuk orang lebih tua di ranah Aceh. Seperti panggilan Mas dan Mbak 
di tanah Jawa. Yang pertama adalah panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih 
tua (atau sebagai bentuk penghormatan kepada laki laki) sementara yang kedua 
untuk saudara perempuan yang lebih tua (atau sebagai bentuk penghormatan kepada 
perempuan). Seperti juga panggilan Akang dan Teteh di Sunda, Uda dan Uni di 
Padang atau Kaka dan Tata di Gorontalo.

Memanggil kawan laki laki dari Aceh dengan sebutan kakak sama saja seperti 
memanggilnya dengan sebutan mbak atau teteh.

Perpaduan budaya Indonesia ini memang menghasilkan kekayaan, keunikan, juga 
kelucuan. Pengalaman tinggal serumah dan bergaul dengan kawan banyak komunitas 
orang memberikan saya banyak tambahan pelajaran.

Dalam persoalan bahasa, kadang-kadang satu kata artinya berbeda antara satu 
daerah dengan yang lain. Saya banyak mendengar orang yang mengatakan, pantaslah 
orang-orang NTB itu suka pedas karena memang ibukotanya Lombok. Lombok ya 
pedas. Padahal bagi orang NTB, lombok (dengan sedikit tekanan di bagian akhir 
kata) berarti lurus. Kata ‘Boi’ untuk orang Sumatera Selatan dan beberapa 
daerah sekitar adalah panggilan keakraban untuk orang sebaya. Tapi tolong 
jangan panggil orang Gorontalo dengan sebutan itu. Sebab di sini, Boi itu 
berarti Babi..! Sebutan Tuan Guru Bajang di Nusa Tenggara Barat adalah 
panggilan yang mulia, yang berarti tuan guru muda.Tapi jangan panggil orang 
medan dengan panggilan itu. Sebab kata “Bajang” itu konotasinya tidak baik di 
sana.

Dan sekali lagi tidak perlu kaget kalau mendengar orang-orang timur bertanya, 
“Kopi Mana?” lalu kawannya menjawab “Sapi Mandi.” Apa hubungannya “Kopi” dan 
“Sapi”?
Padahal kawan itu tidak sedang bertanya tentang kopi yang berupa minuman. 
Kalimat itu adalah singkatan dari “Kamu pergi kemana?” Jawabannya: Sapi Mandi, 
“Saya Pergi Mandi”

Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal kehidupan dan kebiasaan. Ketika di awal 
perkenalan dengan orang-orang lain daerah, saya pernah mengeluh dalam hati: kok 
kawan ini bicaranya mirip perempuan. Padahal ia sedang berbicara dengan amat 
lembutnya. Sama juga dengan kawan dari Sunda mengira saya sedang tidak stabil 
karena bicara yang mungkin baginya terlalu keras dan terkesan kasar. Padahal 
saya biasa saja.

Ditambah dengan selera masakan yang kontradiktif antara manis dan pedas. Maka 
ketika piket masak, biasanya bisa ditebak siapa yang memasak hari ini, menilik 
citarasa masakannya.

Cuaca dominan panas atau dingin tiap-tiap daerah ternyata memberi pengaruh yang 
lain juga bagi jiwa. Orang yang tinggal di kawasan panas akan cenderung selalu 
ceria dan riang gembira, suka berkawan, spontan dan tidak suka berpikir 
panjang. Kalau terlalu panas, ia menjadi pemarah dan emosional, seperti di 
Irak. Sementara yang tinggal di tempat dingin suka dihancui kecemasan, 
perhitungan dan penuh kewaspadaan. Kadang-kadang lebih mengarah kepada 
kecemasan tak terbatas sampai membawa bunuh diri, seperti di Norway. Untunglah 
kita tinggal di kawasan tropis seperti Indonesia yang cuacanya stabil, namun 
lebih dekat ke panas. Tentang karakteristik warna kulit ini banyak dibahas Ibnu 
Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya.

Kembali ke soal panggilan, kawan-kawan aceh kadang merasa heran dengan kawan 
yang memanggil saya dengan sebutan “Kak Muma”. Abang ini kok dipanggil kakak. 
Atau ketika ada yang bilang: saya tinggal dengan kak Muma, ada yang refleks 
menjawab “heh, kamu tinggal serumah dengan perempuan ya?” hahaha.. padahal saya 
ini adalah Abang sekaligus kakak. Di Aceh Abang, di Gorontalo Kakak.

Hidup di kawasan dengan budaya yang merujak seperti ini sering membuat orang 
cepat menilai dengan sekedar melihat keadaan beberap kawan-kawan dan orang 
-orang yang ada di dekatnya. “Oh ternyata, orang Jawa Timur begini, ternyata 
orang Medan begini, ternyata orang Gorontalo begini” Ujungnya-ujungnya adalah 
menggeneralisir.

Kita tentunya tidak bisa mengendalikan penilaian dan gerak hati seseorang. Apa 
yang dia lihat itulah yang dia nilai, walaupun penglihatannya terbatas. Yang 
bisa dilakukan adalah menjadi duta dan promosi yang baik bagi diri sendiri, 
juga bagi daerah asal. Kalau dalam skup lebih luas, setiap warga membawa nama 
baik bangsanya. Ketika ia baik, maka yang ikut harum tidak hanya namanya, tapi 
kampung asalnya, dan bangsanya. Ketika buruk, burukpulalah citranya dan citra 
kampung dan bangsanya yang menempel pada dirinya.

Lebih-lebih dengan kondisi dunia semakin mengecil ini. Ke dalam kita perlu 
untuk meningkatkan pengertian, ke luar kita terus berbenah membawa nama baik.

sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/06/rujak-budaya/

Salam
Umarulfaruq Abubakar
http://buanacita.multiply.com
http://www.kompasiana.com/kakmuma





      

Kirim email ke