sebagai warga Gorontalo catatan sederhana tentang permasalahan ini akan 
terpulang pada keberanian rektor UNG terpilih nanti untuk siap 'menabrak' 
segala bentuk aturan atas nama perubahan dan inovasi PT. Namun hal ini tentu 
tidak mudah, karena memang demikian adanya bahwa keseragaman aturan Pendidikan 
di Negeri ini telah 'memasung' kreatifitas dan inovasi daerah.  
Catatan lainnya bahwa keinginan untuk membangun istana bagi para ilmuwan di 
kampus jangan sampai terjebak pada otoriterianisme keilmuan dengan menafikan 
keilmuan dalam perspektif yang lainnya. Harapannya ; menjadikan UNG adalah 
Istana bagi para ilmuan sesungguhnya meruntuhkan tirani dan dikotomi antara 
dosen 'senior' dan Yunior, dalam semangat inilah keilmuan dijunjung tinggi. 
Bukankah agama megajarkan " hargailah ilmu-hikmah itu meskipun keluar dari 
mulut seekor Anjing"? Diya Oditi Juw....Maapu. 


Salam 
Odu olo
Razak (warga Limboto) 




________________________________
Dari: "sqb...@yahoo.co.id" <sqb...@yahoo.co.id>
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Terkirim: Kam, 25 Maret, 2010 04:11:18
Judul: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium

  

Yth. Pa Iqbal
Pertama kita harus sepakat dulu bahwa jabatan di kampus seperti Rektor, Dekan, 
bukan jabatan struktural. Itu hanya tugas tambahan dosen. Dari sini kita bisa 
tarik simpulan bahwa bahwa, PT bukan organisasi birokrasi. Persoalan kita 
adalah, jabatan Rektor atau Dekan kita perlakukan sebagai jabatan struktural.
Dengan asumsi itu, makna "perubahan paradigma" bukan berarti perubahan 
struktural karena istilah "struktural" tidak ada dalam "kamus" universitas. 
Perubahan yang kita maksud adalah menempatkan univ sebagai "istana" para 
ilmuan. 
Pertanyaan paling pokok "bagaimana kita membangun istana itu?" Kita bisa 
menjawab atau mengabaikannya, tergantung sejauh mana idealisme dan daya tahan 
kita.
Pertanyaan berikut "apakah manajemen kelembagaan yang dikembangkan saat ini 
dengan Rektor sebagai "raja", salah?" Jawabannya tergantung sikon tapi apa yang 
telah dilakukan Prof. Nelson sudah tepat. Bayangkan, apa yang terjadi kalau 
beliau terapkan manajemen modern sementara SDM (ilmuan) kita belum siap. Kita 
harus mulai merintis manajemen modern dengan asumsi, SDM sudah siap. Dan inilah 
saatnya UNG untuk mulai merubah 
Powered by Telkomsel BlackBerry®
________________________________

From: iqbal makmur <kaizen...@yahoo. com> 
Date: Wed, 24 Mar 2010 03:02:29 -0700 (PDT)
To: <gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
  
Terimakasih penjelasannya Pak Syam..
Saya yakin semua orang sepakat dengan apa yang sudah disampaikan teman2 tentang 
perubahan paradigma universitas dengan mengedepankan lab sebagai ujung tombak 
dan menempatkan rektor dan jajarannya sebagai administrator semata.
Tapi dari apa yang sudah dijelaskan sebelumnya saya belum melihat satu kalimat 
yang bisa kita 'baca' sebagai therapi yang lebih baik dari model lama. Semua 
masih dalam tataran konsep dan cita2. Ibarat kita sudah punya tujuan tapi belum 
punya kendaraan dan peta yang jelas sehingga kita bisa mencapai tujuan yang 
kita maksud.

Ada banyak catatan yang saya buat tapi mari kita diskusikan satu hal dulu :
 Struktur kelembagaan dan standar operasional prosedur Universitas sudah baku 
dan hampir seragam diberlakukan di seluruh PT di Indonesia yang semuanya diatur 
dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Kabar buruknya adalah, semuanya 
diatur dalam undang2 dan peraturan pemerintah yang butuh jalur yang sangat 
panjang untuk dirubah.
Pertanyaannya adalah : 
1. Apakah perubahan paradigma kelembagaan ini dilakukan secara struktural atau 
dalam tataran pelaksanaan di lapangan? 
2. Kalau secara struktural, ini butuh jalan yang sangat panjang yang belum 
tentu diakomodir oleh pusat.
3. Kalau hanya tataran pelaksanaan di lapangan apakah ini tidak terindikasi 
sebagai penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap tupoksi?

Itu dulu yang kita jawab bersama, Mohon maaf saya bukan pesimis atau 
mengecilkan arti gagasan teman2 semua, tapi saya sekedar mengajak kita untuk 
melihat realitas yang ada dilapangan saat ini. Salah satu kelemahan kita 
bersama (termasuk saya) adalah pikiran dan mimpi2 kita bisa jauh menembus 
langit tapi kadang kaki kita sudah tidak menapak bumi..

Iqbal

PS. Kebetulan seluruh perguruan tinggi di Jepang berbasis lab jadi saya tau 
sedikit tentang sistem ini.


--- On Tue, 3/23/10, sqb...@yahoo. co.id <sqb...@yahoo. co.id> wrote:


>From: sqb...@yahoo. co.id <sqb...@yahoo. co.id>
>Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
>To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com
>Date: Tuesday, March 23, 2010, 2:06 PM
>
>
>  
>
>
>Pertanyaan seperti yang dikemukakan pa Iqbal diajukan pula oleh sebagian besar 
>teman2 ketika diskusi tentang masalah itu. Bahkan mereka pesimis, kondisi 
>ideal demikian tidak akan pernah terwujud di PT di Gtalo spt UNG. Ini 
>pertanyaan sangat bagus dan menantang sekaligus memancing (he..he..).
>Lebih menukik pertanyaannya "bgmana kita memulai", "dimana starting point- 
>nya". Jawaban atas pertanyaan itu dpt kita diskusikan di forum ini. Cuma 
>jangan kaitkan dengan posisi saya sebagai calon Rektor UNG. Kepada bung MY, 
>sebaiknya kita tidak sebut nama, akan lebih bijak "kriteria" saja. Itu akan 
>lebih plong dalam berdiskusi ttg masa depan UNG.
>Yang jelas, kita harus sepakat bahwa hal- hal normatif dan idealisme perlu 
>kita pupuk karena hanya dengan itu, kita akan memiliki visi dan harapan hari 
>esok yang lebih baik. Dan PT di Gtalo khususnya UNG belum kehilangan harapan 
>itu.
>"Tradisi mencipta" adalah "roh" univ. Pertanyaannya, mengapa tradisi itu belum 
>ada di PT di Gtalo termasuk UNG. Ataukan tradisi itu tidak akan mungkin 
>terjadi di UNG? Dosen UNG saat ini berjumlah ±650 orang, artinya terdapat ±650 
>ilmuan/pemikir di UNG yang menguasai ratusan disiplin ilmu. Artinya sekian 
>ratus disiplin ilmu yang berpotensi utk dikembangkan. Luar biasa kan?? Tetapi 
>mengapa tetap biasa2 saja dari tahun ke tahun?
>Walhasil, kita perlu perubahan "radikal" untuk memulai semua ini. Kita harus 
>menempatkan "program studi" sebagai pembina disiplin ilmu, bukan sebagai 
>"pejabat" kampus yg tugasx menyusun jadwal/monitor kuliah. Kita harus 
>menempatkan prodi di garda terdepan utk membina "academic atmosphere".
>Academic atmosphere inilah yang menjadi "sumber masalah". Bagaimana mungkin 
>kita brharap, pnelitian bermutu lahir jika tradisi "kajian ilmiah" tidak 
>tumbuh dgn baik. Pusat studi, lab tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
>Mengubah paradigma manajemen kelembagaan dari struktur milter dgn Rektor 
>sebagai komandan tertinggi ke manajemen modern dgn lab/pusat std yang 
>terdepan, seperti yang dikemukan pa Tomy, tentu bukan pekerjaan mudah. Dan itu 
>sangat menantang untuk ditaklukkan. Yes, we can...
>
>Terima kasih
>SQB 
>Powered by Telkomsel BlackBerry®
________________________________

>From: "|BAYU|" <bayu.m...@gmail. com> 
>Date: Tue, 23 Mar 2010 10:22:08 +0000
>To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
>Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
>
>  
>Singkat dan jelas,,
>Mantap pa ikbal,,
>
>________________________________

>From: iqbal makmur <kaizen...@yahoo. com> 
>Date: Tue, 23 Mar 2010 02:20:21 -0700 (PDT)
>To: <gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
>Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
>
>  
>Buat Pak Funco, Pak Syam dan Pak Tomy..
>Tulisan bapak bertiga sangat normatif, teoritis dan idealis.. Bisa ditemukan 
>di banyak artikel yang tersebar di dunia maya.. :)
>Pertanyaannya adalah : Bagaimana caranya?
>
>Iqbal
>
>--- On Tue, 3/23/10, tomy <assa...@yahoo. com> wrote:
>
>
>>From: tomy <assa...@yahoo. com>
>>Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
>>To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com
>>Date: Tuesday, March 23, 2010, 2:10 AM
>>
>>
>>  
>>Setuju !!!.
>>Universitas harus diposisikan sebagai leader dalam rangka membangun 
>>peradaban. Hal ini menjadi sangat mungkin karna universitas memiliki tiga 
>>karakteriktik dasar- sebagaimana yang diungkapkan oleh Bryant Kearl, sebagai 
>>berikut:
>>
>>1. Pusat orang-orang kompeten yang memiliki basis keilmuan yang kuat, yang 
>>dengan itu mampu merumuskan kebijakan-kebijakan penting yang sifatnya 
>>"multidisciplinary insights".
>>
>>2. Pusat orang-orang yang beroperasi atau bekerja berdasarkan struktur dan 
>>metode pendukung yang mampu memberi ruang rasional yang lebih luas sehingga 
>>mereka leluasa untuk men-setting penelitian sesuai dengan prioritasnya.
>>
>>3. Pusat orang-orang yang bebas secara personal untuk mem-publish hasil2 
>>penelitiannya dan berbicara terbuka.
>>
>>Dengan ini mudah2an cita-cita "Magistrorum et Scholarium" tercapai. 
>>
>>Terima Kasih
>>Tomy Ishak 
>>
>>--- In gorontalomaju2020@ yahoogroups. com, sqb...@... wrote:
>>>
>>> 
>>> Sangat menarik uraian yang dikemukakn bung Punco, dan kalau kita mau jujur, 
>>> mmang dmikian kndisinya. Umar Khayam mengatakan, "universitas kita dikelola 
>>> seperti jawatan pemerinth". Artinya, kehidupan universitas penuh dengan 
>>> aroma birokrasi dan itulah salah satu "penyakit" universitas kita yang 
>>> sudah akut. Salah satu dampk dari penyakit itu, "rutinitas", seperti kata 
>>> Taufik Abdullah. Dalam kondisi "rutinitas" itu, kita jangan berharap tumbuh 
>>> "diskusi ilmiah dan terobosan pemikiran dll.
>>> Kembali ke "jati diri" universitas! !! 
>>> Itulh mungkin yang hrs segera dilakukan. Univ beda dengan jawatan 
>>> pemerintah atau institusi politik yang tujuan utamanya "kekuasaan". 
>>> Universitas adlh "organisasi belajar" dan bukan menjadi "organisasi para 
>>> pelajar". Univrstas adlh "almamatr", ibu yang melahirkan, membesarkan dan 
>>> mengabadikan pengetahuan.
>>> Kembali ke jati diri berarti menjadikan "produk ilmiah" sebagai "simbol 
>>> univ". Suara univ ke masyarakat disuarakan oleh para ilmuan yang bekerja di 
>>> lab dan pusat studi. Yang lebih dikenal masyarakt adlh para ilmuan dengan 
>>> hasil penelitian dan kajian2nya. Karena itu, univ adlh "istana" para 
>>> ilmuan, para inovator dan pengembang IPTEK. 
>>> Kondisi saat ini sungguh sangat beda. Rektor dijadikan "simbol univ" yang 
>>> powerfull, suara Rektor adlh suaru univ. Jangan heran, posisi Rektor 
>>> menjadi rebutan, diidam2kan dan akan diraih dengan cara apapun. 
>>> Kita harus "mengecilkan" posisi Rektor. Rektor jangan sampai "tergoda" 
>>> untuk menjadi "bintang", menjadi figur yang terkenal dan dikenal, jika mau 
>>> kembali ke jati diri. Tugas Rektor adalh mensuport para ilmuan kampus 
>>> menjadi terkenal dan kompetitif. Tugas ini adlh tugas pengabdian yang 
>>> memerlukn komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. 
>>> 
>>> Sekian dulu, nanti disambung di lain waktu, tks
>>> SQB
>>> 
>>> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>>> 
>>> -----Original Message-----
>>> From: "Funco Tanipu" <funcotanipu@ ...>
>>> Date: Tue, 23 Mar 2010 01:35:44 
>>> To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
>>> Subject: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
>>> 
>>> 
>>> 
>>> Konteks kelahiran Universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan 
>>> magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi 
>>> menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan 
>>> spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, 
>>> perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. 
>>> 
>>> Namun, Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, telah 
>>> berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. 
>>> Sehingga tradisi intelektual -pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan 
>>> demi melanggengkan posisi dan kedudukan.
>>> 
>>> Problem terbesar adalah di tingkat Universitas itu sendiri. Universitas 
>>> sebagai motor utama peradaban, telah bergeser fungsinya menjadi arena 
>>> pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena 
>>> kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau 
>>> sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa.
>>> 
>>> Universitas yang semestinya menjadi tempat memproduksi pengetahuan semakin 
>>> lepas dari konteks kelahirannya. Kebutuhan terhadap lahirnya pengetahuan 
>>> baru bahkan mengalami kemandekan serius. Ini disebabkan karena Universitas 
>>> mengalami krisis; Pertama, mahasiswa yang diharapkan mampu memberikan 
>>> kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada 
>>> identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, 
>>> dosen tidak dijadikan sebagai "patner diskusi", tapi sebagai sumber dari 
>>> segala sumber. Ketiga, banyak dosen yang  dipaksa/memaksakan diri 
>>> membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
>>> 
>>> Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan Direktorat Jenderal 
>>> Pendidikan Tinggi sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan 
>>> membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini 
>>> memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih 
>>> jauh, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan 
>>> karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
>>> 
>>> Ini diperparah oleh kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya 
>>> "berumah di atas angin" sekarang memilih "berumah di gedung beton". Mereka 
>>> sulit memosisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai intelektual. 
>>> Professor, doktor, dan gelar akademik lainnya sekarang ini hanya sebatas 
>>> status sosial seperti gelar sosial dengan karya akademik yang minimal. 
>>> Kecenderungan ini adalah akibat dari komodifikasi dalam pendidikan tinggi.
>>> Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart 
>>> menggeliat di Universitas. Di Universitas, yang terbangun adalah pengejaran 
>>> untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan 
>>> sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar 
>>> situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan 
>>> mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Heru Nugroho, sosiolog UGM 
>>> Yogyakarta, memberikan perspektif yang solutif untuk hal ini : Pertama, 
>>> pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff 
>>> pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, 
>>> dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan 
>>> berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat 
>>> moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat 
>>> menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan 
>>> penelitian-peneliti an
 demi penemuan teori-teori baru. 
>>> 
>>> Jadi, Universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang 
>>> produksi intelektual organik sebagai mana yang diharapkan oleh Antonio 
>>> Gramci, yakni menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas 
>>> praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan 
>>> ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari 
>>> kedudukan.
>>> 
>>> 
>>> *ditulis dalam rangka sirkulasi kepemimpinan di Universitas Negeri 
>>> Gorontalo.
>>> 
>>> 
>>> 
>>> Terima Kasih
>>> 
>>> 
>>> Funco Tanipu
>>> 
>>> ------------ --------- --------- ------
>>> 
>>> Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links
>>>
>>
>> 
> 




      ____________________________________________________________________
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! 
http://id.yahoo.com/

Kirim email ke