Setuju !!!. Universitas harus diposisikan sebagai leader dalam rangka membangun peradaban. Hal ini menjadi sangat mungkin karna universitas memiliki tiga karakteriktik dasar- sebagaimana yang diungkapkan oleh Bryant Kearl, sebagai berikut:
1. Pusat orang-orang kompeten yang memiliki basis keilmuan yang kuat, yang dengan itu mampu merumuskan kebijakan-kebijakan penting yang sifatnya "multidisciplinary insights". 2. Pusat orang-orang yang beroperasi atau bekerja berdasarkan struktur dan metode pendukung yang mampu memberi ruang rasional yang lebih luas sehingga mereka leluasa untuk men-setting penelitian sesuai dengan prioritasnya. 3. Pusat orang-orang yang bebas secara personal untuk mem-publish hasil2 penelitiannya dan berbicara terbuka. Dengan ini mudah2an cita-cita "Magistrorum et Scholarium" tercapai. Terima Kasih Tomy Ishak --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, sqb...@... wrote: > > > Sangat menarik uraian yang dikemukakn bung Punco, dan kalau kita mau jujur, > mmang dmikian kndisinya. Umar Khayam mengatakan, "universitas kita dikelola > seperti jawatan pemerinth". Artinya, kehidupan universitas penuh dengan aroma > birokrasi dan itulah salah satu "penyakit" universitas kita yang sudah akut. > Salah satu dampk dari penyakit itu, "rutinitas", seperti kata Taufik > Abdullah. Dalam kondisi "rutinitas" itu, kita jangan berharap tumbuh "diskusi > ilmiah dan terobosan pemikiran dll. > Kembali ke "jati diri" universitas!!! > Itulh mungkin yang hrs segera dilakukan. Univ beda dengan jawatan pemerintah > atau institusi politik yang tujuan utamanya "kekuasaan". Universitas adlh > "organisasi belajar" dan bukan menjadi "organisasi para pelajar". Univrstas > adlh "almamatr", ibu yang melahirkan, membesarkan dan mengabadikan > pengetahuan. > Kembali ke jati diri berarti menjadikan "produk ilmiah" sebagai "simbol > univ". Suara univ ke masyarakat disuarakan oleh para ilmuan yang bekerja di > lab dan pusat studi. Yang lebih dikenal masyarakt adlh para ilmuan dengan > hasil penelitian dan kajian2nya. Karena itu, univ adlh "istana" para ilmuan, > para inovator dan pengembang IPTEK. > Kondisi saat ini sungguh sangat beda. Rektor dijadikan "simbol univ" yang > powerfull, suara Rektor adlh suaru univ. Jangan heran, posisi Rektor menjadi > rebutan, diidam2kan dan akan diraih dengan cara apapun. > Kita harus "mengecilkan" posisi Rektor. Rektor jangan sampai "tergoda" untuk > menjadi "bintang", menjadi figur yang terkenal dan dikenal, jika mau kembali > ke jati diri. Tugas Rektor adalh mensuport para ilmuan kampus menjadi > terkenal dan kompetitif. Tugas ini adlh tugas pengabdian yang memerlukn > komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. > > Sekian dulu, nanti disambung di lain waktu, tks > SQB > > Powered by Telkomsel BlackBerry® > > -----Original Message----- > From: "Funco Tanipu" <funcotan...@...> > Date: Tue, 23 Mar 2010 01:35:44 > To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@yahoogroups.com> > Subject: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium > > > > Konteks kelahiran Universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan > magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi > menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan > spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, > perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. > > Namun, Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, telah > berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. > Sehingga tradisi intelektual -pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan > demi melanggengkan posisi dan kedudukan. > > Problem terbesar adalah di tingkat Universitas itu sendiri. Universitas > sebagai motor utama peradaban, telah bergeser fungsinya menjadi arena > pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena > kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah > dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa. > > Universitas yang semestinya menjadi tempat memproduksi pengetahuan semakin > lepas dari konteks kelahirannya. Kebutuhan terhadap lahirnya pengetahuan baru > bahkan mengalami kemandekan serius. Ini disebabkan karena Universitas > mengalami krisis; Pertama, mahasiswa yang diharapkan mampu memberikan kritik > pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi > teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak > dijadikan sebagai "patner diskusi", tapi sebagai sumber dari segala sumber. > Ketiga, banyak dosen yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa > meneliti bidang yang tidak dikuasainya. > > Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan > Tinggi sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan > pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah > pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, kebijakan ini > menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena > dan masalah secara monolog. > > Ini diperparah oleh kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya > "berumah di atas angin" sekarang memilih "berumah di gedung beton". Mereka > sulit memosisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai intelektual. > Professor, doktor, dan gelar akademik lainnya sekarang ini hanya sebatas > status sosial seperti gelar sosial dengan karya akademik yang minimal. > Kecenderungan ini adalah akibat dari komodifikasi dalam pendidikan tinggi. > Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart menggeliat > di Universitas. Di Universitas, yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat > dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana > mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak > terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan > seiring disorientasi para ilmuan. Heru Nugroho, sosiolog UGM Yogyakarta, > memberikan perspektif yang solutif untuk hal ini : Pertama, pembangunan dan > penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian > fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi > yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan > kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, > sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan > semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-penelitian demi penemuan > teori-teori baru. > > Jadi, Universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang > produksi intelektual organik sebagai mana yang diharapkan oleh Antonio > Gramci, yakni menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas > praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke > arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari > kedudukan. > > > *ditulis dalam rangka sirkulasi kepemimpinan di Universitas Negeri Gorontalo. > > > > Terima Kasih > > > Funco Tanipu > > ------------------------------------ > > Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links >